Al-Qur'an & HadisFiqh & Ushul Fiqh

Konsep Nasikh dan Mansukh untuk Kemaslahatan Umat, Simak

TATSQIF ONLINEPerjalanan dakwah dan pembentukan umat mengalami perubahan dari tahap awal hingga masuk ke era pertumbuhan dan perkembangan. Hikmah tasyri’ dapat berbeda antara satu periode dengan periode lainnya.

Oleh karena itu, adalah wajar jika Allah subhanahu wa ta’ala menggantikan satu hukum dengan yang lain demi kepentingan umat manusia, sejalan dengan pengetahuan-Nya yang mencakup masa lalu dan masa depan.

Konsep nasakh (pembatalan) berkaitan erat dengan menjaga kemaslahatan umat dan fleksibilitas hukum Islam. Setelah suatu tahapan hukum selesai sesuai dengan kehendak Syari’ (Allah SWT), tahapan berikutnya datang, sehingga kemaslahatan umat tetap terjaga.

Mengutip penjelasan Taufiqul Hakim, dalam Kamus al-Taufiq, bahwa Nasikh merupakan isim fa’il dari fi’il madhi nasakha yang artinya menghapus. Mansukh merupakan isim maf’ul dari fi’il yang sama, nasakha, yang berarti yang dihapus. Bentuk masdar-nya adalah nasakh yang berarti pembatalan.

Menurut Abdul Wahab Khallaf, nasakh dalam Ilmu Ushul Fikih adalah membatalkan hukum syar’i dengan dalil. Ini bisa dilakukan secara terang-terangan atau diam-diam, menyeluruh atau sebagian demi tercapainya kemaslahatan.

Subhi Shalih menjelaskan bahwa nasakh adalah mencabut hukum syari’at dengan dalil syari’at, menghapuskan hukum yang pertama dengan dasar nash yang datang kemudian. Ini dilakukan dengan tenggang waktu antara hukum yang pertama dengan hukum yang berikutnya, dan jika tidak ada nasakh, hukum yang pertama akan tetap berlaku.

Ditinjau dari segi etimologi, kata nasakh memiliki beberapa makna seperti pembatalan, penghapusan, pemindahan, dan pengubahan. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, dan memindahkan disebut nasikh, sedangkan yang dibatalkan, dipindahkan, atau dihapus disebut mansukh. Namun, dalam konteks hukum Islam, nasakh mengacu pada penghapusan hukum syara’ yang lama dengan dalil syara’ yang datang kemudian.

Perbedaan dalam pengertian nasikh dan mansukh muncul dari sudut pandang masing-masing ulama, baik dari segi etimologi kata maupun terminologi hukum Islam. Beberapa ulama mempersempit pengertian nasikh untuk mencakup hanya pembatalan hukum yang terjadi kemudian, sementara yang lain memperluasnya untuk mencakup konsep-konsep lain seperti pengkhususan dan pengecualian.

Pandangan sebagian ulama tentang nasakh berkisar pada beberapa definisi yang berbeda. As-Syatibi merangkum beberapa pandangan ulama mengenai nasakh secara terminologi, termasuk pembatalan hukum yang ditetapkan sebelumnya oleh hukum yang ditetapkan kemudian, pengecualian hukum yang umum dengan hukum yang khusus, penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang samar, dan penetapan syarat terhadap hukum sebelumnya yang belum bersyarat.

Abu Zaid memahami nasikh mansukh sebagai penggantian teks dengan teks lain dengan mempertahankan kedua teks tersebut. Namun, menurut Subhi As-Shalih, definisi yang paling tepat dan cermat adalah mencabut hukum Syari’at dengan dalil Syari’at, sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata nasakh sebagai meniadakan dan mencabut.

Perbedaan pendapat ulama mengenai nasakh menunjukkan perdebatan penting tentang apakah nasakh terbatas hanya pada hal-hal yang terdapat dalam al-Qur’an atau apakah nasakh juga memperbolehkan sunnah untuk menggantikan al-Qur’an. Mayoritas ulama membolehkan nasakh hadis terhadap al-Qur’an, seperti dalam kasus puasa hari ‘Asyura yang digantikan oleh puasa Ramadhan yang diwajibkan dalam al-Qur’an.

Imam Syafi’i menolak keras nasakh al-Qur’an oleh sunnah, sementara sunnah yang me-nasakh sunnah diperbolehkan. Ini karena sunnah yang di-nasakh oleh al-Qur’an didasarkan pada wahyu dari Allah, sehingga menjaga keterkaitan dan kecocokan antara al-Qur’an dan sunnah.

Ruang lingkup nasakh dalam al-Qur’an masih menjadi topik yang penting dibahas, terlepas dari kontroversi mengenai penerimaan nasikh dan mansukh. Masalah yang paling relevan dalam pembahasan nasikh dan mansukh adalah bagaimana kedua konsep tersebut digunakan dalam upaya penafsiran dan istinbath hukum Islam.

Jika sudah ditempuh berbagai cara dalam menetapkan hukum sesuai dengan prinsip-prinsip Ushul Fiqh, namun masih terdapat kontradiksi antara dua ketentuan hukum, maka nasikh-mansukh menjadi mungkin untuk dipertimbangkan.

Faktor-faktor seperti asbab al-nuzul untuk ayat-ayat dan asbab al-wurud untuk hadis-hadis juga menjadi relevan dalam konteks ini. Dalam kondisi seperti ini, nasikh-mansukh dianggap sebagai tahap akhir dari usaha istinbath hukum.

Hawirah menjelaskan dalam Jurnal Al-Mubarak, bahwa para ulama sepakat untuk menetapkan ayat yang mengandung kontradiksi dengan syarat-syarat yang ketat. Beberapa syarat agar suatu ketentuan hukum dapat dikategorikan sebagai nasikh dan mansukh antara lain adalah:

1. Hukum yang dihapuskan harus merupakan hukum syariah yang sah.

2. Dalil yang menghapuskan harus datang setelah dalil yang dihapuskan.

3. Hukum yang dihapuskan tidak boleh terikat oleh waktu tertentu.

4. Nasikh tidak berlaku dalam masalah akhlak dan adab yang diperintahkan dalam Islam.

5. Nasikh juga tidak terjadi dalam masalah aqidah, seperti zat Allah, sifat Allah, kitab-kitab Allah, dan janji atau ancaman yang jelas.

6. Ayat-ayat yang mengandung janji atau ancaman tidak termasuk dalam ruang lingkup nasikh-mansukh.

7. Beberapa ulama menolak nasikh dengan hadis ahad, kecuali jika didukung oleh perawi yang adil dan tidak ada pertentangan yang pasti.

Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini, penelitian dan pertimbangan yang cermat tetap diperlukan dalam menetapkan nasikh dan mansukh dalam upaya penafsiran dan istinbath hukum Islam.

Nasikh-mansukh dibagi menjadi empat kategori:

1. Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: Ini terjadi ketika hukum atau dalil yang awalnya ditentukan oleh Al-Qur’an digantikan oleh dalil Al-Qur’an yang lain. Pandangan ulama terbagi tentang diterimanya nasikh ini.

Beberapa ulama yang menerimanya berpendapat bahwa Allah SWT telah menetapkan hukum yang sesuai dengan keadaan umat pada saat itu, namun kemudian menggantinya dengan hukum yang lebih sesuai dengan kondisi umat yang berubah.

Misalnya, perubahan dalam masa ‘iddah antara Alquran surah Al-Baqarah ayat 240 dan Alquran surah Al-Baqarah ayat 234.

2. Al-Qur’an dengan As-Sunnah: Ini terjadi ketika hukum atau dalil yang ada dalam Al-Qur’an digantikan oleh dalil yang terdapat dalam hadis Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam. Ada dua jenis nasikh dalam hal ini: nasikh antara Al-Qur’an dan hadis ahad, dan nasikh antara Al-Qur’an dan hadis mutawatir.

Mayoritas ulama menolak nasakh Al-Qur’an oleh hadis ahad, karena Al-Qur’an bersifat mutawatir sekaligus penuh dengan keyakinan di dalamnya, sedangkan Sunnah Ahad bersifat prasangka atau dugaan. Sehingga sangat tidak dibenarkan mengapuskan atau menggantikan hal yang jelas diketahui sifatnya (ma’lum) dengan hal-hal mazhnun (diduga).

3. As-Sunnah dengan Al-Qur’an: Ini terjadi ketika hukum atau dalil yang ada dalam hadis Nabi SAW digantikan oleh dalil Al-Qur’an. Ada contoh-contoh nasakh dalam hal ini, seperti perubahan arah kiblat dan perubahan status puasa ‘Asyura setelah turunnya ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an.

4. As-Sunnah dengan As-Sunnah: Ini terjadi ketika hukum atau dalil yang ada dalam satu hadis digantikan oleh hukum atau dalil dalam hadis yang lain. Contohnya adalah perubahan status ziarah kubur dari dilarang menjadi diperbolehkan.

Nasakh merupakan pembatalan hukum syariah yang lama dengan dalil syariah yang datang kemudian. Konsep ini berpengaruh dalam penafsiran dan pengambilan (istinbath) hukum Islam.

Perubahan dalam hukum Islam dari satu periode ke periode lain mencerminkan adaptasi ajaran Islam dengan perubahan zaman dan kebutuhan umat. Nasakh memiliki ruang lingkup yang berkaitan erat dengan menjaga kemaslahatan umat dan fleksibilitas hukum Islam.

Pembagian nasikh-mansukh dalam empat kategori, seperti Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, Al-Qur’an dengan As-Sunnah, dan As-Sunnah dengan Al-Qur’an, dan As-Sunnah dengan As-Sunnah, yang memperjelas bagaimana konsep ini diaplikasikan dalam ajaran Islam.

Dengan pemahaman yang tepat, nasikh-mansukh dapat menjadi landasan dalam menjalankan ajaran Islam dengan benar dan sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Wallahu A’lam
Oleh Aprilia Fajri (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

10 komentar pada “Konsep Nasikh dan Mansukh untuk Kemaslahatan Umat, Simak

  • Addini Sabila Haqiqi

    Kenapa harus ada nasikh dan mansukh dalam Al qur’an ?

    Balas
  • siti jubaidah siregar

    mengapa konsep Nasikh dan mansukh penting untuk menjaga kemaslahatan umat?

    Balas
  • apa manfaat mempelajari nasikh dan mansukh?

    Balas
  • Wita Afrina

    apa hikmah dan tujuan utama dari adanya nasikh dan mansukh dalam hukum islam

    Balas
  • Husnil khotimah Siregar

    Apakah hikmah yang terkandung dari adanya nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an

    Balas
  • Syahniar Maharaja

    Bagaimana cara nasikh dan mansukh bisa membantu umat islam dalam memahami dan menjalankan ajaran islam dengan lebih baik

    Balas
  • Khodijah Harahap

    Bagaimana peran konsep nasikh dan mansukh dalam menjaga fleksibilitas dan relevansi hukum Islam dengan perkembangan zaman?

    Balas
  • Tria sri rahayu

    Jadi dapat di simpul kan tentang pengertian masnsukh dan Nasikh yang mana Artinya bahwa suatu mansukh bukan berasal dari hukum akal pikiran ataupun hukum yang diciptakan manusia.sedangkan .Nasikh (dalil yang menghapuskan atau membatalkan) musti memiliki selang waktu dari mansukh (dalil hukum yang lama).

    Balas
  • Dina Fitriani Bahri Purba

    apa dasar pokok yg harus diketahui mengenai nasikh dan mansukh

    Balas
  • Tisva Harahap

    Apakah hikmah dari adanya nasikh mansukh dalam Alquran?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk