Adab & HumanioraAl-Qur'an & HadisGaya Hidup

Al-Qur’an: Memperkuat Kebudayaan Islami dan Harmoni Sosial

TATSQIF ONLINE Al-Qur’an merupakan sumber utama nilai ajaran Islam yang mendorong manusia untuk berinteraksi sosial dan membentuk kebudayaan. Kitab suci ini menuntun umat Muslim dalam mengatur perilaku mereka dan menciptakan lingkungan sosial yang harmonis.

Meskipun demikian, perlu diakui bahwa kebudayaan manusia merupakan hasil dari interaksi sosial yang kompleks, yang dapat mencakup nilai-nilai baik maupun buruk.

Al-Qur’an hadir menjadi panduan yang jelas bagi umat Islam dalam mengevaluasi dan memperkuat nilai-nilai positif dalam kebudayaan, serta untuk menghindari nilai-nilai yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Indra Tjahyadi dalam bukunya yang berjudul Kajian Budaya Lokal, menjelaskan bahwa kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah yang berarti budi atau akal. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), budaya merupakan pikiran, akal budi, hasil, adat istiadat atau sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan sehingga sulit untuk diubah.

Budaya adalah pola hidup menyeluruh yang merupakan karya, hasil cipta, karsa, rasa, dan produk suatu masyarakat maupun bangsa yang dianggap baik dan diterapkan atau diaplikasikan dalam tatanan kehidupan. Dalam makna luas kebudayaan tidak hanya mencakup pada adat istiadat, namun juga mencakup bahasa, keyakinan, perkembangan teknologi, peradaban, dan pandangan hidup masyarakat.

Melansir dari laman rumahsosiologi.com, kebudayaan dimaknai dengan keseluruhan dari warisan, ide-ide, keyakinan, nilai-nilai, dan pengetahuan yang merupakan basis bersama dalam aksi sosial. Membicarakan tentang budaya berarti membincangkan seluruh aspek kehidupan manusia, baik itu dari cara bertindak, cara berfikir serta material yang bersama-sama membentuk kehidupan manusia.

Budaya membahas yang berkaitan dengan masa lalu dan memberi petunjuk untuk masa depan. Sedangkan dalam agama Islam, kebudayaan dipandang sebagai  hasil cipta, karya, rasa, serta peradaban manusia  yang berlandaskan pada nilai-nilai ketauhidan.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-A`raf ayat 199 sebagai berikut:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَاَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ

Artinya: “Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta jangan pedulikan orang-orang yang bodoh.”

Ayat ini menekankan tiga konsep penting dalam dinamika sosial masyarakat yang berkaitan dengan sosiologi budaya. Pertama, ia menyoroti pentingnya sikap pemaafan dalam membangun hubungan yang harmonis di tengah-tengah masyarakat. Pemaafan merupakan modal sosial yang mendorong kerukunan antar individu dan membantu dalam mengurangi konflik sosial.

Kedua, ayat ini mengajarkan pentingnya mendorong perilaku yang baik (makruf) dalam masyarakat. Hal ini menekankan peran individu dalam membentuk dan memelihara norma-norma sosial yang positif, serta memperkuat nilai-nilai moral dan etika dalam budaya masyarakat.

Ketiga, ayat ini menegaskan perlunya menolak kebodohan (jahil) dalam masyarakat. Hal ini menekankan pentingnya pendidikan, kesadaran, dan pengetahuan sebagai penolakan terhadap perilaku atau pandangan yang tidak sesuai dengan syariat.

Dalam kitab Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, menyatakan bahwa ma’ruf (معروف) sama dengan al-‘urf (العرف), yaitu tradisi atau kebiasaan yang diterima oleh masyarakat, yaitu adat istiadat yang sesuai dengan akal sehat dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Al-‘Urf adalah tindakan baik yang umumnya diterima dan disepakati dalam masyarakat setempat. Adat istiadat ini merupakan hasil kesepakatan tanpa paksaan, sehingga terdapat perbedaan budaya antar masyarakat sesuai tradisi masing-masing.

Ungkapan yang menyatakan bahwa jika kebaikan tidak diamalkan, maka bisa berubah menjadi keburukan, dan sebaliknya, menggambarkan bagaimana budaya berubah seiring waktu. Pandangan ini bisa dimengerti dalam konteks budaya yang berakar pada nilai-nilai agama.

Kebudayaan memberikan kekayaan dan keragaman, sementara agama memberikan arah pada kebudayaan. Kedua elemen ini sangat berkaitan dalam mengatur kehidupan sosial, karena pemikiran keagamaan tidak hanya membentuk budaya, tetapi juga memberikan arahan dalam pembentukan budaya yang tepat.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ

Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.”

Buya Hamka dalam kitab Tafsir Al-Azhar,  menguraikan bahwa manusia diciptakan dengan keberagaman jenis, bangsa, dan suku bukanlah untuk memperjauh hubungan mereka, melainkan supaya mereka saling mengenal asal-usul mereka, yang hakikatnya adalah berasal dari satu keturunan.

Jika dilihat dari sudut pandang sosiologi budaya, ayat tersebut menyoroti aspek-aspek penting dalam dinamika sosial manusia. Pertama, ia menggarisbawahi kompleksitas identitas sosial manusia yang terbentuk dari berbagai faktor, seperti jenis kelamin, bangsa, dan suku-suku.

Hal ini menggambarkan keragaman dalam masyarakat yang mempengaruhi interaksi sosial dan integrasi sosial. Ayat tersebut mengajarkan pentingnya menghargai keberagaman budaya dan memperkuat integrasi sosial antar individu dengan saling mengenal satu sama lain.

Selanjutnya, konsep pluralisme kultural ditonjolkan dalam ayat tersebut, yang menekankan nilai-nilai saling menghargai dan pemahaman terhadap perbedaan budaya. Hal ini mendorong pertukaran budaya yang positif, inovasi, dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia. Integrasi sosial yang kuat merupakan kunci dalam memperkuat solidaritas sosial dan stabilitas masyarakat.

Melalui interaksi dalam keberagaman tersebut, tercipta kebudayaan dan rasa kebersamaan yang menjadi warna dalam kehidupan bersosial. Dengan adanya kebersamaan, terbuka peluang untuk mengekspresikan diri, hidup berdampingan, serta bekerja sama dalam membentuk pola hidup Qur`ani yang mampu mengendalikan diri dan membentuk budaya yang islami.

Ayat tersebut juga menegaskan bahwa kehormatan sejati dalam masyarakat tidak ditentukan oleh faktor-faktor eksternal seperti status sosial atau kekayaan, tetapi oleh ketakwaan seseorang kepada Allah. Hal ini mengubah paradigma nilai dalam masyarakat, yang menekankan spiritualitas dan keadilan sosial sebagai landasan utama kehormatan dan penghargaan antar individu.

Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 170 berikut ini:

وَاِذَا قِيْلَ لَهُمُ اتَّبِعُوْا مَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ قَالُوْا بَلْ نَتَّبِعُ مَآ اَلْفَيْنَا عَلَيْهِ اٰبَاۤءَنَا ۗ اَوَلَوْ كَانَ اٰبَاۤؤُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ شَيْـًٔا وَّلَا يَهْتَدُوْنَ

Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah.” Mereka menjawab, “(Tidak!) Kami mengikuti apa yang kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya).” Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa pun, dan tidak mendapat petunjuk.”

Ayat ini menyoroti sikap orang musyrik yang menolak risalah islam, dan lebih memilih mengikuti tradisi nenek moyang mereka, meskipun tidak berdasar pada pengetahuan yang benar.

Dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa manusia seharusnya mengikuti wahyu Allah dan meninggalkan kesesatan. Umat Islam dilarang mengikuti tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Haram hukumnya taqlid kepada yang tidak berilmu, hanya boleh pada yang berilmu dan berasal dari wahyu ilahi. Ayat ini juga menekankan pentingnya kesadaran dalam mengikuti ajaran agama daripada hanya mengikuti tradisi semata.

Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Qur’an bukan hanya merupakan sumber ajaran agama Islam, tetapi juga menjadi panduan utama dalam membentuk perilaku sosial dan membina kehidupan budaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.

Al-Qur’an menekankan pentingnya sikap pemaafan, mendorong kebiasaan baik, dan menolak kebodohan sebagai landasan untuk membangun hubungan harmonis di masyarakat. Selain itu, Al-Qur’an juga mengajarkan penghargaan terhadap keberagaman budaya dan integrasi sosial, serta melarang taqlid pada budaya yang salah.

Dengan memahami dan menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari, diharapkan umat Islam dapat memperkuat nilai-nilai positif dalam kebudayaan serta menciptakan lingkungan sosial yang lebih baik dan harmonis sesuai dengan ajaran Islam.

Wallahu A’lam
Oleh Alfina Sovia (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

6 komentar pada “Al-Qur’an: Memperkuat Kebudayaan Islami dan Harmoni Sosial

  • Apa nilai-nilai budaya yang terkandung dalam Alquran yang relevan untuk diterapkan dalam masyarakat modern?

    Balas
  • Rahma Amalia Rosa

    Dalam artikel ini terdapat ayat al- Qur’an yang berkenaan dengan kebudayaan, yaitu pada surah al- A’raf ayat 199. Dalam ayat ini menekankan tiga konsep penting dalam dinamika sosial masyarakat yang berkaitan dengan sosiologi budaya, yang sudah dijelaskan dalam artikel diatas.

    Pertanyaan nya Bagaimana konsep kebodohan (jahil) dalam ayat al- Qur’an tersebut jika diterapkan dalam konteks pendidikan dan pengetahuan untuk menolak perilaku atau pandangan yang bertentangan dengan syariat?

    Balas
  • NUR 'ASRIDAH NASUTION

    Coba saudari jelaskan bagaimana cara memperkuat kebudayaan islam dan harmoni sosial kepaada diri seseorang agar bisa berinteraksi dengan dengan baik terhadap orang di sekitarannya?

    Balas
    • Alfina sovia

      Cara memperkuat kebudayaan Islam :
      1. Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya melestarikan kebudayaan Islam
      2. Memupuk rasa cinta terhadap kebudayaan Islam
      3. Membangun kesadaran generasi muslim akan tanggung jawab terhadap kemajuan kebudayaan Islam
      4. Menganggap budaya sebagai identitas
      5. Mempelajari, mengikuti dan mengajarkan kebudayaan Islam
      Cara memperkuat harmoni sosial :
      1. Meningkatkan rasa persatuan dalam perbedaan
      5. Membangun sikap toleransi dan saling menghargai
      6. Memperkuat nilai kebersamaan dan persatuan
      7. Menjaga dan meningkatkan interaksi dan komunikasi antar masyarakat dan antar- budaya

      Balas
  • Romaito samita srg

    Berbicara tentang kebudayaan, bagaimana pandangan saudari tentang nonis yang berburu takjil seperti yang ramai akhir-akhir ini?

    Balas
    • Alfina Sovia

      Takjil merupakan cemilan yang biasa disantap umat muslim saat buka puasa. Tren nonis berburu takjil memang sedang ramai akhir² ini, namun menurut pandangan penulis fenomena ini bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan, mengingat bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang melanggar syariat.
      Fenomena ini dipandang positif oleh umat Islam dan umat agama lain, karena kejadian ini cukup unik dan lucu. Mengingat bahwa bulan ramadhan yang identik dengan umat muslim kini ikut diramaikan dengan toleransi dari non muslim. Kaum non muslim seolah ikut meramaikan kebersamaan ramadhan dengan berkontribusi membantu menghabiskan dagangan penjual takjil yang biasanya berasal dari masyarakat kelas menengah kebawah
      Jadi tren berburu takjil oleh non muslim dipandang sebagai fenomena yg mencerminkan indahnya toleransi antar umat beragama

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk