Ijtihad dalam Hukum Islam dan Peran Ulama Kontemporer
TATSQIF ONLINE – Ijtihad merupakan upaya ulama untuk menjawab masalah yang timbul di kalangan umat Islam yang belum memiliki status hukum yang jelas. Hal ini menunjukkan peran penting ijtihad dalam perkembangan hukum Islam.
Menurut Imam al-Ghazali, ijtihad adalah usaha sungguh-sungguh seorang mujtahid untuk memahami hukum-hukum syariat. Kata ijtihad berasal dari kata kerja ijtihada (اجتهد) yang artinya bersungguh-sungguh. Istilah ini hanya berlaku untuk usaha yang membutuhkan upaya keras, seperti ketika seseorang berkata, “Aku berusaha keras mengangkat batu besar itu.”
Sebagian ulama berpendapat bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang waktu, karena Islam merupakan agama yang fleksibel (murunah) dan dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa ijtihad mengalami pembatasan, terutama dalam konteks hukum syariah yang sudah mapan.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa ijtihad hanya berlaku untuk hukum syariah yang tidak memiliki dalil qath’i, kecuali dalam lingkup akal dan ilmu kalam. Terkait perkara dengan dalil yang bersifat qath’i, seperti kewajiban menjalankan sholat lima waktu atau membayar zakat, tidak ada ruang bagi ijtihad, karena kewajiban tersebut sudah mencapai kesepakatan ulama (ijma’).
Dalam buku Metode Istinbat Hukum Islam Kontemporer, Ali Hasballah mengungkapkan bahwa Ijtihad hanya berlaku pada permasalahan yang tidak terurai secara detail dalam al-Qur’an, hadis, maupun ijma’ ulama. Terutama dalam masalah muamalah, yang penjabarannya secara umum dalam Al-Qur’an, ijtihad merupakan metode yang relevan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
BACA JUGA: Perkawinan Sesama Jenis dalam Pandangan Islam, Simak Penjelasannya
Fungsi Ijtihad
Menurut buku Fikih Kontemporer karya Gibtiah, ijtihad memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
Al-Ruju atau al-I’adah (kembali): Mengembalikan ajaran Islam ke sumber-sumbernya, yaitu al-Qur’an dan sunnah, dengan menyisihkan penjelasan yang mungkin tidak relevan.
Sebagai contoh, penggunaan cryptocurrency atau blockchain yang tidak ada penjelasannya secara langsung dalam al-Qur’an, hadis, ataupun ijma’ ulama. Dengan memahami prinsip-prinsip syariah, seorang mujtahid dapat melakukan kajian yang mendalam (ijtihad) untuk menentukan hukum terkait penggunaan dan perdagangan mata uang kripto.
Melalui pertimbangan terhadap prinsip-prinsip syariah, ijtihad tersebut dapat mengarahkan kembali ajaran Islam ke sumber-sumber aslinya sembari memperhatikan kelayakan serta dampak dari teknologi keuangan modern tersebut.
Al-Ihya (penghidupan): Menghidupkan kembali nilai-nilai dan semangat ajaran Islam untuk menjawab tantangan zaman, sehingga Islam tetap menjadi petunjuk bagi umatnya.
Contohnya penggunaan media sosial atau teknologi modern oleh ulama untuk menyebarkan nilai-nilai Islam, menjadikannya relevan, dan inspiratif bagi umat Muslim dalam menghadapi tantangan zaman.
Al-Inabah (pembenahan): Menata kembali ajaran Islam yang telah diijtihadkan oleh ulama terdahulu, memperbaiki potensi kesalahan yang mungkin muncul seiring dengan perubahan zaman, kondisi, dan lokasi yang dihadapi umat Muslim.
Sebagai contoh, ulama kontemporer dapat meninjau kembali ijtihad ulama terdahulu terkait ekonomi Islam, mengevaluasi relevansinya dengan zaman sekarang, mengidentifikasi kesalahan yang mungkin ada, lalu melakukan pembaruan aturan agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tuntutan zaman.
Wallahu A’lam
Oleh Yulia Ningsih (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer