Fiqh & Ushul FiqhGaya Hidup

5 Cara Atasi Kebiasaan Istimna’: Pandai-pandailah Memilih Teman

TATSQIF ONLINE – Kebutuhan biologis manusia dalam Islam hanya bisa terpenuhi melalui satu cara, yaitu menikah. Namun, kesulitan menemukan pasangan yang sefrekuensi, mengatur acara akad nikah dan resepsi, serta menjadi orang tua yang baik, membuat sebagian orang memilih pemenuhan tersebut melalui istimna’ (onani atau masturbasi).

Konten yang memperlihatkan aurat tersebar luas di berbagai media sosial, menjadi faktor terkuat pemuda melakukan istimna’. Menurut artikel dari Detik Health, usia remaja yang mengenal istimna adalah antara 13 hingga 29 tahun, yaitu saat mereka merasa siap untuk menikah.

Sebelum membahas cara menjauhi praktik ini, penting untuk terlebih dahulu memahami makna istimna’. Selain itu, perlu juga menyadari bahaya yang muncul akibat kebiasaan buruk ini sebagai berikut:

Melansir dari laman NU Online, istimna’ adalah istilah dalam kajian fiqih yang mengarah pada pemuasan kebutuhan biologis tanpa pasangan. Kebiasaan ini dapat dilakukan oleh baik laki-laki maupun perempuan.

Mayoritas ulama memperbolehkan istimna’ jika dilakukan dengan pasangan yang sah. Namun, pemuasan kebutuhan biologis secara mandiri masih menjadi perdebatan.

Beberapa ulama mengharamkannya secara mutlak, sementara yang lain mengharamkannya dalam kondisi tertentu dan membolehkannya dalam situasi lain. Beberapa ulama juga memakruhkan praktik ini.

Imam Syafi’i dan Imam Maliki secara tegas mengharamkan istimna’ tanpa syarat. Alasan hukum tersebut adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Mu’minun ayat 5-6:

وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حٰفِظُوْنَۙ اِلَّا عَلٰٓى اَزْوَاجِهِمْ اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُهُمْ فَاِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَۚ

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka tidak tercela (karena menggaulinya).”

Hadis Rasulullah Shalallahu A’laihi Wassalam berikut ini mendukung pendapat mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah:

يَجِيءُ النَّاكِحُ يَدَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَدُهُ حُبْلَى   

Artinya: “Orang yang menikah dengan tangannya (istimna’) akan datang pada hari Kiamat dalam keadaan tangan terikat,” (HR Baihaqi).  

Youtube Channel Film @Maker Muslim – FMM Studios menggambarkan dampak negatif istimna’ melalui film pendek berjudul “Istimna“. Film ini menceritakan seorang suami yang merasa tidak nyaman saat menyentuh istrinya karena sudah terbiasa memuaskan diri sendiri sambil menonton video vulgar.

Dampak negatif istimna’ terhadap kesehatan mental meliputi depresi, kecemasan, dan peningkatan risiko perilaku mendekati zina akibat kebiasaan menonton video vulgar. Sementara itu, dari segi kesehatan fisik, istimna’ dapat menyebabkan luka pada area genital dan meningkatkan risiko kanker prostat.

Sebagai hamba Allah SWT, seorang Muslim sebaiknya mengikuti pendapat ulama yang paling kuat. Meskipun terdapat pendapat yang memakruhkan hingga membolehkan, lebih baik jika pemuda Muslim mencoba lima cara mengatasi kebiasaan istimna’ yang bersumber dari Detik Hikmah berikut ini:

BACA JUGA: MUI Fatwakan Haram Salam Lintas Agama: Berikut 3 Poin Penting

Pemuda yang belum sanggup memenuhi persyaratan menikah, sebaiknya berpuasa sebagai langkah pengendalian syahwat. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW berikut ini:

وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ

Artinya: “Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah karena puasa itu bagai obat pengekang baginya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Puasa merupakan ibadah yang mengajarkan pengendalian diri terhadap hawa nafsu. Allah SWT menetapkan puasa sebagai ibadah yang tepat bagi pemuda untuk meningkatkan kualitas diri daripada memuaskan nafsu. Puasa sunnah tersebut antara lain puasa setiap Senin-Kamis, puasa Daud, dan Ayyamul Bidh.

Istimna’ sering terjadi karena terlalu banyak waktu luang, sehingga menambah rutinitas ibadah dengan mengerjakan sholat sunnah selain yang wajib lima waktu menjadi penting. Hal ini sesuai dengan hadis Rasulullah SAW sebagai berikut:

إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ النَّاسُ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ أَعْمَالِهِمْ الصَّلَاةُ قَالَ يَقُولُ رَبُّنَا جَلَّ وَعَزَّ لِمَلَائِكَتِهِ – وَهُوَ أَعْلَمُ انْظُرُوا فِي صَلَاةِ عَبْدِي أَتَمَّهَا أَمْ نَقَصَهَا فَإِنْ كَانَتْ تَامَّةً كُتِبَتْ لَهُ تَامَّةً وَإِنْ كَانَ انْتَقَصَ مِنْهَا شَيْئًا قَالَ انْظُرُوا هَلْ لِعَبْدِي مِنْ تَطَوُّعٍ فَإِنْ كَانَ لَهُ تَطَوُّعٌ قَالَ أَتِمُّوا لِعَبْدِي فَرِيضَتَهُ مِنْ تَطَوُّعِهِ ثُمَّ تُؤْخَذُ الْأَعْمَالُ عَلَى ذَلِكَ

Artinya: “Sesungguhnya amal perbuatan yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) bagi seorang hamba pada hari kiamat adalah sholat. Tuhan kami berkata kepada para Malaikat-Nya (Allah Yang Maha Tahu): “Periksalah sholat hamba-Ku, apakah dia telah menyempurnakan sholatnya atau ada yang kurang?”. Jika sholatnya sempurna, maka akan dicatat sholatnya sempurna. Jika ada kekurangan dari sholatnya, maka Allah SWT berfirman: “Periksalah apakah hamba-Ku pernah mengerjakan sholat sunnah?”. Bila dia pernah mengerjakan sholat sunnah, Allah SWT berfirman kembali: “Sempurnakanlah sholat fardhu hamba-Ku dengan sholat sunnahnya.” Kemudian amal-amal (lainnya) juga akan diperlakukan demikian,” (HR Abu Dawud).

Merutinkan sholat sunnah dapat membantu menghindari kebiasaan istimna’ dengan mempersempit waktu luang. Sholat sunnah yang bisa dilakukan adalah sholat tahajud di sepertiga malam terakhir, rawatib qabliyah dan ba’diyah sebelum dan setelah sholat wajib, dhuha di pagi hari, sholat taubat sebagai bentuk penyesalan dan permohonan ampun, serta sholat hajat untuk kebutuhan tertentu.

Allah SWT berinteraksi dengan hamba-Nya melalui Al-Qur’an, memberikan petunjuk dan pedoman hidup. Setiap manusia memiliki pilihan untuk mempelajari isi Al-Qur’an atau tidak, sehingga tanggung jawab dan konsekuensi ada pada individu masing-masing.

Rasulullah SAW bersabda:

خَيْرُكُمْ مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ

Artinya: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR Bukhari).

Hadis ini mengingatkan umat Islam tentang pentingnya mempelajari Al-Qur’an serta berbagi pengetahuan tersebut dengan orang lain. Melalui aktivitas ini, seseorang dapat meningkatkan pemahamannya sendiri terhadap wahyu Allah, sekaligus memberikan manfaat kepada masyarakat dengan menyebarkan ajaran yang benar.

Tahsin menjadi langkah awal untuk memperbaiki bacaan Al-Qur’an sesuai hukum tajwid yang benar. Menghadiri majelis ilmu yang membahas tafsir ayat juga membantu mendalami pemahaman Al-Qur’an.

Seorang penuntut ilmu sebaiknya membagikan ilmunya kepada keluarga dan teman-teman agar kebaikan dapat tersebar. Belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya dapat membantu mengalihkan perhatian dari urusan dunia dan fokus pada hal-hal yang baik.

BACA JUGA: Ipar Adalah Maut: Tips Menjaga Batasan Pergaulan Ipar dan Pasangan

Seorang muslim yang rajin mendatangi majelis ilmu pasti akan berteman dengan orang-orang shalih. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran surat Al-Kahfi ayat 28:

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِيْنَ يَدْعُوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَدٰوةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَهٗ وَلَا تَعْدُ عَيْنٰكَ عَنْهُمْۚ تُرِيْدُ زِيْنَةَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۚ وَلَا تُطِعْ مَنْ اَغْفَلْنَا قَلْبَهٗ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوٰىهُ وَكَانَ اَمْرُهٗ فُرُطًا

Artinya: “Bersabarlah engkau (Nabi Muhammad) bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan petang hari dengan mengharap keridaan-Nya. Janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia. Janganlah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami serta menuruti hawa nafsunya dan keadaannya melewati batas.”

Pergaulan dengan orang-orang shalih memberikan nilai lebih daripada semua harta dan perhiasan yang ada di dunia. Selain itu, mengikuti orang yang tidak ingat kepada Allah dan hanya mengikuti hawa nafsu akan membawa pada kebinasaan.

Pernikahan perlu pertimbangan dan persiapan yang matang, baik secara fisik dan mental. Pemahaman tentang kewajiban dan hak suami istri, tanggung jawab dalam mendidik anak, serta kemampuan untuk berkomunikasi dengan anggota keluarga seperti mertua, semuanya merupakan bagian dari persiapan mental.

Sementara itu, persiapan fisik mencakup pemeriksaan kesehatan, untuk menentukan adanya penyakit bawaan atau kondisi kesehatan yang perlu perhatian. Nabi Muhammad SAW bersabda dalam hadis berikut:

وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: مَنْ أرَادَ أنْ يَلْقَى اللهَ طَاهِرًا مُطَهَّرا فَلْيَتَزَوَّجِ الحَرائِرَ

Artinya: “Siapa yang ingin bertemu Allah dalam keadaan suci dan disucikan, maka menikahlah dengan perempuan-perempuan merdeka,” (HR Ibnu Majah).

Demikian penjelasan mengenai lima cara untuk mengatasi kebiasaan istimna’. Seorang Muslim sebaiknya menyibukkan diri dengan berbagai ibadah, menutup celah bagi bisikan setan untuk melakukan hal-hal yang diharamkan oleh Allah SWT. Wallahu A’lam

Author: Triana Amalia (Aktivis Dakwah Muslimah)
Editor: Sylvia Kurnia Ritonga (Founder tatsqif.com)

  • Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk