Kewarisan Janin dan Reproduksi Buatan: Perspektif Hukum Islam
TATSQIF ONLINE – Keberadaan janin dalam kandungan adalah inti dari kehamilan seorang ibu. Secara sederhana, kehamilan merupakan situasi yang menunjukkan adanya anak (janin) dalam rahim, bahkan sejak tahap awal ketika sel telur dibuahi oleh sperma dan mulai membentuk embrio.
Meskipun embrio tersebut belum berbentuk sempurna seperti bayi yang dilahirkan, keberadaannya tetap signifikan. Hal ini penting untuk mempertimbangkan apakah ada hubungan kewarisan antara janin dan pewaris.
Dengan kemajuan teknologi sains, terdapat dua metode utama untuk memiliki keturunan. Pertama, melalui hubungan langsung antara pria dan wanita. Kedua, dengan memanfaatkan teknologi reproduksi seperti berikut ini:
Bayi Tabung dalam Perspektif Hukum Islam
Penggunaan teknologi reproduksi, seperti bayi tabung, telah menjadi praktik umum yang diakui dalam dunia medis. Namun, sewa rahim masih belum memiliki kejelasan hukum yang sama.
Program bayi tabung membantu pasangan yang mengalami kesulitan untuk memiliki anak. Cara ini dilakukan dengan menanamkan embrio, yang dihasilkan dari sperma dan sel telur pasangan tersebut ke dalam rahim istri.
Fatwa MUI tentang Bayi Tabung menegaskan beberapa hal penting. Pertama, bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan sah hukumnya boleh sebagai bentuk ikhtiar berdasarkan agama. Kedua, bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim istri lain dinyatakan haram karena dapat menimbulkan masalah dalam warisan.
Ketiga, bayi tabung dari sperma suami yang sudah meninggal juga diharamkan karena kompleksitas masalah nasab dan warisan. Keempat, bayi tabung yang berasal dari selain pasangan sah hukumnya haram, seperti zina, untuk mencegah perbuatan zina sejati. Fatwa ini menekankan bahwa kebolehan bayi tabung bergantung pada asal sperma dan ovum serta tidak dititipkan kepada rahim perempuan lain.
BACA JUGA: Bayi Tabung dalam Dinamika Hukum Islam, Begini Penjelasannya
Sewa Rahim dalam Pandangan Ulama
Prof. Hindun al-Khuli membahas isu tentang sewa rahim dalam bukunya Ta’jir al-Arham fi Fiqh al-Islami. Beliau menguraikan berbagai kasus sewa rahim serta hukum penggunaannya dalam perspektif Islam. Praktik ini baru muncul dalam era modern kedokteran yang tidak ada pada masa awal Islam.
Ada tiga bentuk praktik sewa rahim yang diharamkan menurut para ulama. Pertama, penggunaan sperma dan sel telur dari donor asing dengan bayi yang dilahirkan diserahkan kepada pihak lain.
Kedua, penggunaan sperma suami dengan sel telur dan rahim perempuan yang bukan istrinya, dengan bayi diserahkan kepada pasangan sah. Ketiga, penggunaan sel telur istri dengan sperma dari donor lain dan rahim perempuan lain, dengan bayi diserahkan kepada istri dan suaminya yang mandul.
Prof. Hindun juga memaparkan dua bentuk praktik yang kontroversial. Pertama, penggunaan sperma dan sel telur dari pasangan suami istri yang sah dan diletakkan di rahim perempuan lain. Kedua, penggunaan sperma dan sel telur dari pasangan suami istri yang sah dan diletakkan di rahim istri lain atau istri kedua.
Ada perdebatan di antara ulama tentang kedua praktik tersebut. Sebagian ulama menyatakan bahwa kedua praktik ini haram, seperti yang disepakati dalam pertemuan ulama di Makkah pada 1985 dan Amman pada 1986, serta oleh mayoritas ahli fikih seperti Prof. Jadul Haq Ali Jadul Haq, Mufti Mesir Syekh Ali Jumah, dan lainnya. Namun, ada juga pandangan bahwa kedua praktik itu boleh dilakukan dengan syarat-syarat ketat, seperti yang diungkapkan oleh Prof. Abdul Mu’thi al-Bayyumi dari al-Azhar.
Syarat-Syarat Kewarisan Anak dalam Kandungan
Untuk mendapat pengakuan sebagai ahli waris, seseorang harus memenuhi kondisi adanya hubungan kewarisan. Dalam hukum Islam, hubungan kewarisan berdasarkan pada hubungan darah (nasab) atau hubungan perkawinan.
BACA JUGA: Konsep Hijab Mahjub dalam Pembagian Warisan menurut Islam
Agar anak dalam kandungan dapat memiliki hak atas warisan, terdapat dua syarat utama yang harus terpenuhi:
1. Anak tersebut harus sudah ada (terbentuk) pada saat pewaris meninggal dunia.
Janin sudah harus ada di dalam kandungan pada saat pewaris meninggal dunia, meskipun belum lahir.
2. Anak tersebut harus lahir dalam keadaan hidup.
Bayi harus terlahir hidup agar sah sebagai ahli waris. Anak yang lahir melalui sewa rahim menghadapi kompleksitas status kewarisan karena meskipun berasal dari sperma ayah dan ovum ibu yang sah, ia dikandung oleh wanita lain. Karena ketidakjelasan nasab anak tersebut, banyak ulama meragukan legalitas dan keabsahannya dalam hak waris.
Ulama di Kuwait hanya memperbolehkan reproduksi buatan melalui bayi tabung dengan syarat sel telur dan sperma berasal dari pasangan suami istri yang sah. Namun, anak yang dikandung melalui sewa rahim, di mana janin berada dalam rahim wanita lain, belum diatur keabsahannya, sehingga tidak dapat diakui sebagai ahli waris.
Batas Waktu Maksimal dan Minimal Bagi Kandungan
Batas waktu minimal terbentuknya janin dalam keadaan hidup berkaitan dengan hubungan nasab anak dengan orang tuanya, terutama ayahnya. Hal ini dapat ditentukan ketika ayah dari seorang anak yang masih dalam kandungan meninggal dunia, karena hubungan nasab dari anak tersebut melalui kedua orang tuanya.
Jarak waktu minimal antara akad perkawinan dan kelahiran seorang anak adalah paling tidak enam bulan, menurut kesepakatan ulama. Hal ini menandakan bahwa seorang wanita mengandung minimal selama enam bulan sebelum melahirkan.
Adapun batas waktu maksimal seorang anak dilahirkan menjadi masalah dalam konteks putusnya perkawinan, baik melalui thalaq atau kematian. Beberapa ulama memiliki pandangan berbeda mengenai lamanya seorang wanita mengandung sampai melahirkan. Ada yang berpendapat bahwa waktu maksimal adalah dua tahun, seperti yang disebutkan oleh para ulama Hanafiyah dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayat.
Mekanisme Pembagian Hak Waris Anak dalam Kandungan
Ada dua cara untuk membagi hak waris anak dalam kandungan:
1. Menunggu kelahiran bayi tersebut sebelum melakukan pembagian. Dengan cara ini, status anak dalam kandungan dapat ditetapkan dengan lebih pasti, termasuk apakah ia benar-benar ahli waris, yang dapat dibuktikan melalui tes DNA. Setelah kelahiran, jenis kelamin bayi akan terlihat dengan jelas, apakah laki-laki atau perempuan.
2. Jika ahli waris yang lain ingin pembagian dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi, maka harta warisan bisa dibagi dengan memperhitungkan bagian bayi untuk satu orang, meskipun bayi tersebut lahir dalam keadaan kembar. Namun, perlu ada jaminan bahwa ahli waris yang menerima akan mengembalikan bagian warisan yang menjadi hak bayi jika bayi tersebut lahir dalam keadaan kembar. Jika tidak ada jaminan tersebut, pembagian akan ditunda hingga kelahiran bayi tersebut. Wallahu a’lam.
Rohit Ritonga (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
Kan tadi di dalam artikel mengatakan bahwa anak di dlm kandungan dapat warisan jika massa kandungan 6 bulan, jadi bagaimana ketika anak itu lahir dan meninggal dunia dan bagaimana dengan harta kewarisan nya ?
ketika si anak lahir di bulan yg sudah waktunya ia dikelurkan, akan tetapi ia meninggal dunia maka seorang anak tabung meninggal dunia, harta kewarisannya akan diatur sesuai dengan hukum waris yang berlaku di negara atau yurisdiksi tempat dia tinggal. Ini biasanya melibatkan distribusi harta kepada ahli waris yang ditentukan oleh hukum, seperti pasangan, anak-anak, atau keluarga lainnya.
Artikel nya sudah bagus semoga kedepannya lebih bagus lg👏👍
Bagaimanakah hukum waris jika suami meninggal sedangkan proses bayi tabung masih diindikator embrio!!! Dan apakah hukum bayi tabung tersebut apabila dilanjutkan?
Dalam hukum Islam, warisan diatur berdasarkan hukum syariah. Jika suami meninggal saat proses bayi tabung masih dalam tahap embrio, maka warisannya akan diatur sesuai dengan ketentuan hukum waris Islam yang berlaku di negara tersebut. Adapun mengenai status bayi tabung tersebut, hukumnya akan tergantung pada fatwa dan regulasi hukum Islam yang berlaku di negara tersebut
Di dalam artikel ada tercantum anak/bayi kembar, jadi pertanyaan bagaimana cara pembagian harta nya ke bayi kembar tersebut?
Jika ahli waris yang lain ingin pembagian dilakukan tanpa menunggu kelahiran bayi, maka harta warisan bisa dibagi dengan memperhitungkan bagian bayi untuk satu orang, meskipun bayi tersebut lahir dalam keadaan kembar. Namun, perlu ada jaminan bahwa ahli waris yang menerima akan mengembalikan bagian warisan yang menjadi hak bayi jika bayi tersebut lahir dalam keadaan kembar. Jika tidak ada jaminan tersebut, pembagian akan ditunda hingga kelahiran bayi tersebu
Artikelnya sangat bermanfaat bagi pembaca 👍