Fiqh & Ushul Fiqh

Begini Penyelesaian Musytarakah dalam Fiqih Waris, Simak

TATSQIF ONLINE Al-Quran menjelaskan hukum-hukum waris secara detail, menetapkan aturan yang teratur dan adil. Al-Quran dan hadis Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam menjadi acuan utama dalam pembagian warisan. Namun, dalam praktik ilmu faraid atau ilmu mawaris, terdapat kondisi-kondisi kontradiktif yang menyimpang dari ketentuan asal. Hal ini dilatarbelakangi oleh riwayat atau sejarah tertentu.

Salah satunya adalah musytarakah, yang merujuk pada solusi pembagian warisan bagi saudara seibu dengan pewaris. Secara bahasa, musytarakah berarti berserikat, menunjukkan keterlibatan dua orang atau lebih dalam suatu urusan. Musytarakah berasal dari akar kata اشترك – يشترك – مشترِك, dan bentuk maf’ul-nya مشترَك, yang berarti “disekutukan,” di mana bagian saudara laki-laki diikutkan ke 1/3 bagian milik saudara seibu. Masalah ini memiliki sebutan lain, yaitu hajariyah dan himariyah.

Permasalahan musytarakah pertama kali diajukan kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. Kasus ini dibawa dua kali kepadanya. Pada pertemuan pertama, Umar mengambil keputusan sesuai dengan ketentuan faraidh, yang kemudian diterima meskipun mungkin dengan rasa tidak puas.

Namun, ketika masalah ini muncul lagi, terungkap bahwa di antara saudara kandung terdapat seseorang yang mahir dalam berdebat. Orang tersebut berargumen kepada Umar, “Wahai Amirul mu’minin, andaikata bapak kami adalah himar (keledai), bukankah kami ini berasal dari ibu yang sama?”

Argumen ini diterima oleh Umar, yang kemudian menetapkan bahwa saudara laki-laki kandung tersebut bergabung dengan saudara seibu untuk mendapatkan bagian dari saudara seibu yang sebesar 1/3. Karena bergabungnya saudara kandung dan saudara seibu dalam pembagian warisan ini, maka kasus ini dikenal dengan istilah musyarrakah atau musytarakah.

Noel J. Coulson dalam bukunya A History of Islamic Law, menyebutnya sebagai the donkey case (himariyah), dan ada pula yang menyebutnya sebagai masalah hajariyah karena menggambarkan ayah saudara kandung sebagai batu. Langkah Umar dalam memberikan bagian dengan cara menggabungkan saudara-saudara sekandung dengan saudara-saudara seibu ini kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahawaih.

Kelompok kedua menyatakan bahwa saudara sekandung adalah ‘ashabah, sehingga mereka tidak menerima bagian apapun jika bagian dari ahli waris dengan bagian pasti telah menghabiskan seluruh harta warisan. Penguusung fatwa ini adalah Ali bin Abi Thalib, ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Imam Abu Hanifah beserta para pengikutnya, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Mereka berpendapat bahwa saudara sekandung tidak mendapatkan bagian dalam kasus musytarakah karena bagian pasti dari ahli waris golongan ashabul furudh dapat menghabiskan seluruh harta warisan. Oleh karena itu, dalam pembagian warisan ini, suami mendapatkan setengah, ibu mendapatkan seperenam, dan saudara-saudara laki-laki seibu mendapatkan sepertiga.

Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh pandangan yang berbeda terhadap kedudukan saudara laki-laki kandung dalam konteks warisan. Satu sisi, terdapat pandangan yang melihat saudara laki-laki kandung sebagai ashabah (penerima sisa warisan), sementara di sisi lain, terdapat pandangan yang mempertimbangkan hubungan saudara laki-laki kandung dengan pewaris melalui dua jalur kekerabatan, yaitu seibu dan sebapak.

Dalam kasus ini, saudara sekandung dihadapkan dengan saudara seibu yang hanya memiliki hubungan kekerabatan melalui satu jalur (seibu). Logikanya, hubungan kekerabatan saudara sekandung dianggap lebih kuat daripada hubungan antara saudara seibu yang hanya terkait dengan satu pihak.

Hal ini sejalan dengan pandangan Prof. Dr. Amir Syarifuddin, yang menyatakan bahwa akar permasalahan ini adalah benturan antara prinsip menjalankan faraidh sesuai dengan tuntutan al-Qur’an, dan prinsip bahwa saudara kandung seharusnya lebih utama daripada saudara seibu dalam kewarisan maupun dalam pembagian hak. Pandangan terakhir ini masih dipengaruhi oleh adat jahiliah yang tidak mengakui saudara seibu dengan pertalian kekerabatannya, yang hanya berasal dari satu perempuan sebagai saudara yang berhak mendapatkan bagian warisan.

Penjelasan tersebut sejalan dengan pendapat Muhammad Baltaji dalam kitabnya Manhaj Umar ibn al-Khattab fi Tasyri’, di mana kedua putusan tersebut memiliki logika dan cara pandang penyelesaiannya masing-masing. Bagi yang menginterpretasikan ayat secara tekstual, mereka berpendapat bahwa saudara perempuan seibu berhak mendapatkan bagian 1/3 sesuai dengan nash al-Qur’an, dan bagian mereka tidak boleh berkurang sedikitpun.

Namun, jika dipertimbangkan lebih lanjut, saudara sekandung sebenarnya juga saudara seibu, bahkan hubungannya dengan pewaris lebih kuat karena memiliki ayah yang sama. Seharusnya, orang yang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih kuat dengan pewaris akan lebih berhak atas harta warisnya.

Dengan melihat argumen-argumen ulama dari kedua golongan tersebut, pendapat Ibnu Rusyd mengutip bahwa perselisihan dalam banyak masalah faraidh disebabkan oleh pertentangan antara qiyas-qiyas dan adanya banyak interpretasi (isytirakul alfadz) pada masalah-masalah yang memiliki nash (teks al-Qur’an) yang dapat ditafsirkan secara beragam.

Mengutip dalam Matnur Rahabiyyah karya Muhammad bin Ali Ar-Rahabi, masalah musytarakah terjadi ketika seseorang perempuan meninggal dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari: suami, ibu atau nenek, dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan), dan saudara laki-laki kandung (sendirian, atau bersama saudara laki-laki kandung lainnya, atau bersama saudara perempuan kandung).

Dalam kaidah ilmu faraidh, warisan pertama kali dibagikan kepada ahli waris golongan ashabul furudh (yang memiliki bagian yang pasti), kemudian sisanya dibagikan kepada ahli waris golongan ‘ashabah (penerima sisa).

Oleh karena itu, ahli waris (suami, ibu/nenek, dan saudara seibu) merupakan ahli waris golongan ashabul furudh dengan bagian masing-masing sudah jelas, yaitu 1/2, 1/6, dan 1/3. Jika warisan dibagikan kepada ketiga jenis ahli waris ini, maka tidak akan ada sisa.

Namun, ahli waris (saudara kandung) dalam hal ini merupakan ‘ashabah (penerima sisa), namun tidak mendapatkan bagian apa pun karena sisa warisan sudah dihabiskan oleh ahli waris (suami, ibu/nenek, dan saudara seibu).

Dari sini muncul suatu “keanehan” karena saudara kandung, yang sebenarnya memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dan kuat daripada saudara seibu saja, ternyata tidak mendapatkan bagian warisan sama sekali. Masalah ini disebut musytarakah yang berarti digabungkan atau disekutukan karena pembagian warisan menggabungkan ahli waris dengan proporsi yang sama tanpa memperhatikan tingkat kedekatan hubungan kekerabatan.

Untuk menyelesaikan masalah ini, para ulama faraidh memutuskan untuk menjadikan saudara laki-laki kandung sebagai bagian dari kelompok saudara seibu, sehingga keduanya bersama-sama mendapatkan bagian pasti sebesar 1/3. Bagian 1/3 yang pada awalnya hanya menjadi hak saudara seibu kini juga dibagi kepada saudara laki-laki kandung. Dengan demikian, sisa harta warisan dibagi secara rata di antara kelompok ahli waris yang terdiri dari saudara seibu dan saudara laki-laki kandung.

Wallahu A’lam
Oleh:  Delvy Aprilyanti Siregar (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

20 komentar pada “Begini Penyelesaian Musytarakah dalam Fiqih Waris, Simak

  • Rifdah suriani simbolon

    Apa yang dimaksud dengan hajariyah dalam konteks musytarakah?

    Balas
    • hajariyah adalah nama lain dari musytarakah. baca dan pahami lagi sub judul asal-usul musytarakah dan ragam pendapat ulama dalam artikel di atas.

      Balas
  • Artikel nya bagus.semoga bermanfaat bagi pembaca 🤲🏻

    Balas
  • Wahyuni Siregar

    Seorang ayah dan kedua anaknya mengadakan akad musyarakah untuk saling mewarisi harta benda. Sang ayah meninggal, meninggalkan properti senilai 200 juta. Anak-anaknya tidak setuju tentang cara mendistribusikan properti. Bagaimana seharusnya properti itu didistribusikan?

    Balas
    • dalam hal waris-mewarisi tidak boleh berdasarkan kesepakatan. baca dan fahami lagi materi tentang prinsip-prinsip kewarisan dalam Islam pada artikel-artikel terdahulu.

      Balas
  • Nurlan Saima nst

    MasyaAllah pembahasan dalam materi ini bagus sekali tetap semangat temen🫶🫶🫶🫶🫶

    Balas
    • alhamdulillah, terima kasih. share artikelnya ya. mudah-mudahan menjadi amal kebaikan buat semua.

      Balas
  • Ade Deli Suryani Ritonga

    Bagaimana cara menghitung bagian setiap ahli waris dalam musytarakah dengan jumlah ahli waris lebih dari 3?

    Balas
    • pertama identifikasi dulu siapa saja ahli warisnya, dahulukan bagian ashabul furudh, mana yang jadi ashabah, mana yang mahjub (terhalangi mendapat waris karena berbagai sebab). Musytarakah ini hanya berlaku jika ahli warisnya hanya terdiri dari suami, ibu atau nenek, dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan), dan saudara laki-laki kandung (sendirian, atau bersama saudara laki-laki kandung lainnya, atau bersama saudara perempuan kandung).

      Balas
  • Mawardi Hasibuan (2120100258)

    Bagaimana jika harta warisan hanya meninggalkan ibu dan istri kepada siapa harta warisan di berikan???

    Balas
    • kepada ibu dan istri, masing-masing sudah punya bagian pasti. ibu mendapat 1/3 bagian dari keseluruhan harta, sementara istri mendapat 1/4-nya. asal masalahnya 12. jadi, ibu mendapat 4 bagian, istri 3 bagian. karena tidak ada ‘asahabah, maka sisa 5 bagian lagi dikembalikan ke pada ibu melalui jalaur radd.

      Balas
  • Husni Alawiyah Lubis

    Bagaimana hukum waris Islam menangani kasus musytarakah, di mana saudara kandung tidak mendapatkan bagian dalam warisan, walaupun memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan pewaris?

    Balas
    • solusinya, saudara kandung bersama 2 saudara seibu akan bersama-sama mendapatkan bagian 1/3 yang dibagi secara rata. penjelasannya sudah ada dalam artikel, mohon dibaca dan difahami lagi ya.

      Balas
  • Hanif Raina Nur siregar

    Artikel nya sangat bagus

    Balas
  • desi widia harahap

    coba jelaskan apa sebenarnya pengertian musytarakah secara rinci?

    Balas
    • Masalah musytarakah merupakan sebuah kasus pengecualian dalam Ilmu Faraidh di mana saudara kandung (se-ibu se-bapak) laki-laki dan perempuan berbagi satu pertiga warisan bersama beberapa saudara se-ibu lainnya. Saudara kandung dalam kasus ini memiliki quota ashabah, tetapi karena warisan ashabah sudah habis karena diberikan kepada ahli waris berquota furudh, mereka kemudian berbagi satu pertiga dengan saudara se-ibu lainnya.

      Alasan yang digunakan untuk melegitimasi kasus pengecualian musytarakah ini adalah karena pertimbangan bahwa saudara kandung sebenarnya lebih dekat hubungannya dengan almarhum, karena mereka terhubung melalui dua jalur yaitu ayah dan ibu, sementara saudara se-ibu hanya terhubung melalui jalur ibu saja. Selain itu, saudara kandung juga merupakan saudara se-ibu. Oleh karena itu, tidak masuk akal jika saudara se-ibu mendapatkan satu pertiga warisan sedangkan saudara kandung sama sekali tidak mendapatkan bagian.

      Balas
  • Ariz Zaky Hibrizi Nst

    Bagaimana jika istri yang di tinggalkannya itu 3 atau 4 sedangkan akar masalah nya 12, apakah akar masalah tetap di kalikan 3 atau 4?

    Balas
    • tentu tidak, asal masalah tidak akan lari dari yang 7 ini (2, 3, 4, 6, 8, 12, dan 24).

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk