Al-Qur'an & HadisGaya Hidup

Stratifikasi Sosial dalam Islam: Perspektif Al-Qur’an dan Hadis

TATSQIF ONLINE Dalam masyarakat Islam, kelas sosial atau stratifikasi sering dilihat dari tingkat keilmuan dan ketaatan agama. Contohnya, seorang guru atau ulama memiliki status lebih tinggi daripada murid karena keilmuannya dan ketaatannya pada ajaran agama. Kelas sosial bisa berubah tergantung usaha individu, bukan terikat secara turun temurun.

Islam diturunkan dengan tujuan memperbaiki akhlak sosial masyarakat, awalnya di tengah masyarakat Arab yang masih jahiliyah, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia dengan kondisi sosial yang berbeda-beda. Hal ini menghasilkan berbagai bentuk kelas sosial yang dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat setempat.

Meskipun bentuknya bervariasi, intinya tetap menghormati individu yang berilmu agama dan taat pada Islam. Bahkan, dalam satu negara pun, kelas sosial masyarakat Islam bisa berbeda-beda tergantung pada konteks sosialnya.

Islam mengajarkan kesetaraan sosial, yang diterapkan oleh Nabi Muhammad shallalahu alaihi wa sallam. Sebelumnya, pada zaman jahiliyah, perbedaan kelas sangat terasa, namun Nabi Muhammad menghilangkan perbedaan itu.

Stratifikasi sosial dalam Islam berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu, yang sangat ketat dan eksklusif. Meskipun ada kemajuan di beberapa daerah, seperti di Bali yang lebih longgar, di India hukum kasta masih berlaku, dengan kasta Dalit yang dipandang rendah dan masih mengalami diskriminasi.

Stratifikasi sosial adalah penyusunan masyarakat ke dalam berbagai tingkatan atau lapisan. Istilah ini juga merujuk pada pembagian antara berbagai lapisan dalam masyarakat.

Istilah “stratifikasi” berasal dari kata “stratum” yang berarti lapisan, sedangkan “sosial” merujuk pada masyarakat. Proses ini menghasilkan berbagai kelas sosial, seperti kelas atas, menengah, dan bawah.

Menurut Gaetano Mosca, seorang sosiolog Italia, kelompok-kelompok ini terkait dengan konsep kekuasaan, yang menyatakan bahwa ada kelompok yang memiliki kekuatan lebih besar daripada yang lain.

Selain kekuasaan, pembentukan stratifikasi sosial juga terkait dengan konsep status sosial. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh antropolog Amerika, Ralph Linton.

Konsep status sosial yang diperkenalkannya mencakup status primer (diberikan), status yang dicapai (yang diperoleh melalui usaha), dan status yang ditetapkan (yang ditentukan oleh faktor luar). Perbedaan dalam status sosial ini juga merupakan faktor dalam pembentukan stratifikasi sosial dalam masyarakat.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), stratifikasi sosial digambarkan sebagai pembagian penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas berdasarkan kekuasaan, hak istimewa, dan prestise.

Terdapat tujuh jenis dasar yang membentuk stratifikasi sosial, di mana tidak semua orang dapat memilikinya, sehingga terbentuklah perbedaan lapisan untuk membedakan mereka yang memiliki prestise dengan yang tidak.

Pertama, kekayaan menjadi dasar utama pembentukan stratifikasi sosial karena perbedaan dalam kemampuan memenuhi kebutuhan hidup. Individu dengan kekayaan lebih banyak ditempatkan di lapisan atas, sementara yang kurang berkecukupan berada di lapisan bawah.

Kedua, kekuasaan memainkan peran penting dalam pembentukan stratifikasi sosial karena tidak semua orang memiliki akses yang sama ke jabatan-jabatan tertentu. Individu dengan kekuasaan ditempatkan di lapisan atas, seperti Presiden atau Menteri, dan memiliki wewenang mengatur pemerintahan.

Ketiga, kehormatan menjadi dasar stratifikasi bagi mereka yang dianggap memiliki kemampuan kepemimpinan atau kharisma, seperti pemuka adat yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat.

Keempat, stratifikasi berdasarkan keturunan diperoleh secara turun-temurun atau melalui kelahiran, seperti Pangeran William yang merupakan cucu dari Ratu Elizabeth II.

Kelima, pendidikan memainkan peran penting dalam meningkatkan status sosial seseorang. Dengan pendidikan tinggi, seseorang dapat memperoleh penghasilan yang lebih besar dan naik dalam lapisan sosial.

Keenam, stratifikasi berdasarkan status sosial dilihat dari hak dan kewajiban individu dalam masyarakat, yang bisa berubah tergantung pada lingkungan tempat individu tersebut berada.

Terakhir, gaya hidup menjadi dasar pembentukan stratifikasi sosial dalam konteks globalisasi dan media sosial, di mana individu berlomba-lomba untuk tampil menarik dan dihargai.

Al-Qur’an tidak hanya merupakan kitab suci bagi umat Islam yang mengatur hubungan individu dengan Allah SWT, tetapi juga memberikan pedoman hidup baik secara individu maupun sosial bagi seluruh umat manusia.

Pelapisan yang terjadi dalam masyarakat adalah hal yang alami, dan setiap masyarakat memiliki tatanan, norma, dan nilai yang dipegang teguh. Ini juga berlaku dalam pandangan Al-Qur’an, di mana setiap kelompok masyarakat memiliki falsafah hidup yang mendasari stratifikasi sosial yang ada. Untuk kemaslahatan umat manusia, falsafah hidup ini perlu dipahami dan dijalankan sesuai dengan ajaran Al-Qur’an sebagai wahyu Tuhan.

Namun, yang perlu diperhatikan, bahwa ayat-ayat Al-Qur’an dan ajaran Nabi Muhammad saw menegaskan bahwa tidak ada diskriminasi berdasarkan status sosial, melainkan yang membedakan manusia di mata Tuhan adalah tingkat ketakwaannya.

Allah SWT berfirman dalam Alquran surah Al-Hujurat ayat 13 sebagai berikut:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Artinya: “Hai orang-orang beriman,apabila dikatakan padamu:“Berlapang–lapanglah dalam majelis’’maka lapanglah, niscayaAllah akan memberi kelapangan untukmu.Dan apabila dikatakan:Berdirilahkmu,maka berdirilah,niscaya allah akan mengangkat /meningggikan orang –orang yang beriman diantara kamudan orang –orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” 

Ayat ini menegaskan bahwa dalam Islam, tidak ada diskriminasi atau perbedaan status sosial dalam pandangan Allah. Ketika seseorang diperintahkan untuk merapatkan barisan atau berlapang dada di majelis, maka mereka harus melakukannya tanpa memandang status sosial atau kekayaan.

Allah menjanjikan bahwa bagi orang yang beriman dan memiliki ilmu pengetahuan, Dia akan meninggikan mereka dalam derajat. Ini menunjukkan bahwa dalam pandangan Allah, yang diangkat adalah mereka yang beriman dan memiliki ilmu, bukan berdasarkan status sosial atau kekayaan.

Dalam salah satu sabdanya, Nabi Muhammad SAW menyatakan :

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

Artinya: “Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian tetapi Ia melihat hati dan amal kalian,” (HR Muslim).

Hadis yang disebutkan adalah hadis sahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Dawud, Ibn Hibban, Ahmad ibn Hanbal, dan lainnya. Meskipun terdapat variasi dalam redaksi matannya, namun esensinya tetap sama, yaitu bahwa Allah tidak memandang tampilan fisik atau kekayaan seseorang, melainkan hati dan amalnya.

Makna dari “Allah melihat” dalam hadis tersebut, menurut penjelasan Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim, adalah bahwa Allah tidak memberikan balasan atau menghitung amal seseorang berdasarkan penampilan fisiknya, melainkan berdasarkan apa yang terdapat dalam hatinya.

Allah tidak memberi ganjaran berdasarkan bentuk tubuh atau jumlah harta seseorang. Tubuh manusia tidak dipertanggungjawabkan dalam hukum. Yang dipertanggungjawabkan adalah perbuatan manusia. Allah tidak memandang status kekayaan seseorang, melainkan hati dan amalnya. Ikhlas merupakan amal batin yang sangat penting dalam pandangan Allah.

Wallahu A’lam
Oleh Khoirun Fhadilah (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

4 komentar pada “Stratifikasi Sosial dalam Islam: Perspektif Al-Qur’an dan Hadis

  • Khasana Oriza sativa

    Apakah stratifikasi sosial di masyarakat bisa dihilangkan?jika bisa coba jelaskan dan jika tidak bisa coba jelaskan juga!

    Balas
  • Pada jenis stratifikasi sosial disebutkan bahwa kekuasaan, penghormatan, pendidikan dan gaya hidup merupakan dasar pembentukan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Jadi, bagaimana pandangan pemakalah jika stratifikasi sosial itu berhadapan dengan hukum, dimana kita lihat bahwa hukuman juga melihat stratifikasi sosial seseorang dalam masyarakat??

    Balas
  • Hasmaul Husna Harahap

    Mengapa harus ada stratifikasi dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia?

    Balas
  • Nur 'Asridah Nst

    Bagaimana stratifikasi sosial dalam masyarakat? Dan apa saja pelapisan / penggolongan masyarakat menurut al- Qur’an ?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk