Al-Qur'an & HadisMust Read

Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an: Konsep dan Contohnya

TATSQIF ONLINE Mengutip dari jurnal yang ditulis oleh Fazri, Teori Nasakh Wa Mansukh dalam Al-Qur’an, ia menyebutkan bahwa teori nasakh masih menimbulkan perdebatan di kalangan ulama, sehingga ada yang menerima dan ada yang menolak teori ini. Perbedaan pandangan ini tercermin dalam terminologi yang digunakan oleh ulama dari zaman klasik hingga kontemporer.

Sebagian ulama yang menolak konsep nasakh dengan alasan bahwa hukum yang telah ditetapkan sudah jelas ketentuannya dan tidak dapat dicabut. Selain itu, ulama yang menerima konsep nasakh dengan dalil yang ditemukan dalam firman Allah SWT, seperti yang terdapat dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 106 berikut ini:

مَا نَنْسَخْ مِنْ اٰيَةٍ اَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِّنْهَآ اَوْ مِثْلِهَا ۗ اَلَمْ تَعْلَمْ اَنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

Artinya: “Ayat yang Kami batalkan atau Kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu?”

Dilihat secara etimologi, kata nasakh adalah masdar, yang memiliki pola isim fa’il yaitu nasikh (ناسخ), sedangkan mansukh (منسوخ) adalah pola isim maf’ul. Ketiga kata ini berasal dari akar kata nasakha-yansukhu-naskhun (نسخ – ينسخ – نسخ), yang memiliki arti menghapuskan, menghilangkan, dan membatalkan.

Jadi, nasakh adalah penghapusan, penggantian, pengubahan, pemindahan. Sementara nasikh adalah sesuatu yang menghilangkan, menggantikan, mengubah, dan memindahkan. Lalu, mansukh adalah sesuatu yang dihapus, digantikan, dihilangkan, diubah, dan dipindahkan.

Oleh karena itu, dapat diketahui bahwa nasikh dan mansukh adalah metode yang dibuat, karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi.

Ditinjau secara terminologi, beberapa ulama mendefinisikan nasikh dalam arti yang beragam, namun ada juga ulama yang sepakat bahwa nasikh memiliki arti, yaitu mengangkat hukum syariat dengan hukum syariat (raf’u al-hukum asy-syar’i bi al-khithab asy-syar’i) atau mengangkat hukum dengan dalil syariat (raf’u al-hukm bil al-dalil asy-syar’i).

Manna Khalil al-Qattan menjelaskan di dalam kitabnya Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, bahwa yang dimaksud dengan nasikh adalah penghapusan suatu hukum syariat dengan hukum syariat yang lain, namun beliau mengecualikan penghapusan ini dengan sebab kematian atau gila.

Selain dari pada itu, Manna al-Qattan juga menjelaskan tentang mansukh merupakan suatu objek atau hukum yang akan dihapus, dengan memberikan contoh permasalahan pembatalan hukum wasiat dengan hukum warisan.

Nasakh

Dari segi istilah, nasakh adalah mengubah ketentuan hukum dengan cara membatalkan yang lama dan menggantinya dengan yang baru. Pengertian ini sejalan dengan arti nasakh yang sesungguhnya. Arti-arti lain seperti menghapus, memindahkan, dan menyalin tidak cocok dengan pengertian nasakh dalam konteks istilah.

Nasakh memiliki batasan yang jelas dalam ruang lingkupnya, yaitu:

Pertama, nasakh terjadi pada perintah dan larangan yang disampaikan oleh syariat. Ini mencakup segala bentuk perintah atau larangan yang diberikan kepada umat Islam untuk diikuti atau dihindari dalam kehidupan sehari-hari.

Kedua, nasakh tidak berlaku dalam konteks akhlak dan adab yang ditekankan oleh Islam. Prinsip-prinsip moral dan perilaku yang diperintahkan atau diharamkan oleh agama tidak berubah seiring waktu, melainkan merupakan aspek yang tetap dalam ajaran Islam.

Ketiga, nasakh tidak berlaku dalam hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, atau keyakinan pokok dalam Islam. Hal ini termasuk keyakinan tentang sifat-sifat Allah, kitab-kitab-Nya, hari akhir, serta hal-hal yang terkait dengan keyakinan yang jelas dan nyata dalam ajaran Islam.

Keempat, nasakh tidak terjadi dalam ibadah dasar dan mu`amalat, yang merupakan bagian penting dari praktik keagamaan dan interaksi sosial umat Islam. Prinsip-prinsip dasar ibadah dan hukum-hukum yang mengatur transaksi dan hubungan antar individu tidak berubah karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari praktik agama dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam terminologi keagamaan, konsep nasikh memiliki dualitas makna yang mencakup perubahan hukum atau dalil syariat serta peran Allah SWT sebagai pelaku utama dalam mengatur hukum syariat.

Pertama, nasikh digunakan untuk merujuk pada hukum atau dalil syariat yang memiliki peran penting dalam menghapuskan atau mengubah hukum atau dalil syariat sebelumnya, kemudian menggantikannya dengan ketentuan hukum yang baru. Ini menunjukkan adanya evolusi atau adaptasi dalam struktur hukum syariat yang disesuaikan dengan perubahan konteks zaman dan kebutuhan umat manusia.

Kedua, nasikh juga mengacu kepada Allah SWT sebagai pelaku yang secara aktif menghapuskan dan menggantikan hukum syariat sesuai dengan kehendak-Nya.

Menurut Quraish Shihab, terdapat ketidaksepakatan di antara para ulama dalam memberikan definisi yang tepat secara terminologi terhadap konsep nasikh. Beberapa ulama memperluas makna nasikh untuk mencakup berbagai aspek, termasuk pembatalan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya oleh hukum yang diterapkan kemudian, pengecualian dari hukum umum dengan hukum spesifik yang muncul pada masa yang berbeda, penjelasan lebih lanjut tentang hukum yang ambigu, dan penetapan syarat bagi hukum yang diterapkan kemudian untuk membatalkan atau menggantikan hukum sebelumnya.

Hal ini menunjukkan kompleksitas dan keragaman interpretasi terhadap konsep nasikh dalam kerangka pemahaman agama Islam.

Mansukh adalah ketentuan hukum syariah awal yang telah diganti dan diubah dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi atau kondisi yang menuntut revisi dan penggantian hukum tersebut.

Beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam konteks Nasikh dan Mansukh adalah sebagai berikut:

1. Hukum yang dinyatakan sebagai mansukh haruslah berasal dari hukum syariah, bukan dari hukum rasional atau hukum buatan manusia.

2. Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum baru haruslah dalil syara’ yang datang setelah teks yang menyatakan hukum yang dihapuskan.

3. Dalil atau ketentuan nasikh harus jelas dan berdiri sendiri, terpisah dari dalil atau ketentuan mansukhnya.

4. Dalil nasikh harus memiliki kekuatan lebih besar atau setidaknya sama dengan dalil mansukh.

5. Penghapusan hukum harus terjadi setelah ada tenggang waktu dari penerapan hukum yang pertama.

6. Antara kedua dalil nasikh dan mansukh harus ada pertentangan yang jelas.

Namun, masih ada beberapa syarat tambahan yang belum disepakati, seperti:

1. Nasikh dan mansukh harus berbeda jenisnya.

2. Harus ada hukum baru yang menjadi pengganti hukum yang dihapuskan.

3. Hukum pengganti harus memiliki kekuatan lebih besar daripada hukum yang dihapuskan.

4. Cara mengetahui Nasikh dan Mansukh.

Untuk mengetahui urutan antara dua dalil yang saling bertentangan, ada tiga cara yang bisa digunakan:

1. Salah satu dalil harus secara eksplisit menyatakan datangnya lebih belakangan dari yang lain.

2. Harus ada kesepakatan dari sekelompok ulama dalam suatu periode waktu tertentu yang menetapkan urutan kedatangan kedua dalil tersebut.

3. Harus ada riwayat yang sahih dari salah satu sahabat yang menegaskan urutan kedatangan kedua dalil yang bertentangan tersebut.

Berdasar kejelasan dan cakupannya, nasakh dalam Al-Qur’an dibagi menjadi:

1. Nasikh sharih yaitu ayat yang secara jelas menghapus hukum yang terdapat pada ayat terdahulu. Contohnya dalam surat Al-Anfal ayat 65 yang mengharuskan satu orang muslim melawan sepuluh kafir:

يٰٓاَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَى الْقِتَالِۗ اِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ عِشْرُوْنَ صٰبِرُوْنَ يَغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفًا مِّنَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بِاَنَّهُمْ قَوْمٌ لَّا يَفْقَهُوْنَ

Artinya : “Hai Nabi, kabarkanlah semangat orang mukmim untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, pasti mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan seribu kafir, sebab orang-orang kafir adalah kaum yang tidak mengerti.”

Ayat ini menurut jumhur ulama dihapus oleh ayat yang mengharuskan satu orang mukmim melawan dua orang kafir pada ayat 66 dalam surat yang sama:

اَلْـٰٔنَ خَفَّفَ اللّٰهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ اَنَّ فِيْكُمْ ضَعْفًاۗ فَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ مِّائَةٌ صَابِرَةٌ يَّغْلِبُوْا مِائَتَيْنِۚ وَاِنْ يَّكُنْ مِّنْكُمْ اَلْفٌ يَّغْلِبُوْٓا اَلْفَيْنِ بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ

Artinya: “Sekarang Allah telah meringankan kamu dan mengetahui pula bahwa kamu memiliki kelemahan . maka jika ada diantara kamu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantara kamu terdapat seribu orang sabar, mereka dapat mengalahkan dua ribu orang kafir.”

2. Nasikh dhimmy yaitu jika terdapat dua nasikh yang saling bertentangan dan tidak dapat dikompromikan. Keduanya turun untuk sebuah masalah yang sama dan diketahui turunnya, maka ayat atau hadis mutawatir yang datang kemudian menghapus hukum ayat yang terdahulu. Contohnya adalah ketetapan Allah yang mewajibkan berwasiat bagi orang-orang yang akan mati:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ اِذَا حَضَرَ اَحَدَكُمُ الْمَوْتُ اِنْ تَرَكَ خَيْرًا ۖ ۨالْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْاَقْرَبِيْنَ بِالْمَعْرُوْفِۚ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِيْنَ ۗ

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meniggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi ibi-bapak serta karib-kerabatnya secara makruf.”

Hukum ayat ini dihapus oleh hadis la washiyyah li wariis (tidak ada wasiat bagi ahli waris).

3.    Nasikh kully yaitu penghapusan hukum sebelumnya secara keseluruhan. Contohnya ketentuan ‘iddah empat bulan sepuluh hari pada surat Al-Baqarah ayat 234 menghapus ketentuan ‘iddah satu tahun pada ayat 240 dalam surat yang sama.

4.    Nasikh juz’iy yaitu penghapusan hukum umum yang berlaku bagi semua individu dengan hukum yang hanya berlaku bagi sebagian individu atau penghapusan hukum yang bersifat mutlak dengan hukum yang muqayyad.

Contohnya hukum dera 80 kali bagi orang yang menuduh seorang wanita tanpa adanya saksi pada surat An Nur ayat 4 dihapus oleh ketentuan li`an yaitu bersumpah empat kali dengan nama Allah bagi si penuduh pada ayat 6 dalam surat yang sama.

Wallahu A’lam
Oleh Tia Nurmala (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Editor & Publikator: Sylvia Kurnia Ritonga

Seorang pembelajar sekaligus pengajar, pendiri tatsqif.com, aktif di bidang kepenulisan dan pengembangan ilmu, serta antusias dengan hal-hal baru yang positif.

18 komentar pada “Nasakh dan Mansukh dalam Al-Qur’an: Konsep dan Contohnya

  • Nurdi Juliana dalimunthe

    apa saja contoh ayat dalam al-quran yang dianggap mansukh?

    Balas
  • Resti Fauzia Harahap

    Apa yang menjadi sebab adanya nasikh dan mansukh?

    Balas
  • Rizky atika pohan

    Apa hikmah dari adanya masih dan manshuk dalam alquran bagi umat islam?

    Balas
  • Rizky atika pohan

    Apa hikmah dari adanya nasikh dan mansukh dalam alquran bagi umat islam

    Balas
  • Nur Jannah br rambe

    Apa alasan dibalik adanya konsep nasikh dan Mansukh dalam kajian Ilmu Al-Qur’an?

    Balas
  • NUR HADAWIYAH SIREGAR

    Coba jelaskan yg melatarbelakangi adanya penjelasan nasikh dan manshuk secara singkat dan mudah dipahami?

    Balas
  • Nana Feriska

    mengapa islam mengajar kan bahwa firman allah ada yg dirubah,dihapus,diganti oleh allah (nasikh-mansukh) apakah allah tidak konsisten dlm menyampaikan firmannya?

    Balas
  • bagaimana naskah Alquran mempengaruhi budaya dan masyarakat di berbagai belahan dunia sejak Masa awal Islam hingga saat ini

    Balas
  • Nasimah daulae

    Bagaimana cara ulama Islam menentukan jika sebuah ayat adalah nasikh atau mansukh

    Balas
  • Fitri ayu rambe

    Bagaimna cara agar kita mengetahui apa itu nasikh dan mansukh?

    Balas
  • Nur aisyah siregar

    Siapa saja ulama yang menolak adanya konsep nasakh bagi alquran?

    Balas
  • Anjely rosida

    Bagaimana menurut para ulama tentang konsep naskh dan mansukh

    Balas
  • Yuningsih Pohan

    Bagaimana cara membedakan sebuah ayat yang di turunkan itu termasuk nasikh atau mansukh hingga dapat diterima kebenarannya?

    Balas
  • Vera Herlinda Siregar

    Bagaimana kita memastikan keabsahan nasakh terhadap teks aslinya? Apakah terdapat metode kritis yang dapat digunakan untuk memvalidasi proses nasakh tersebut?

    Balas
  • Nurhalimah

    apa kriteria yg digunakan untuk menentukan apakah sebuah ayat dapat dianggap sebagai nasakh dan manshuk ?

    Balas
  • Emmi Atikah

    Bagaimana penerapan nasik dan mansukh di era modern ini

    Balas
  • Nurul azizah

    Apakah ada tanda jika ayat itu nasikh dan mansukh

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk