Konsep Nasikh dan Mansukh dalam Studi Ilmu Al-Qur’an, Simak
TATSQIF ONLINE – Dainori dalam jurnalnya, Nasikh Mansukh dalam Studi Ilmu Al-Quran, mengemukakan bahwa prinsip dasar dalam bidang ibadah dan muamalah adalah untuk membersihkan jiwa dan menjaga keselamatan masyarakat, serta memperkuat ikatan kerjasama dan persaudaraan.
Namun, karena perbedaan dalam perjalanan dakwah dan tahapan pertumbuhan serta pembentukan, tuntutan dan kebutuhan antara umat tidak selalu sama. Begitu pula, hikmah dari hukum syariat pada satu periode bisa berbeda dengan periode lainnya.
Allah SWT adalah Pembuat syariat yang penuh rahmat dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, serta otoritas-Nya atas perintah dan larangan. Oleh karena itu, wajar jika Allah menggantikan satu hukum syariat dengan hukum syariat lainnya, demi menjaga kemaslahatan hamba-Nya berdasarkan pengetahuan-Nya yang abadi tentang masa lalu dan masa depan.
BACA JUGA: Imam Hafs: Perawi Qira’at Paling Masyhur, Begini Profilnya
Pembagian Jenis Nasakh
Dalam kitab Al-Itqan fi ‘Ulumil Qur’an, al-Suyuthi menyatakan bahwa ulama sepakat (ijma’) tentang keberadaan nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an. Namun, para ulama berselisih pendapat mengenai apakah Al-Qur’an hanya dapat di-nasakh oleh Al-Qur’an juga, atau apakah Al-Qur’an dapat di-nasakh dengan hadis.
Menurut Imam al-Syaukani dalam kitab Irsyad al-Fuhul, tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama mengenai kebolehan me-nasakh antara Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, hadis mutawatir dengan hadis mutawatir, hadis ahad dengan hadis ahad, atau menasakh hadis ahad dengan hadis mutawatir.
Dalam buku Mabahits Fi ‘Ulum al-Qur’an oleh Manna’ Khalil al-Qattan, terdapat empat jenis Nasakh yang dijelaskan:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an
Maksudnya adalah jika suatu hukum atau dalil awalnya ditetapkan oleh Al-Qur’an, maka bisa digantikan (nasakh) oleh dalil dari Al-Qur’an juga. Perspektif mengenai nasakh ini beragam di kalangan ulama, ada yang menerimanya dan ada yang tidak.
Ulama yang menerimanya berpendapat bahwa Allah, Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang, pada awalnya menetapkan hukum yang ringan. Namun, karena mungkin umat Muslim sudah mampu menghadapi hukum yang lebih berat, maka hukum ringan awal tersebut perlu digantikan.
Misalnya penghapusan hukum tentang masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya, yang berlaku satu tahun pada Alquran surah Al-Baqarah ayat 240:
وَالَّذِيۡنَ يُتَوَفَّوۡنَ مِنۡکُمۡ وَيَذَرُوۡنَ اَزۡوَاجًا ۖۚ وَّصِيَّةً لِّاَزۡوَاجِهِمۡ مَّتَاعًا اِلَى الۡحَـوۡلِ غَيۡرَ اِخۡرَاجٍ ۚ فَاِنۡ خَرَجۡنَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡکُمۡ فِىۡ مَا فَعَلۡنَ فِىۡٓ اَنۡفُسِهِنَّ مِنۡ مَّعۡرُوۡفٍؕ وَاللّٰهُ عَزِيۡزٌ حَکِيۡمٌ
Artinya: “Dan orang-orang yang akan mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu) nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah). Tetapi jika mereka keluar (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu (mengenai apa) yang mereka lakukan terhadap diri mereka sendiri dalam hal-hal yang baik. Allah Mahaperkasa, Mahabijaksana.”
Hukum ayat di atas kemudian digantikan dengan penerapan masa ‘iddah yaang berlaku hanya 4 bulan 10 hari. Hal ini tercantum dalam Alquran sutah Al-Baqarah ayat 234 berikut ini:
وَالَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّعَشْرًاۚ فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْٓ اَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ
Artinya: “Orang-orang yang mati di antara kamu dan meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu dirinya (beridah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian, apabila telah sampai (akhir) idah mereka, tidak ada dosa bagimu (wali) mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
2. Nasakh Al-Qur’an dengan As-Sunnah
Maksudnya adalah bahwa suatu hukum yang awalnya ditemukan dalam Al-Qur’an kemudian digantikan atau diubah dengan hukum dari As-Sunnah. Dalam hal ini, ketika ada hukum yang ditemukan dalam Al-Qur’an tetapi kemudian ada dalil atau petunjuk dari As-Sunnah yang menetapkan hukum yang berbeda atau lebih spesifik, maka hukum dari As-Sunnah itu yang dijadikan acuan atau diikuti.
Dengan demikian, hukum dari As-Sunnah menggantikan hukum yang awalnya terdapat dalam Al-Qur’an. Nasakh ini oleh Syaikh Manna’ dibagi menjadi dua bagian:
a. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis ahad, mayoritas ulama menyatakan bahwa hal ini tidak boleh dilakukan.
Hal ini disebabkan oleh karakteristik Al-Qur’an yang diriwayatkan secara mutawatir, yang menghasilkan keyakinan yang kuat (qath’iy al-tsubut), sementara hadis ahad masih dalam domain dugaan yang kuat (zhanniy al-tsubut), dan tidak sah menghapus sesuatu yang pasti (qath’i) dengan sesuatu yang masih dalam keraguan (zhanni).
b. Nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir, yang diperbolehkan oleh Ma’lik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Contoh nasakh dalam bentuk ini adalah Alquran surah Al-Baqarah ayat 180 yang berbunyi:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta, agar berwasiat untuk kedua orang tua dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (sebagai) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.“
Para ulama yang memperbolehkan nasakh Al-Qur’an dengan hadis mutawatir, menyatakan bahwa hukum yang dinyatakan dalam ayat ini, yaitu kewajiban memberi wasiat kepada kedua orang tua dan karib kerabat menjelang kematian, telah digantikan (di-nasakh) oleh hadis berikut:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris,” (HR Ahmad, an-Nasa’i, at-Tirmidzi, Ibn Majah, dan lain-lain).
Berdasarkan hadis tersebut, para ulama berpendapat bahwa orang tua dan kerabat yang termasuk dalam golongan ahli waris tidak boleh menerima wasiat. Hal ini karena hadis tersebut dianggap sebagai nasikh (yang menggantikan) atas hukum yang dinyatakan dalam ayat tersebut (mansukh).
3. Nasakh As-Sunnah dengan Al-Qur’an
Maksud nasakh ini ialah bahwa suatu hukum yang telah ditentukan berdasar dalil As-Sunnah lalu diganti (di-nasakh) dengan dalil Qur’an. Contohnya arah kiblat dalam shalat, yang semula ditetapkan berdasarkan hadis, namun digantikan dengan firman Allah SWT dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat 144:
قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَآءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
Artinya: “Sesungguhnya Kami sering melihatmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.”
4. Nasakh As-Sunnah dengan As-Sunnah
Maksudnya suatu hukum syariat yang awalnya berdasarkan pada dalil As-Sunnah kemudian dihapuskan (di-nasakh) oleh dalil yang lain dari As-Sunnah juga. Sebagai contoh, hukum ziarah yang awalnya dilarang (haram) kemudian dihapuskan, sehingga menjadi diperbolehkan (mubah).
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Artinya: “Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur),” (HR Muslim).
Nasakh jenis ini terbagi ke dalam empat bentuk; tiga bentuk pertama diperbolehkan, sedangkan yang keempat terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama, yaitu:
a. Nasakh mutawatir dengan mutawatir.
b. Nasakh ahad dengan ahad.
c. Nasakh ahad dengan mutawatir.
d. Nasakh mutawatir dengan ahad.
Hikmah Nasikh Mansukh
Berdasarkan penjelasan Imam As-Suyuthi di dalam kitab Al-Itqan fi ‘Ulumil Quran, bahwa hikmah dari nasikh wa al-mansukh mencakup beberapa aspek yang penting. Pertama, hal ini menegaskan kekuasaan dan keesaan Allah dalam menetapkan syariat Islam, yang mencerminkan konsep rububiyah atau keesaan-Nya.
Allah-lah yang memiliki otoritas penuh untuk mengubah dan menetapkan hukum-hukum sesuai dengan kebijaksanaan-Nya, sebagai bentuk rahmat dan peduli-Nya terhadap umat manusia.
Selanjutnya, nasikh wa al-mansukh juga berfungsi sebagai ujian bagi umat untuk membedakan antara yang taat pada syariat dan yang menentangnya. Melalui nasikh mansukh ini, iman dan keteguhan hati umat diuji, sehingga mereka dapat memperoleh derajat yang tinggi dengan mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
Pembatalan dan penggantian hukum dalam Al-Qur’an juga menunjukkan kebijaksanaan Allah dalam menghendaki kebaikan dan menghilangkan kesulitan bagi umat. Allah memberikan hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan kemaslahatan mereka, sehingga umat dapat menjalankan ibadah dengan lebih mudah dan nyaman.
Tak hanya itu, keberadaan nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an juga menggambarkan perhatian dan kasih sayang Allah terhadap hamba-Nya. Hal ini memperlihatkan bahwa syariat Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, yang diatur secara adil dan bijaksana oleh Allah untuk kepentingan umat manusia.
Selain itu, fenomena nasikh wa al-mansukh juga mengajarkan umat tentang perbedaan antara ayat sebagai bacaan dan hukum yang dikandungnya untuk dipelajari dan diamalkan. Ini menjadi pengingat akan pentingnya memahami makna ayat-ayat Al-Qur’an secara menyeluruh, serta melaksanakan hukum-hukum syariat dengan penuh keikhlasan dan keyakinan.
Terakhir, pembatalan dan penggantian hukum dalam Al-Qur’an juga menjadi pelajaran bagi umat tentang rahmat Allah yang memberikan keringanan dalam menjalankan kewajiban kepada hamba-Nya.
Setiap pembaca Al-Qur’an yang menemui ayat yang telah dibatalkan hukumnya akan mencari tahu hukum penggantinya, dan jika hukum baru lebih ringan, ini menjadi bukti atas kasih sayang Allah dalam memerintahkan kewajiban kepada hamba-Nya.
Wallahu A’lam
Oleh Wakiyah (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Bagaimana cara menentukan apakah sebuah ayat dalam Al-Quran adalah nasikh atau mansukh?
Apa alasan utama mengapa nasakh dan manshuk itu diadakan dalam alqur’an maupun hadist dan bagaimana cara mengimplementasikan kedua penjelasan tersebut?
Kenapa harus ada nasikh dan mansukh Dalam Al Qur’an?
Apa urgensi mempelajari ilmu nasikh dan mansukh didalam kehidupan sehari-hari?
Coba jelaskan beberapa hubungan diantara Nasikh dan mansukh
Apa hikmah dari adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Quran bagi umat islam?
Selain dari sudut pandang karakteristik, dari landasan apa yang mendorong argument bahwa nasakh al Qur’an dengan hadist ahad tidak boleh di lakukan?
apakah konsep nasikh dan mansukh dalam Alquran berpengaruh pada pengelolaan hukum di masa kini
Bagaimana cara mengetahui adanya nasikh dan mansukh dalam Alquran?
Apakah ada ayat al quran yang memprobolehkan para ulama untuk melalukan nasikh ?
bagaimana penerapan nasikh dan mansukh didalam kehidupan kita sehari-hari?
Mengapa islam mengajar kan bahwa firman allah ada yang dirubah, dihapus, diganti oleh allah?
Bagaimana para ulama tafsir dan ahli hadis menafsirkan dan mengidentifikasi ayat-ayat nasikh dan mansukh?
Ada berapakah macam macam naskh Sebutkan dan jelaskan?
Bagaimana metode penggantian dari mansukh menjadi nasikh, apakah ada metode yang sudah disepakati para ulama?
Apakah naskah Al Qur’an dengan Al Qur’an sudah di shahihkan oleh para ulama?
Apa relevansi dari memahami konsep nasakh dan manshukh dalam konteks pendidikan Islam dan pengembangan literasi Al-Qur’an di kalangan umat Muslim?
Apakah masih ada penasakhan ayat al Quran
Apakah ayat yang sudah di nasakh bisa di amalkan?
Bagaimana pendapat para ulama tentang nakish dan mansukh yang memahami perbedaan al qur’an
Siapa sajakah ulama yang menolak adanya nasikh wal mansukh antara ayat ayat al qur an?