MancanegaraReview BukuTokoh & Sejarah

Tafsir Ibnu ‘Arafah, Karya Mufassir Terkemuka dari Tunisia

TATSQIF ONLINE Tafsir al-Quran adalah produk dari pikiran manusia yang menciptakan beragam interpretasi, membawa lahir metode, dan gaya tafsir yang beraneka ragam. Menariknya, kajian ilmu tafsir tidak hanya mendapat perhatian dari kalangan Muslim, tetapi juga menarik minat dan perhatian dari kalangan akademisi non-Muslim.

Dalam ranah intelektualisme Islam, kemajuan ilmu tafsir berkembang pesat karena dipengaruhi oleh berbagai peristiwa besar yang terjadi. Fenomena ini menciptakan gagasan-gagasan baru yang segar terkait dengan penelitian dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran.

Meskipun demikian, faktor tersebut menjadi ciri khas yang membedakan perkembangan ilmu tafsir di dunia. Hal serupa terjadi pada salah satu mufassir asal Tunisia, yang terkenal dengan sebutan Ibnu ‘Arafah, Mufti Tunisia, dan Imam Jami’ az-Zaitunah selama sekitar 50 tahun.

Beliau turut menyumbangkan pemikirannya dalam menggali dan memahami makna ayat-ayat al-Qur’an al-Karim. Nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad bin Muhammad bin ‘Arafah al-Warghammi al-Maliki at-Tunisy.

Al-Warghammi merupakan nisbat yang mengacu pada kabilah dari suku Barbar. Kabilah ini berasal dari Maroko dan kemudian berhijrah ke Tunis, menetap di wilayah tenggara Tunis, tepatnya di kota Madnien dan Tathaawin.

Al-Busaily, yang merupakan murid dari Imam Ibnu ‘Arafah, dalam kitabnya At-Taqyid Al-Kabir, menjelaskan bahwa Imam Ibnu ‘Arafah lahir pada malam kedua puluh tujuh bulan Rajab 716 H atau 16 Oktober 1316 di ibu kota Tunis. Kelahirannya terjadi dalam lingkungan keluarga yang terkenal dengan kesalehan dan kecintaan terhadap ilmu.

Ayah Imam Ibnu ‘Arafah adalah seorang yang baik hati, saleh, dan ahli ibadah. Beliau bahkan melakukan kunjungan dan menetap di kota Madinah hingga akhir hayatnya. Tersebut dalam kisah bahwa ayah Ibnu ‘Arafah selalu berdoa di setiap akhir malam, setelah menunaikan sholat tahajud, untuk keberkahan putranya Muhammad.

Imam Ibnu ‘Arafah mengalami masa pertumbuhan pada periode stabilitas politik di bawah kepemimpinan Dinasti Hafshiyah. Dinasti ini fokus pada pengembangan budaya dan pendidikan dengan mendorong para sarjana untuk aktif dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.

Upaya ini melibatkan pembangunan sekolah, pengenalan jajaran pengajar, serta memberikan upah kepada para imam dan guru sebagai bagian dari upaya meningkatkan pengetahuan dan pendidikan di wilayah tersebut.

BACA JUGA: Menghafal Al-Quran dengan Metode Papan di Pedesaan Tunisia

Imam Ibnu ‘Arafah mendapat pendidikan di lingkungan yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan. Sejak usia muda, beliau telah menghafal Al-Qur’an di bawah bimbingan Syaikh Abu Abdullah Muhammad bin Badal Al-Ansari, seorang qori’ asal Tunis.

Beliau juga mempelajari qiraat asyr, fiqih, ushul fiqih, Sahih muslim, Sahih Bukhari, Muwattha’, dan tafsir dari Syaikh Ibn Abd al-Salam al-Hawari (w.749H), seorang ahli fiqih Maliki dan Qadhi di Tunisia, yang bahkan pernah menjabat sebagai petinggi Qadhi pada tahun 734 M.

Ia juga menggali ilmu nahwu, logika, dan jidal dari Syaikh Muhammad bin Yahya bin Umar bin Al-Habab (w. 741 H) serta Syaikh Muhammad bin Harun al-Kinani at-Tunisy (w. 750 H). Dalam bidang fikih, beliau memperoleh ilmu dari Muhammad bin Jabir al-Wadashi (w. 749 H).

Sementara untuk ilmu aqliyah, ia belajar dari Muhammad bin Ibrahim bin Ahmad al-Talmisany al-Abli (w. 757 H). Dalam cabang qiraat Sab’ah, beliau mempelajarinya dari ad-Dani dan Ibn Syuraih, di bawah bimbingan Syaikh Muhammad bin Salama Al-Ansari (w. 746 H) dan lain sebagainya.

Dikarenakan ia menggali berbagai cabang ilmu dan belajar langsung dari para ahli yang dijumpainya, tidak mengherankan bahwa Imam Ibnu ‘Arafah memiliki keahlian yang luas dalam berbagai bidang. Oleh karena itu, pada zamannya, ia menjadi sumber rujukan fatwa di Maroko, serta aktif mengajarkan ilmu dan menyampaikan hadis di kalangan bangsawan.

Imam Ibnu ‘Arafah memiliki banyak murid yang datang dari berbagai daerah masyriq dan maghrib. Beberapa di antaranya termasuk Syaikh Badr ad-Din ad-Damaminy al-Qursyi al-Iskandary (w.827 H), Abu Abdillah Muhammad bin Abi al-Qasim bin Muhammad bin Abd as-Samad al-Masydzali al-Baji (w. 866H), Muhammad bin Ahmad al-Wanughy at-Tuziry (w.819 H), Qasim bin Isa bin Naji at-Tunukhy (w.838 H), dan lain sebagainya.

Imam Ibnu ‘Arafah juga memiliki banyak karya tulis. Karyanya yang paling penting adalah al-Mukhtashar fi al-Mantiq, al-Mukhtashar asy-Syamil fi Ushuliddin, Mukhtashar Faraidhi al-Hufi, al-Hudud al-Fiqhiyyati, dan al-Mukhtashar fi an-Nahwi wa Mandzumah fi Qiroati Ya’kub dengan riwayat ad-Dhani dan Ibnu Syarih. Semua karya-karya ini mencerminkan dedikasinya pada penulisan dan kontribusinya terhadap keilmuan Islam.

Sebagai seorang pengajar tafsir, Imam Ibnu ‘Arafah memiliki banyak murid yang tidak hanya mendengarkan ceramah beliau, tetapi juga menyimpan arsip serta catatan. Salah satu murid beliau, Al-Busaily, dan murid lainnya seperti Ahmad bin Muhammad Abu al-‘Abbas al-Tunisy, menyimpan dokumen-dokumen yang mereka peroleh dari pengajaran Imam Ibnu ‘Arafah. Meskipun Al-Busaily memiliki dua dokumen yang diperoleh dari Imam Ibnu ‘Arafah, tetapi tidak semua isi manuskrip tersebut berasal dari ceramah langsung Imam Ibnu ‘Arafah.

Selain itu, terdapat riwayat dari seorang murid bernama al-Ubay, yaitu Muhammad bin Khalfah al-Wusytati. Riwayat ini merupakan yang paling lengkap dari tafsir Ibnu Arafah. Al-Ubay mengumpulkan isi kajian dari gurunya dengan teliti, menghasilkan beberapa naskah yang sangat lengkap. Salah satu juz dari riwayat tersebut bahkan telah dicetak dalam dua jilid, mencakup hingga akhir surah Al-Baqarah.

BACA JUGA: Jejak Mujaddid dan Ulama dalam Dakwah Islam di Tarim

Kitab Tafsir Ibnu ‘Arafah merupakan kumpulan ceramah-ceramah Imam Ibnu ‘Arafah pada kajian tafsir di masjid Zaitunah. Ceramah-ceramah ini kemudian dihimpun dan ditulis oleh para murid beliau. Kitab ini menjadi bukti kontribusi beliau dalam penjelasan makna ayat-ayat Al-Qur’an, memperkaya literatur keislaman, dan menjadi sumber rujukan bagi generasi berikutnya dalam memahami teks suci Islam.

Dalam pengantar kitab Tafsir Ibnu ‘Arafah, terdapat penjelasan bahwa Imam Ibnu ‘Arafah menerapkan model penafsiran umum dengan langkah-langkah tertentu. Pertama, beliau membacakan beberapa ayat Al-Quran dan kemudian menjelaskan maknanya.

Langkah berikutnya adalah menyampaikan pendapat para ulama yang ahli dalam bidang qiraat, balaghah, dan nahwu. Setelah itu, beliau merinci penakwilan dan perbedaan pandangan dari para Mufassirin. Tak hanya itu, beliau juga memasukkan pendapat dari ulama di bidang lain, seperti ulama ushul fiqh, fuqaha, dan ahli hadis, serta menambahkan pandangan pribadinya.

Imam Ibnu ‘Arafah menghadirkan kedalaman pemahaman dengan mengeksplorasi aspek bahasa, seperti analisis balaghah ayat, pertimbangan terhadap syair-syair, dan penempatan kontekstual ayat-ayat dalam kehidupan sosial. Ini menjadi ciri khas yang jarang ada pada pengajar agama kebanyakan yang hanya membaca ayat, memberikan terjemahan, atau memahami ayat secara tekstual.

Setelah menguraikan berbagai pendekatan dalam tafsir ayat-ayat tersebut, Imam Ibnu ‘Arafah mengajak murid-muridnya untuk terlibat dalam diskusi aktif. Beliau mendorong mereka untuk menyampaikan pandangan dan pemahaman pribadi mereka terhadap ayat-ayat tersebut.

Pendekatan ini menciptakan beragam perspektif di antara murid-muridnya, memberikan dampak signifikan pada pola pikir mereka. Metode pendidikan ini menjadi ciri khas Ibnu ‘Arafah dalam menjelajahi ilmu pengetahuan, khususnya terkait makna ayat-ayat Al-Quran Al-Karim.

Dua jilid pertama dari Tafsir Ibnu ‘Arafah pada dasarnya merupakan hasil tulisan langsung dari beliau sendiri, sedangkan tiga jilid terakhir merupakan catatan para muridnya dari berbagai majelis ilmu dan ceramah beliau.

Imam Ibnu ‘Arafah dengan penuh semangat mengajar selama lebih dari setengah abad tanpa kenal lelah, letih, atau bosan. Dedikasinya ini membuat generasi penerusnya belajar dan mengambil inspirasi dari pengalaman serta ilmu yang beliau sampaikan. Akhirnya, pada usia 87 tahun, Imam Ibnu ‘Arafah wafat pada tanggal 24 Rajab 803 H / 1401 M, dan jasadnya dikebumikan di pemakaman Jallaz. Wallahu A’lam

Oleh Abbas Hamonangon Harahap (Mahasiswa Universitas Zaitunah, Tunisia)

Editor & Publikator: Sylvia Kurnia Ritonga

Seorang pembelajar sekaligus pengajar, pendiri tatsqif.com, aktif di bidang kepenulisan dan pengembangan ilmu, serta antusias dengan hal-hal baru yang positif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk