Fiqh KontemporerPernikahan & Keluarga

Nikah Online: Antara Teknologi dan Syariah, Baca Selengkapnya

TATSQIF ONLINE – Nikah online menjadi fenomena baru, terutama dalam hal tata cara pelaksanaannya. Menikah telah menjadi kebiasaan bagi para nabi, wali, ulama, dan orang-orang saleh, sebagai salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Pernikahan dalam ajaran Islam merupakan salah satu bentuk ibadah, yang memberikan kebahagiaan sekaligus pahala. Keinginan untuk menikah adalah fitrah manusia. Islam mendorong hal tersebut, dan tidak menghalangi ekspresi perasaan umatnya.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan sebuah hadis dari Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda sebagai berikut:

مَنْ تَزَوَّجَ فَقَدْ أُعْطِيَ نِصْفَ الْعِبَادَةِ

Artinya: “Siapa yang menikah maka sungguh ia telah diberi setengahnya ibadah,(HR Abu Ya’la).

BACA JUGA: Ijtihad dalam Hukum Islam dan Peran Ulama Kontemporer

Kecanggihan teknologi pada era sekarang, mendorong sebagian masyarakat untuk melangsungkan akad nikah dengan memanfaatkan platform online, melalui panggilan video atau aplikasi tertentu, terutama pada saat pandemi Covid-19 yang lalu. Tindakan tersebut tentu berdampak pada aspek hukum Islam.

Melangsungkan akad nikah secara online, menunjukkan kepekaan syariat terhadap kepentingan umat di tengah perubahan zaman. Hal ini bertujuan untuk mencapai kemaslahatan.

Terdapat beragam pendapat mengenai keabsahan pernikahan yang dilakukan secara online. Beberapa ulama berpendapat, bahwa pernikahan online hukumnya mubah jika memenuhi rukun nikah, meskipun pelaksanaannya pada waktu dan tempat yang berbeda.

Sementara itu, sebagian ulama berpendapat bahwa pernikahan harus dilangsungkan pada waktu dan tempat yang sama, sesuai dengan syarat-syarat yang melekat pada setiap rukun nikah.

Adapun rukun nikah adalah adanya kedua mempelai, wali nikah bagi mempelai perempuan, dua orang saksi, dan shigat (ijab qabul). Salah satu syarat dari ijab qabul adalah kedua orang yang berakad, yaitu wali dan mempelai laki-laki berada dalam satu tempat. Hal tersebut tidak terpenuhi dalam pelaksanaan pernikahan online.

MUI telah menetapan fatwa dalam Ijtima Ulama ke-7 tahun 2021, yang hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Pertama, pada dasarnya akad nikah hukumnya sah jika memenuhi syarat ijab kabul, yakni dilaksanakan secara ittihad al-majlis (berada dalam satu tempat), dengan lafadz yang sharih (jelas), dan ittishal (bersambung antara ijab dan kabul secara langsung).

Kedua, dalam hal calon mempelai pria dan wali tidak bisa berada dalam satu tempat secara fisik, maka ijab kabul dalam pernikahan dapat dilakukan dengan cara tawkil (mewakilkan).

Ketiga, dalam hal para pihak tidak dapat hadir secara fisik dan/atau tidak dapat mewakilkan (tawkil), pelaksanaan akad nikah secara online dapat dilakukan dengan syarat:

a. Wali nikah, calon pengantin pria, dan dua orang saksi dipastikan terhubung melalui jejaring virtual meliputi suara dan gambar (audio visual).

b. Dalam waktu yang sama (real time).

c. Adanya jaminan kepastian tentang benarnya keberadaan para pihak yang dapat dibuktikan secara teknis.

d. Adanya jaminan pengakuan dari Pemerintah.

Pernikahan online yang tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 (tiga) hukumnya tidak sah.

Wallahu A’lam
Oleh Rosti Anni Pasaribu (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan) 

Editor & Publikator: Sylvia Kurnia Ritonga

Seorang pembelajar sekaligus pengajar, pendiri tatsqif.com, aktif di bidang kepenulisan dan pengembangan ilmu, serta antusias dengan hal-hal baru yang positif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk