Bayi Tabung dalam Dinamika Hukum Islam, Begini Penjelasannya
TATSQIF ONLINE – Para dokter spesialis kandungan menggunakan program bayi tabung sebagai metode untuk memenuhi harapan pasangan suami-istri dalam mendapatkan keturunan. Bayi tabung dapat menjadi pilihan bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk hamil secara alami.
Program bayi tabung umumnya diakibatkan oleh masalah kesuburan atau kondisi medis tertentu, seperti penyumbatan saluran tuba atau kualitas sperma suami yang kurang baik. Program ini menjadi alternatif ketika pembuahan alami melalui hubungan seksual tidak berhasil.
Tantangan dan Pertimbangan Bayi Tabung dalam Perspektif Islam
Bayi tabung merupakan hasil dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang biologi dan kedokteran. Penggunaannya menimbulkan kekhawatiran terkait dampak sosial, ketertiban, dan nilai-nilai peradaban manusia. Walaupun umumnya masyarakat menghargai teknologi ini, namun terdapat ketidakpastian apakah penggunaannya akan sesuai dengan hukum Islam.
Bayi tabung adalah proses reproduksi yang melibatkan pengambilan mani/sperma dari laki-laki dan ovum/mani dari perempuan. Kedua sel ini kemudian digabungkan dalam suatu alat selama beberapa hari. Setelah terjadi pembuahan, hasilnya dimasukkan kembali ke dalam rahim ibu. Proses ini tidak memerlukan persetubuhan untuk mencapai kehamilan.
Hamil bukanlah perlombaan. Anak juga merupakan titipan
Melansir dari laman islam.nu.or.id, para peserta Musyawarah Nasional Nahdhatul Ulama 1981 pada saat itu, telah memberikan rincian mengenai hukum bayi tabung dengan memaparkan tiga kasus berbeda, yaitu:
Pertama, apabila mani yang diambil dan dimasukkan ke dalam rahim wanita tidak berasal dari suami istri, maka hukumnya adalah haram.
Kedua, jika mani yang diambil tersebut memang berasal dari suami istri, tetapi proses pengambilannya tidak sesuai dengan norma agama, maka hukumnya juga haram.
Ketiga, jika mani yang disimpan adalah milik suami istri, cara pengambilannya sesuai dengan norma agama, dan dimasukkan ke dalam rahim istri sendiri, maka hukumnya adalah boleh.
Ulama NU mengklasifikasikan 3 jenis bayi tabung dengan merujuk pada dua sumber utama. Pertama, mereka merujuk pada kitab Tafsir Ibnu Katsir, yang mencantumkan hadis Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ مَا مِنْ ذَنْبٍ بَعْدَ الشِّرْكِ أَعْظَمُ مِنْ نُطْفَةٍ وَضَعَهَا رَجُلٌ فِيْ رَحِمٍ لاَ يَحِلُّ لَهُ
Artinya: “Dari Ibnu Abbas, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Tidak ada dosa yang lebih besar setelah syirik daripada mani yang ditempatkan seorang laki-laki (berzina) di dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya’,” (HR Ibnu Abi ad-Dunya’).
Rujukan kedua adalah pendapat Ali Ahmad Al-Jurjawi dalam kitabnya Hikmatut Tasyri’ wa Falsafatuh. Beliau menukil sebuah hadis dari Rasulullah SAW yang menyatakan:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ فَلاَ يُسْقِيَنَّ مَاءَهُ زَرْعَ أَخِيْهِ
Artinya, “Siapa saja yang beriman kepada Allah SWT dan hari kiamat, maka janganlah sekali-kali berzina dengan istri sesamanya,” (HR Ahmad).
BACA JUGA: Menelusuri Jejak Masjid Bersejarah di Tarim: Ikon Kota yang Menginspirasi
Fatwa MUI Terkait Praktek Bayi Tabung
Pada 13 Juni 1979 di Jakarta, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan beberapa keputusan terkait bayi tabung atau inseminasi buatan:
Pertama, bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah hukumnya mubah atau boleh. Hal ini dianggap sebagai upaya yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama.
Kedua, bayi tabung dari pasangan suami-isteri dengan titipan rahim isteri yang lain, hukumnya haram. Contohnya, dari istri kedua dititipkan pada istri pertama. Alasannya adalah untuk menghindari masalah rumit terkait warisan dan hubungan keluarga.
Ketiga, bayi tabung dari sperma yang dibekukan dari suami yang telah meninggal dunia hukumnya haram. Hal ini dianggap dapat menimbulkan masalah kompleks terkait penentuan nasab dan warisan.
Keempat, bayi tabung yang sperma dan ovumnya diambil dari selain pasutri yang sah hukumnya haram. Hal ini setara dengan hubungan kelamin di luar pernikahan yang sah (zina) dan didasarkan pada prinsip menghindari perbuatan zina.
Wallahu A’lam
Oleh: Elvida Sari Harahap (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer