Al-Qur'an & HadisFiqh & Ushul Fiqh

Konsep dan Implikasi Nasikh Mansukh, Begini Penjelasannya

TATSQIF ONLINE Terdapat pertentangan di antara ulama dalam memahami nash-nash syara’, terutama dalam penafsiran Al-Qur’an, yang menjadi landasan teori nasikh dan mansukh. Dalam Al-Qur’an, kata nasakh ditemukan sebanyak empat kali dengan berbagai bentuknya. Penyebutannya terdapat dalam Surah Al-Baqarah ayat 106, Surah Al-A’raf ayat 154, Surah Al-Hajj ayat 52, dan Surah Al-Jatsiyah ayat 29.

Pemahaman yang mendalam tentang konsep nasikh-mansukh menjadi kunci penting dalam memahami latar belakang turunnya ayat-ayat Al-Qur’an dan memperkuat keyakinan bahwa Al-Qur’an merupakan wahyu dari Allah SWT.

Masalah nasikh-mansukh terintegrasi dalam ilmu tafsir dan ushul fiqh, dan pengetahuan tentang hal ini sangat penting untuk menjaga kejelasan dan kebenaran dalam penafsiran hukum Islam.

Secar etimologi, nasakh adalah pembatalan hukum yang telah ada, sementara nasikh yaitu dalil yang datang kemudian, lalu menghapus dan menggantikan hukum yang telah ada sebelumnya, dan mansukh yaitu hukum terdahulu yang telah dihapus dan digantikan oleh sebab dalil yang datang setelahnya.

Pengertian nasakh menurut terminologi, seperti yang diuraikan oleh Manna’ Khalil al-Qattan dalam buku Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, nasakh adalah mengangkat (menghapus) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Sedangkan menurut Muhammad ‘Abd Azhim al-Zarqaniy, yang dikutip oleh Dr. Usman, M.Ag dalam buku Ulumul Qur’an, nasakh adalah mengangkat/menghapus hukum syara’ dengan dalil syara’ yang lain yang datang kemudian.”

Terkait dengan nasakh, al-Syatibi, seperti yang dikutip oleh Dr. M. Quraish Shihab, mengemukakan bahwa para ulama mutaqaddimin (ulama abad I hingga III H) memperluas arti nasakh, mencakup beberapa hal, antara lain:

1. Pembatalan hukum yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian.

2. Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian.

3. Penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar.

4. Penetapan syarat terhadap hukum terdahulu yang belum bersyarat.

Menurut Muhammad Azhim al-Zarqaniy, sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab, di antara para ulama tersebut ada yang beranggapan bahwa suatu ketetapan hukum yang ditetapkan oleh satu kondisi tertentu telah menjadi mansukh apabila ada ketentuan lain yang berbeda akibat adanya kondisi lain, seperti misalnya perintah untuk bersabar atau menahan diri pada periode Makkah disaat kaum muslim lemah, dianggap telah mansukh oleh perintah atau izin berperang pada periode Madinah.

Namun, pengertian tersebut dipersempit oleh para ulama yang datang kemudian (muta’akhirin). Menurut mereka, nasakh terbatas pada ketentuan hukum yang datang kemudian guna membatalkan atau mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan hukum yang berlaku adalah yang ditetapkan terakhir.

Hal ini menunjukkan bahwa nasikh mansukh bertujuan mencabut masa pemberlakuan hukum yang terdahulu agar yang berlaku adalah hukum terbaru. Oleh sebab itu para ulama ushul menetapkan syarat kemungkinan terjadi nasikh dan mansukh, yaitu : 

1. Mansukh harus terpisah dari Nasikh 

2. Nasikh harus lebih kuat atau sama kekuatannya dengan mansukh 

3. Nasikh harus berupa dalil-dalil syara’ 

4. Mansukh tidak dibatasi dengan waktu 

5. Mansukh harus berupa hukum syara’ 

6. Nasikh wurudnya kemudian setelah mansukh’ 

Disamping itu perlu diketahui bahwa ada Nash-Nash yang sudah pasti yang tidak mungkin dibatalkan, yaitu : 

1. Nash yang berisi pokok ajaran, baik berupa aqidah atau pokok-pokok ibadah dan pokok-pokok akhlaq, seperti keadilan, kejujuran, larangan syirik, membunuh, mencuri dan lain sebagainya. 

2. Nash yang berisi hukum abadi atau selamanya berdasarkan pernyataan Nash itu sendiri 

3. Nash yang berisi pemberitaan satu kejadian baik yang sudah lewat atau yang akan datang.

Nasikh mansukh diterapkan ketika terdapat pertentangan antara ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak dapat diselesaikan, di mana ayat yang lebih baru menghapuskan yang lebih lama. Konsep ini menegaskan bahwa meskipun ada perubahan hukum, Al-Qur’an sebagai wahyu Allah tetap konsisten dan selaras dengan zaman.

Baca Juga: Konsep Nasikh dan Mansukh untuk Kemaslahatan Umat, Simak

Menerima Adanya Nasakh: Ulama yang menerima nasakh seperti Al Suyuthi dan Imam Syafi’i, berpendapat bahwa fenomena ini dapat diterima secara rasional dan telah terjadi dalam syariat sebelumnya. Mereka menunjukkan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Allah memiliki otoritas mutlak untuk mengubah hukum-hukum-Nya sesuai dengan kepentingan hamba-Nya.

2. Dalil-dalil Al-Qur’an dan hadis menunjukkan kemungkinan dan keberadaan nasakh.

3. Terdapat kriteria yang harus dipenuhi sebelum sebuah nasakh dinyatakan, seperti adanya dua ayat yang bertentangan yang tidak dapat dikompromikan.

Menolak Adanya Nasakh: Sebagian ulama, seperti Abu Muslim al Isfahani, menolak adanya nasakh. Alasan mereka antara lain:

1. Menganggap bahwa adanya nasakh berarti ada kesalahan atau pembatalan dalam Al-Qur’an, yang bertentangan dengan ayat yang menyatakan kekekalan Al-Qur’an.

2. Mempertanyakan penafsiran atas kata-kata seperti “ayat” dan “nasakh”, serta ketidaksepakatan dalam jumlah ayat yang dinasakh.

3. Tidak adanya penegasan dari Nabi Muhammad tentang adanya nasakh.

4. Ternyata banyak ayat yang awalnya dianggap nasakh, kemudian dapat dikompromikan dengan penafsiran atau pemahaman yang lebih mendalam.

Para ulama yang mengakui nasakh menyatakan bahwa terdapat tiga bentuk nasakh, yaitu nasakh hukum sedangkan tilawahnya tetap, nasakh hukum dan tilawah, serta nasakh tilawah sedangkan hukumnya tetap.

1. Nasakh Hukum Sedangkan Tilawahnya Tetap: Contohnya hukum ‘iddah dalam Surah Al Baqarah ayat 240 yang semula satu tahun, kemudian diubah menjadi empat bulan sepuluh hari dalam Surah Al Baqarah ayat 234. Meskipun hukumnya berubah, tilawahnya tetap, menjaga nilai bacaan Al-Qur’an dan mengingatkan akan kemudahan yang diberikan oleh Allah.

2. Nasakh Hukum dan Tilawah: Dalam hal ini, baik hukum maupun tilawahnya dihapus, tidak lagi ada dalam Al-Qur’an, dan diganti dengan hukum baru. Meskipun sebagian ulama percaya bahwa nasakh hukum dan tilawah terdapat dalam Al-Qur’an, mayoritas ulama berpendapat bahwa hal ini terjadi pada kitab-kitab suci terdahulu, seperti Zabur, Taurat, dan Injil.

3. Nasakh Tilawah Sedangkan Hukumnya Tetap: Mayoritas ulama berpendapat bahwa bentuk ini tidak ada dalam Al-Qur’an, namun terdapat dalam kitab-kitab suci sebelumnya. Contohnya adalah kewajiban khitan bagi anak laki-laki, yang hukumnya masih berlaku meskipun ayat yang memerintahkannya sudah tidak ada dalam Al-Qur’an. Namun, sebagian ulama percaya bahwa nasakh tilawah tetapi hukumnya tidak di-nasakh terdapat dalam Al-Qur’an, seperti hukum rajam yang sudah dihapus.

Manna’ Khalil al-Qattan menyimpulkan bahwa lingkup nasakh hanya terjadi pada perintah dan larangan, baik yang diungkapkan secara jelas maupun yang diungkapkan dengan kalimat berita (khabar) yang bermakna amar (perintah) atau nahyi (larangan).

Namun, hal ini tidak berlaku untuk persoalan-persoalan akidah, zat Allah, sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari kemudian, serta etika, akhlak, pokok-pokok ibadah, dan muamalah, karena semua syariat ilahi tidak lepas dari pokok-pokok tersebut.

Dalam masalah pokok (ushul), semua syariat dianggap sama. Penafsiran ini didasarkan pada firman Allah dalam Alquran Asy-Syuura ayat 13:

شَرَعَ لَكُمْ مِّنَ الدِّيْنِ مَا وَصّٰى بِهٖ نُوْحًا وَّالَّذِيْٓ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهٖٓ اِبْرٰهِيْمَ وَمُوْسٰى وَعِيْسٰٓى اَنْ اَقِيْمُوا الدِّيْنَ وَلَا تَتَفَرَّقُوْا فِيْهِۗ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ مَا تَدْعُوْهُمْ اِلَيْهِۗ اَللّٰهُ يَجْتَبِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يَّشَاۤءُ وَيَهْدِيْٓ اِلَيْهِ مَنْ يُّنِيْبُۗ

Artinya: “Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”

Ayat ini menegaskan bahwa Allah telah menetapkan agama yang sama kepada para nabi sebelumnya, termasuk Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa, serta yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Agama ini adalah tauhid, kepercayaan pada keesaan Allah.

Allah menekankan pentingnya untuk menegakkan agama dengan teguh dan tidak berpecah belah di dalamnya. Bagi orang musyrik, agama tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sangatlah berat untuk diikuti. Allah menegaskan bahwa Dia memilih siapa yang akan menerima petunjuk agama tauhid.

Secara umum, perbedaan dalam menentukan jumlah ayat yang di-nasakh cenderung menyusut seiring berjalannya waktu. Ulama yang hidup pada zaman lampau (mutaqaddimin) cenderung menyatakan jumlah ayat mansukh lebih banyak daripada yang diyakini oleh ulama yang datang kemudian (mutaakhkhirin).

Muhammad Abdul Adzim al-Zarqani, dalam kitab Manahil Al-’Irfan fii Ulum Alquran, menjelaskan ayat-ayat yang dianggap sebagai ayat-ayat mansukh, yang juga dinyatakan oleh Abu Bakr Al-’Arabi dan Imam Jalaluddin Al-Suyuthi.

Mereka menyebut dua puluh dua ayat sebagai ayat-ayat mansukh, namun sebenarnya ini mencerminkan tahapan dalam syariat Islam yang saling terkait dan urutan turunnya ayat yang teratur, bukan penghapusan satu ayat oleh ayat atau hadis lainnya.

Di antaranya ialah tentang masalah wasiat dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 180 berikut ini: 

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput sesorang diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.”

Ayat di atas mansukh oleh ayat-ayat tentang kewarisan dan oleh hadis Nabi Muhammad SAW berikut ini:

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ أَلَا لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang yang mempunyai hak akan haknya, maka ingatlah tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Jika Allah mengubah suatu hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang merupakan sumber utama hukum dalam Islam, terdapat beberapa pelajaran yang bisa dipetik, yaitu:

1. Menjaga kemashlahatan: Allah tidak akan berlaku zalim terhadap hamba-Nya dengan membiarkan berlakunya sesuatu yang salah tanpa menggantinya dengan yang lebih baik.

2. Mengembangkan pensyari’atan hukum sampai pada tingkat yang sempurna: Hukum selalu disesuaikan dengan perkembangan dakwah Islam dan kondisi umat manusia.

3. Menguji kualitas keimanan: Dengan adanya perubahan hukum, dapat dilihat siapa yang tetap istiqamah mengikutinya dan siapa yang justru menjadi ingkar.

4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan: Jika hukum menjadi lebih berat, terdapat tambahan pahala di dalamnya, sedangkan jika menjadi lebih ringan, terkandung kemudahan.

Wallahu A’lam
Oleh Dinda Shelviana Syahfitri (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

11 komentar pada “Konsep dan Implikasi Nasikh Mansukh, Begini Penjelasannya

  • Putri elyana

    Bagaimana cara menentukan apakah suatu ayat dalam alquran adalah nasikh atau mansukh

    Balas
  • Wita Afrina

    apa implikasi penerapan nasikh dan mansukh dalam menjaga kesinambungan ajaran islam dari masa kemasa serta memudahkan umat dalam menjalankan hukum syariat

    Balas
  • Annisa Khairani

    Bagaimana konsep nasikh mansukh mencerminkan kemampuan hukum islam untuk beradaptasi dengan perubahan zaman?

    Balas
  • Intan Alawiyah

    Bagaimana cara membedakan antara nasikh dan mansukh?

    Balas
  • 1.Bagaimana konsep nasikh dan mansukh mempengaruhi pendekatan islam terhadap isi isu kontemporer seperti hak asasi manusia , gender, dan politik?

    Balas
    • Dina Fitriani Bahri Purba

      coba jelaskan bagaimana konsep Nasikh dan Mansukh membantu kita memahami pesan Al-Qur’an di era zaman modern?

      Balas
  • Muhammad Luthfi

    apa maksud dari hukum khusus dan hukum umum

    Balas
  • Nelli rosliana Pohan

    Apa saja implikasi dari konsep nasikh mansukh dalam hukum Islam

    Balas
  • Hapni sahri

    Bagaimana peran nasikh dan mansukh dalam memahami makna al qur’an

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk