4 Aspek Urgensi Muhasabah: Ternyata Nomor 3 Sering Terlupakan
TATSQIF ONLINE – Setiap langkah kehidupan yang diambil oleh manusia selalu disertai dengan potensi kesalahan, baik yang terjadi secara tidak disengaja maupun dengan sengaja.
Sebagai contoh, seorang mahasiswa mungkin merasa terpaksa menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan skripsinya karena alasan waktu atau kurang pemahaman. Melansir dari laman NU Online, meskipun hal tersebut dianggap biasa dalam beberapa lingkungan, praktik seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Selain itu, sering terjadi pelanggaran terhadap syariat yang dianggap sepele, seperti kurang mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, seperti gaji, beasiswa, atau bonus dari kantor. Ketidakmampuan untuk mensyukuri nikmat-nikmat tersebut dapat mengarah pada konsekuensi yang lebih berat, seperti hukuman istidraj dari Allah SWT.
Oleh karena itu, muhasabah atau introspeksi diri sangatlah penting bagi seorang muslim. Dengan mengakui kesalahan-kesalahannya dan melakukan refleksi, manusia dapat memperbaiki diri dan mengambil langkah-langkah yang lebih baik ke depannya.
Makna Muhasabah
Muhasabah merupakan kegiatan memerhatikan dan merenungkan perbuatan baik dan buruk yang telah dilakukan. Dalam Bahasa Indonesia, muhasabah berarti introspeksi diri.
Seorang muslim seharusnya melakukan perenungan secara rutin dan mengakui dosanya kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya dalam surat Al-Hasyr ayat 18:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Surah Al-Hasyr ayat 18 mengingatkan umat Muslim untuk bertakwa kepada Allah SWT dan selalu introspeksi diri. Ayat ini menekankan pentingnya memperhatikan apa yang telah dilakukan dan dipersiapkan untuk kehidupan di akhirat.
Ketakwaan yang berulang kali penekanannya dalam ayat tersebut, menunjukkan vitalnya menjaga kesadaran dan kepatuhan terhadap perintah Allah. Allah yang Maha Mengetahui semua perbuatan, baik yang terlihat maupun tersembunyi, mengingatkan untuk selalu berbuat baik dan menjauhi kejahatan.
Ayat ini mendorong hidup dengan kesadaran tinggi akan tanggung jawab sebagai hamba Allah dan mempersiapkan diri untuk kehidupan kekal di akhirat. Hal ini sejalan dengan penjelasan Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsir Ibnu Katsir, bahwa tujuan ayat ini adalah perintah merenungi dosa sebelum sampai pada perhitungan amal di akhirat.
Menurut kitab Tazkiyatun Nafs karya Dr. Anas Ahmad Karzon, terdapat empat aspek muhasabah yang penting bagi seorang Muslim. Berikut penjelasannya:
1. Kemaksiatan Lahir dan Batin
Maksiat batin berupa dengki, dendam, buruk sangka, dan meremehkan muslim lainnya. Begitu juga maksiat lahir yang merupakan buah dari maksiat batin.
Seseorang yang dendam kepada manusia lain, bisa melakukan perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT lainnya, seperti pencurian, bahkan lebih parahnya terjadi kasus penghilangan nyawa. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-An’am ayat 120:
وَذَرُوْا ظَاهِرَ الْاِثْمِ وَبَاطِنَهٗ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْسِبُوْنَ الْاِثْمَ سَيُجْزَوْنَ بِمَا كَانُوْا يَقْتَرِفُوْنَ
Artinya: “Tinggalkanlah dosa yang terlihat (lahir) dan yang tersembunyi (batin). Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan (perbuatan) dosa kelak akan dibalas (dengan siksaan) karena apa yang mereka kerjakan.”
Ayat ini menegaskan pentingnya untuk meninggalkan segala jenis dosa, baik yang terlihat maupun yang tersembunyi. Setiap orang yang melakukan dosa akan mendapat balasan atas perbuatannya. Pesan ayat ini mengajak untuk selalu menjaga diri, introspeksi, dan bertanggung jawab atas tindakan masing-masing agar hidup sesuai dengan ajaran agama.
2. Niat dan Tujuan
Perihal ini, manusia harus ikhlas dalam niat dan tujuan melakukan perberbuatan baik. Firman Allah SWT dalam surat Al-Bayyinah ayat 5:
وَمَآ اُمِرُوْٓا اِلَّا لِيَعْبُدُوا اللّٰهَ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۙ حُنَفَاۤءَ وَيُقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوا الزَّكٰوةَ وَذٰلِكَ دِيْنُ الْقَيِّمَةِۗ
Artinya: “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya lagi hanif (istiqomah), melaksanakan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus (benar).”
Ayat tersebut menegaskan bahwa tujuan utama perintah-perintah tersebut agar manusia menyembah Allah dengan sungguh-sungguh, dengan kesetiaan yang tulus dan lurus. Tidak ada perintah Allah SWT kepada manusia kecuali untuk kepentingan hamba itu sendiri.
Ayat ini juga menekankan pentingnya melaksanakan sholat dan menunaikan zakat sebagai bagian dari kewajiban agama yang benar. Ini adalah prinsip-prinsip fundamental dalam agama yang membimbing manusia menuju jalan yang lurus dan benar di mata Allah.
Muhasabah dalam hal ini penting untuk menghindarkan diri dari riya. Manusia hendaknya berniat hanya karena Allah SWT, bukan karena ingin mendapat pujian dari orang lain.
Riya bisa melahirkan sifat egoisme dan suka membanggakan diri. Tujuan berbuat baik pun harus disesuaikan dengan perintah dan larangan Allah SWT.
3. Ketidaktaatan dan Kehilangan Waktu
Ketidaktaan dan kehilangan waktu adalah buah dari perbuatan lalai. Seorang muslim harus introspeksi diri agar tidak membuang waktu lagi. Sebagaimana dalam sebuat hadis riwayat Abu Barzah Al-Aslami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:
لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ
Artinya: “Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai: (1) umurnya di manakah ia habiskan, (2) ilmunya di manakah ia amalkan, (3) hartanya bagaimana ia peroleh dan (4) di mana ia infakkan dan (5) mengenai tubuhnya di manakah usangnya.” (HR Tirmidzi).
Seorang muslim harus melaksanakan kewajiban sholat dan perintah Allah SWT lainnya segera tanpa menundanya. Sebagai contoh, tidak menunda ibadah hanya karena ingin nonton drama favorit.
Kehilangan waktu adalah akibat dari kelalaian yang tidak diintrospeksi. Inilah urgensi yang sering dilupakan sebab melenakan. Seakan manusia akan hidup seribu tahun di dunia tanpa menjumpai kematian.
4. Segala Kenikmatan yang Diberikan Allah SWT
Seorang muslim diwajibkan bersyukur atas segala nikmat yang diberikan Allah SWT. Hal ini pun akan ditanya kelak pada hari kiamat, sebagaimana dalam firman-Nya di surat At-Takaatsur ayat 8:
ثُمَّ لَتُسْـَٔلُنَّ يَوْمَىِٕذٍ عَنِ النَّعِيْمِ
Artinya: “Kemudian, kamu pasti benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di dunia itu).”
Jelaslah bahwa nikmat Allah SWT kepada hamba-Nya tidak terbatas. Nikmat yang paling terasa, seperti keimanan, kesehatan, rezeki, waktu lapang, anak-anak, keturunan, dan lain-lain.
Apabila seorang muslim tidak pandai bersyukur, akan terhitung sebagai dosa lalai. Manusia harus bijaksana dalam menimbang antara kenikmatan yang Allah SWT berikan dan kemaksiatan yang mereka lakukan.
Setiap muslim harus melakukan introspeksi terhadap empat aspek ini. Caranya dengan membuat jadwal muhasabah diri setiap malam sebelum tidur. Jika seorang muslim bermuhasabah setiap malam dan ia mati pada suatu malam, maka ia mati dalam keadaan bertaubat. Wallahu A’lam
Author: Triana Amalia (Aktivis Dakwah Muslimah)
Editor: Sylvia Kurnia Ritonga (Founder tatsqif.com)