Al-Qur'an & HadisFiqh & Ushul Fiqh

Makna dan Manfaat Mahar dalam Pernikahan Menurut Islam

TATSQIF ONLINE Mahar merupakan pemberian yang harus diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai perempuan sebagai syarat pernikahan. Istilah lain untuk mahar adalah maskawin.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahar adalah pemberian yang wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan saat akad nikah berlangsung.

Secara etimologi, mahar berasal dari kata al-mahr, yang juga dikenal sebagai shadaaq. Hal ini menggambarkan penyerahan harta yang menunjukkan niat untuk melaksanakan akad nikah.

Secara istilah, mahar adalah harta yang menjadi hak wanita dari mempelai pria dalam akad nikah sebagai pengganti diperkenankannya bersenang-senang dengannya, seperti yang terkait dengan hubungan suami istri.

Dalam Islam, mahar tidaklah dianggap sebagai harga dari seorang wanita yang dinikahi, karena pernikahan bukanlah bentuk jual beli wanita. Mahar juga merupakan bukti keseriusan mempelai pria yang ingin menikahi wanita yang dipujanya, serta menunjukkan bahwa Islam sangat memuliakan wanita.

Oleh karena itu, tidak ada ukuran pasti atau jumlah tertentu dalam mahar, karena ia bersifat relatif dan dapat disesuaikan dengan kemampuan dan norma yang berlaku dalam masyarakat.

Rasulullah SAW mengajarkan kepada umatnya agar tidak berlebihan dalam menetapkan besarnya mahar. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kesulitan bagi para pemuda yang ingin menikah, karena mempersulit pernikahan dapat berdampak negatif bagi mereka yang sudah memiliki keinginan kuat untuk menjalankannya.

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

خَيْرُ الصَّدَاقِ أَيْسَرَهُ

Artinya: “Sebaik-baik mahar adalah yang paling mudah (ringan) maskawinnya,” (HR Dawud dan Hakim).

Hadis ini mengajarkan bahwa mahar yang terbaik adalah yang mudah atau ringan. Pesannya adalah untuk memudahkan proses pernikahan dan menghindari kesulitan yang tidak perlu bagi para pemuda yang ingin menikah. Hadis tersebut juga mengajarkan nilai kelembutan dan kemudahan dalam memperlakukan sesama, sesuai dengan ajaran Islam.

Ada pula hadis dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مِنْ يُمْنِ الْمَرْأَةِ أَنْ تَتَيَسَّرَ خِطْبَتُهَا وَأَنْ يَتَيَسَّرَ صَدَاقُهَا وَأَنْ يَتَيَسَّرَ رَحِمُهَا

Artinya: “Termasuk berkahnya seorang wanita, yang mudah khitbahnya (melamarnya), yang mudah maharnya, dan yang mudah memiliki keturunan,” (HR Ahmad).

Hadis ini menggambarkan berkah yang terkandung dalam seorang wanita. Rasulullah SAW menyatakan bahwa salah satu berkah tersebut adalah kemudahan dalam tiga hal: khitbah (melamar), mahar (maskawin), dan memiliki keturunan.

Pesan yang terkandung dalam hadis ini adalah pentingnya memudahkan proses pernikahan bagi para pemuda yang ingin menikahi seorang wanita. Hal ini mencakup kemudahan dalam melamar, menetapkan mahar, dan mendapatkan keturunan.

Dengan memperhatikan kemudahan-kemudahan ini, diharapkan proses pernikahan dapat berjalan lancar dan membawa berkah bagi kedua belah pihak.

Mahar yang mudah memiliki manfaat yang besar, antara lain mengikuti sunnah Nabi SAW, memudahkan para pemuda untuk menikah, dan menyebabkan cinta serta langgengnya kasih sayang. Namun, di era modern saat ini, konsep mahar dapat berbeda-beda tergantung pada daerah tempat tinggal dan latar belakang pendidikan seseorang.

Di daerah yang sangat menghormati adat dan tradisi, proses akad nikah sering kali dipengaruhi oleh besarnya mahar yang akan diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Orang tua mempelai wanita cenderung meminta mahar sesuai dengan tingkat pendidikan anak mereka. Semakin tinggi pendidikan mempelai wanita, semakin besar pula mahar yang diminta oleh keluarga.

Namun, jika terlalu mengikuti status sosial atau pendidikan, hal ini dapat menjadi beban sosial dan menyulitkan para pemuda yang ingin menikah, karena beberapa dari mereka mungkin tidak mampu memenuhi besar mahar yang diminta oleh pihak keluarga mempelai wanita.

Oleh karena itu, pihak mempelai perempuan harus bijak dalam menentukan nilai mahar, agar tidak memberatkan salah satu pihak, sembari tetap mengikuti ajaran Nabi SAW.

Menurut penjelasan dalam buku Fikih Munakahat karya Sudarto, mahar harus memenuhi beberapa ketentuan agar pernikahan dianggap sah. Berikut adalah syarat-syaratnya:

1. Nilai dan Kelayakan Barang
Mahar harus berupa benda yang memiliki nilai atau kelayakan tertentu. Meskipun jumlahnya sedikit, asalkan memiliki nilai, maka mahar tersebut tetap sah.

2. Kebersihan dan Manfaat Barang
Mahar haruslah barang yang bersih dan dapat dimanfaatkan. Barang seperti minuman keras, daging babi, atau darah tidak diperbolehkan karena haram dan tidak memiliki nilai.

3. Bukan Barang Gasab
Mahar tidak boleh berupa barang hasil penjarahan. Barang yang diperoleh dengan cara curian, meskipun tujuannya untuk dikembalikan, tidak diperbolehkan sebagai mahar. Namun, akad nikahnya tetap sah.

4. Keterangan yang Jelas
Kondisi mahar harus jelas, termasuk jenis dan keadaannya. Mahar tidak dianggap sah jika tidak disebutkan dengan jelas.

5. Kesesuaian Jumlah dengan Kemampuan
Besar kecilnya mahar yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami. Penentuan ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara kedua calon pengantin. Mahar juga sebaiknya tidak terlalu tinggi atau terlalu rendah, sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan bersama.

Seluruh persyaratan di atas harus dipenuhi agar sesuai dengan syariat Islam. Dengan memahami hal ini, diharapkan ikatan pernikahan dapat menjadi sumber berkah dan kebahagiaan bagi pasangan suami istri, sekaligus mencerminkan nilai-nilai kemuliaan dan kasih sayang yang diajarkan dalam Islam.

Wallahu A’lam
Oleh Winda Aprina Sari Manullang (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

18 komentar pada “Makna dan Manfaat Mahar dalam Pernikahan Menurut Islam

  • Latifah Siregar

    Apa dasar hukum pemberian mahar dalam pernikahan Islam. coba anda berikan contohnya dan jelaskan

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Mahar merupakan pemberian yang harus diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai perempuan sebagai syarat pernikahan. Dalam konteks hukum perkawinan Islam, pihak mempelai laki-laki diwajibkan memberikan mahar kepada pihak mempelai perempuan. Bentuk mahar pernikahan dalam Islam dapat berupa harta atau manfaat, namun jenis dan jumlahnya tidak ditetapkan secara tepat, melainkan disepakati melalui musyawarah antara kedua mempelai.
      Syariat mahar dalam akad nikah diatur langsung oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Di dalam Al Quran, dalil tentang mahar disebutkan pada beberapa ayat di surah An Nisa.
      contohnya yaitu mempertemukan keluarga dari kedua belah pihak untuk musyarawah menyepakati apa yg menjadi mahar dan berapa jumlah mahar yg akan diberikan mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan

      Balas
  • Eka Alisyah Hasibuan

    Bagaimana peran mahar dalam menjaga hak hak perempuan dalam pernikahan

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Mahar memiliki peran penting dalam menjaga hak-hak perempuan dalam pernikahan. Menurut ajaran Islam, mahar adalah hak mutlak seorang istri dan bukan untuk kerabatnya atau orang tua istri. Bahkan, selain istri tidak dibenarkan menikmati mahar nikah, termasuk suami sendiri. Tanpa seizin istri, memanfaatkan mahar ini hukumnya haram.
      Mahar diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai perempuan sebagai syarat pernikahan. Bentuk mahar dapat berupa harta atau manfaat. Dengan penyerahan mahar dari seorang laki-laki pada perempuan yang dinikahinya, akad nikah menjadi sempurna.
      Jadi, mahar adalah cara untuk melindungi hak-hak perempuan dalam pernikahan, memberikan jaminan keamanan dan kemerdekaan finansial bagi perempuan dalam pernikahan.

      Balas
  • Hikma Anisa siregar

    Terkait dengan konsep mahar dalam pernikahan,apa yang menjadi dasar hukumnya dalam Islam dan bagaimana nilai nilai atau prinsip yang di junjung tinggi terkait dengan mahar?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Dasar hukum mahar dalam Islam tercantum dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” Ayat ini menjelaskan bahwa mahar adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh calon suami untuk calon istrinya dalam pernikahan.
      Nilai-nilai atau prinsip yang dijunjung tinggi terkait dengan mahar, bisa kita lihat didalam artikel saya ini yaitu:
      1. Mahar harus berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
      2. Mahar harus merupakan benda berharga yang suci dan bisa diambil manfaatnya.
      3. Mahar tidak boleh merupakan barang hasil rampasan atau curian.
      4. Keadaan atau kondisi mahar harus jelas dan bisa dipahami oleh kedua belah pihak. Setiap jenis mahar memiliki aturan dan ketentuan tersendiri yang harus dipahami dan disepakati oleh kedua belah pihak.
      5. Kesesuaian Jumlah dengan Kemampuan
      Besar kecilnya mahar yang diberikan harus disesuaikan dengan kemampuan calon suami. Penentuan ini dilakukan berdasarkan kesepakatan antara kedua calon pengantin.
      Dengan demikian, mahar bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi juga simbol penghargaan dan penghormatan terhadap perempuan dalam pernikahan. Itu sebabnya, penyerahan mahar harus dilakukan dengan penuh kerelaan dan tanpa paksaan.

      Balas
  • Arizul Perdana

    bagaimana jika sewaktu waktu keaadaan ekonomi sepasang suami istri sedang terpuruk apakah boleh mahar itu di jual untuk meringankan beban suami istri tersebut?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Boleh
      Menurut para ulama, mahar yang diberikan oleh suami kepada istrinya merupakan milik penuh seorang istri. Karena itu, seorang istri berhak menggunakan dalam bentuk apapun terhadap mahar yang diterima dari suaminya, baik djual, disimpan, atau diberikan kepada orang lain. Selama istri ridha, maka suami boleh menggunakan mahar istrinya dalam bentuk apapun begitu juga disaat ekonomi mereka sedang terpuruk.

      Balas
  • Nur Kholilah

    Kan mahar adalah pemberian yang harus di berikan mempelai laki kepada wanita sebagai syarat pernikahan.yang menjadi pertanyaan saya jika syarat mahar dalam pernikahan tidak terpenuhi apakah bisa untuk menikah?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Suatu perkawinan baru dianggap sah apabila telah memenuhi rukun-rukun dan syaratnya. Mahar merupakan salah satu syarat sah menikah, maka dari itu apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka pernikahan dianggap batal. Dalam hadis Nabi saw juga bersabda “menikahlah meskipun maharnya hanya dengan cincin besi”
      dari hadis tersebut dapat kita simpulkan bahwa mahar merupakan bukti keseriusan mempelai pria yg ingin menikahi wanita yg di pujanya,walaupun hanya dengan cincin besi sekalipun

      Balas
  • Latipa Hanum sitompul

    Bolehkah mahar ditentukan wali perempuan dengan kadar tertentu apakah hal tersebut dibolehkan dalam Islam?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Dalam Islam, mahar adalah hak bagi perempuan, karena itu wali tidak boleh menentukan besaran mahar. Namun, apabila pihak perempuan mewakilkan atau menyerahkan urusan penentuan besaran mahar kepada walinya, maka dalam hal ini wali boleh menentukan berapa besaran maharnya.
      Jadi, dalam konteks ini, peran wali lebih kepada sebagai pelindung dan penasihat bagi perempuan dalam menentukan besaran mahar, bukan sebagai penentu. Keputusan akhir tetap berada di tangan perempuan tersebut, kecuali jika dia secara sukarela meminta wali untuk menentukan besaran mahar.
      Secara umum, nilai mahar ditentukan berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, baik itu calon suami dan calon istri, atau antara wali dan calon suami jika perempuan meminta wali untuk mewakilinya.

      Balas
  • Nurjannah Hasibuan

    bagaimana pandangan saudara mengenai tradisi minang, yang mana perempuan lah yang memberikan mahar kepada laki laki?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Menurut pandangan saya tradisi Minangkabau memiliki budaya unik dalam pernikahan karena masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan matrilineal, di mana garis keturunan berasal dari pihak ibu dan memuliakan perempuan sebagai sumber kehidupan. Dalam tradisi ini, pihak keluarga perempuan memberikan sejumlah uang atau benda kepada pihak laki-laki (calon suami) sebelum akad nikah dilangsungkan. Namun, penting untuk kita ingat bahwa tradisi ini bukan berarti ‘membeli’ lelaki, tetapi lebih diartikan sebagai tradisi ‘menjemput’ lelaki. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk mempererat tali kekeluargaan dan saling menghormati antar kedua pihak keluarga mempelai. Jadi, meski tampak seolah-olah bertentangan dengan konsep mahar dalam Islam, tradisi ini sebenarnya memiliki makna dan tujuan yang mendalam dalam konteks budaya Minangkabau.

      Balas
  • Rahmat Alansyah Harahap

    Bagaimana hukumnya kalo seorang pria itu meminta maharnya kembali setelah berpisah? Karna menikah nya itu mereka merasa terpaksa setelah menikah bentar baru bercerai

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Menurut beberapa sumber yang saya temukan, hukum seorang pria meminta mahar kembali setelah berpisah tergantung pada konteks dan kondisinya.
      Jika pihak pria (suami) yang mengajukan perceraian, maka istri tidak berkewajiban untuk mengembalikan mahar tersebut. Akan tetapi, tidak wajibnya istri mengembalikan mahar bukan berarti mahar tidak bisa diminta untuk dikembalikan.
      Namun, dalam konteks lain, dianggap haram bagi suami untuk mengambil kembali mahar yang sudah diberikan kepada istrinya, meskipun keduanya sudah bercerai. Mahar adalah hak penuh seorang istri, dan siapa pun tidak boleh mengambilnya, termasuk suami.
      Namun, jika yang mengajukan perceraian adalah istri, dan suami mau menceraikannya dengan syarat apabila mahar yang pernah diberikan kepadanya dikembalikan, maka dalam konteks ini mahar bisa diminta kembali.
      Namun, ini semua tergantung pada hukum dan kebiasaan setempat, serta kesepakatan antara kedua belah pihak.

      Balas
  • Putri Maya Sari Tanjung

    Makalahnya bagus dan mudah dipahami. Lalu bagaimana pendapat penulis tentang ketentuan mahar yang disebutkan pada ijab qabul dan ada yang tidak disebutkan sepenuhnya pada ijab qabul?

    Balas
    • Winda Aprina Sari Manullang

      Terima kasih saya ucapkan kepada saudari, disini saya akan menjawab pertanyaan dari saudari.
      Menurut pendapat saya Ijab qabul merupakan salah satu syarat sahnya pernikahan. Ketentuan mahar dapat berbeda-beda tergantung pada kesepakatan antara kedua belah pihak.
      Dalam ijab qabul, ada beberapa ketentuan mahar yang umumnya disebutkan secara langsung, seperti jumlahnya dan kapan harus diberikan. Misalnya, calon suami menyebutkan bahwa ia akan memberikan mahar berupa uang sebesar 10 juta rupiah pada saat pernikahan dilangsungkan.
      Namun, ada juga kasus di mana mahar tidak disebutkan secara langsung dalam ijab qabul. Dalam hal ini, mahar dapat ditentukan secara terpisah atau melalui kesepakatan yang dibuat sebelum atau setelah pernikahan. Misalnya, kedua belah pihak telah sepakat bahwa mahar akan berupa perhiasan atau harta lainnya, namun tidak disebutkan secara spesifik dalam ijab qabul.
      Penting untuk dicatat bahwa meskipun mahar tidak disebutkan secara langsung dalam ijab qabul, tetap dianggap sebagai bagian dari pernikahan dan menjadi hak istri. Hal ini berarti bahwa suami tetap memiliki kewajiban untuk memberikan mahar sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat.
      Namun, dalam praktiknya, penting untuk melakukan komunikasi yang jelas dan terbuka antara calon suami dan istri mengenai mahar yang akan diberikan. Hal ini untuk menghindari kesalahpahaman dan konflik di kemudian hari.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk