Fiqh & Ushul FiqhMust Read

Ketidakpastian Hak Waris dan Status Anak dalam Kandungan

TATSQIF ONLINE Janin adalah anak yang belum lahir, laki-laki atau perempuan, yang masih berada dalam rahim ibu. Untuk mewarisi, seorang anak yang belum lahir harus memenuhi dua syarat: pertama, janin harus berada dalam rahim ibu ketika ahli waris meninggal dunia, dan kedua, bayi tersebut harus dilahirkan dalam keadaan hidup.

Ada dua cara pewarisan anak yang masih dalam kandungan. Pertama, pembagian harta warisan ditunda hingga anak tersebut dilahirkan, sehingga status dan bagian anak dapat ditentukan dengan lebih jelas. Kedua, jika ahli waris menginginkan pembagian cepat, harta warisan dapat dibagi berdasarkan perkiraan situasi saat kelahiran, dengan kemungkinan redistribusi jika situasi aktual berbeda.

Mayoritas ulama sepakat bahwa bayi dalam kandungan dapat mewarisi haknya jika dilahirkan hidup, yang dapat dilihat dari tanda-tanda kelahiran hidup seperti menangis atau menjerit. Sebuah riwayat dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:  

ูˆูŽุนูŽู†ู’ ุฌูŽุงุจูุฑู ุฑูŽุถููŠูŽ ุงูŽู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู†ู’ู‡ู ุนูŽู†ู ุงูŽู„ู†ู‘ูŽุจููŠู‘ู ุตูŽู„ู‘ูŽู‰ ุงูŽู„ู„ู‘ูฐู‡ู ุนูŽู„ูŽูŠู’ู‡ู ูˆูŽุณูŽู„ู‘ูŽู…ูŽ ู‚ูŽุงู„ูŽ: ุฅูุฐูŽุง ุงุณู’ุชูŽู‡ู’ู„ูŽ ุงูŽู„ู’ู…ูŽูˆู’ู„ููˆุฏู ูˆูŽุฑูŽุซูŽ

Artinya: “Dari Jabir RA nabi SAW bersabda: apabila telah berteriak (bersuara) anak yang dilahirkan maka ia adalah ahli waris,” (HR Abu Daud).

Batas waktu minimal terbentuknya janin dan dilahirkan dalam keadaan hidup adalah enam bulan. Hal ini sesuai firman Allah SWT dalam surah Al-Ahqaaf ayat 15 :  

ูˆูŽุญูŽู…ู’ู„ูู‡ู— ูˆูŽููุตูฐู„ูู‡ู— ุซูŽู„ูฐุซููˆู’ู†ูŽ ุดูŽู‡ู’ุฑู‹ 

Artinya: “Dan mengandungnya sampai menyampihnya adalah tiga puluh bulan.” 

Firman Allah dalam Surah Luqman ayah 14 :  

ูˆูŽู‘ููุตูŽุงู„ูู‡ู— ูููŠู’ ุนูŽุงู…ูŽูŠู’ู†ู 

Artinya: “Dan menyampihkannya dalam dua tahun.” 

Dalam Islam, batas waktu minimal kehamilan yang menghasilkan bayi yang dapat hidup adalah enam bulan. Ini didasarkan pada gabungan dua ayat dari Al-Qur’an. Surah Al-Ahqaf ayat 15 menyatakan bahwa total waktu antara kehamilan dan penyapihan adalah tiga puluh bulan dan Surah Luqman ayat 14 menambahkan bahwa masa menyusui adalah dua tahun atau 24 bulan.

Dari sini, para ulama menyimpulkan bahwa masa kehamilan minimal adalah enam bulan, yang merupakan sisa waktu setelah mengurangi masa penyusuan dari total waktu tersebut. Kehamilan minimal enam bulan ini penting untuk pengakuan nasab dan hak waris seorang anak dalam hukum Islam.

Oleh karena itu, jika seorang bayi lahir sebelum usia 6 bulan, maka ia tidak dapat dikaitkan dengan garis keturunan ayahnya dan dianggap sebagai anak yang lahir di luar nikah. Menurut ulama Sunni, bayi semacam ini hanya dapat dikaitkan dengan ibunya.

Bayi yang lahir hidup dari seorang wanita hamil mempunyai tiga kemungkinan status sebagai ahli waris. Pertama, bayi tersebut pasti menjadi ahli waris jika wanita hamil itu adalah istri dari almarhum. Dalam situasi ini, baik bayi yang dilahirkan adalah laki-laki atau perempuan, statusnya sebagai ahli waris sudah jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Misalnya, jika seorang pria meninggal dunia dan meninggalkan istri yang sedang hamil, maka bayi yang dilahirkan otomatis menjadi ahli waris dan mendapatkan bagian dari harta warisan almarhum.

Kedua, bayi tersebut bisa dipastikan tidak menjadi ahli waris. Hal ini terjadi jika wanita yang hamil adalah anak perempuan dari almarhum. Menurut pandangan ulama Sunni, anak dari seorang perempuan tidak memiliki hak untuk mewarisi dari kakeknya. Oleh karena itu, jika anak perempuan dari almarhum melahirkan bayi, bayi tersebut tidak dianggap sebagai ahli waris dan tidak memiliki hak atas warisan kakeknya.

Ketiga, status ahli waris dari bayi yang lahir bisa tergantung pada jenis kelaminnya. Misalnya, jika wanita hamil adalah istri dari saudara laki-laki ahli waris, maka status bayi sebagai ahli waris bisa berbeda berdasarkan apakah dia laki-laki atau perempuan. Jika bayi yang lahir adalah laki-laki, ia mungkin mendapat bagian yang lebih besar dari warisan dan bisa menutup hak saudara kandung ahli waris lainnya. Namun, jika bayi yang lahir adalah perempuan, hak warisnya mungkin lebih kecil atau berbeda sesuai dengan aturan yang berlaku.

Ahli waris yang sudah ada juga menghadapi ketidakpastian terkait dengan keberadaan bayi dalam kandungan. Pertama, ada ketidakpastian apakah bayi yang dikandung akan lahir hidup atau mati. Misalnya, jika seorang saudara seibu dari almarhum menjadi ahli waris, status mereka bisa berubah jika bayi yang dikandung oleh istri almarhum lahir hidup. Dalam hal ini, bayi tersebut dapat mengubah perhitungan warisan dan mungkin menutup hak saudara seibu tersebut sebagai ahli waris.

Selain itu, jenis kelamin bayi yang dikandung juga dapat mempengaruhi bagian warisan yang diterima oleh ahli waris lainnya. Misalnya, jika bayi yang lahir adalah perempuan,ahli waris lain mungkin mendapatkan bagian tertentu dari warisan yang berbeda dengan bayi laki-laki. Hal ini bisa menimbulkan perubahan dalam perhitungan dan pembagian harta warisan di antara ahli waris lainnya.

Ahli waris dapat dikategorikan berdasarkan kepastian status dan hak waris mereka. Pertama, ada ahli waris yang status dan haknya sudah pasti dan tidak akan berubah. Misalnya, istri almarhum yang sudah pasti menjadi ahli waris dan bagian warisannya tidak akan berubah meskipun bayi yang dikandungnya lahir hidup atau mati, laki-laki atau perempuan. Hak istri sebagai ahli waris tetap stabil dan tidak terpengaruh oleh kondisi bayi dalam kandungannya.

Kedua, ada ahli waris yang statusnya pasti, tetapi hak warisannya belum pasti. Misalnya, ibu dari ahli waris yang sedang hamil sudah pasti menjadi ahli waris, namun bagian warisannya mungkin berubah tergantung pada apakah bayi yang dikandungnya lahir hidup atau mati. Jika bayi lahir hidup, bagian warisan ibu mungkin berkurang dari 1/3 menjadi 1/6 karena kehadiran bayi mengubah perhitungan warisan di antara ahli waris lainnya.

Ketiga, ada ahli waris yang status dan hak warisannya belum pasti. Misalnya, saudara kandung dari almarhum mungkin tidak pasti menjadi ahli waris jika bayi yang lahir adalah anak laki-laki dari almarhum, yang dapat menutup hak saudara kandung tersebut. Namun, jika bayi yang lahir adalah perempuan, saudara kandung mungkin tetap menjadi ahli waris dan mendapatkan bagian dari warisan.

Dalam situasi di mana ahli waris memiliki bagian warisan yang sudah ditentukan, tetapi hak mereka dapat berubah tergantung pada bayi yang belum lahir, maka pendekatan yang hati-hati diperlukan. Salah satu caranya adalah dengan memberikan bagian terkecil yang mungkin mereka terima terlebih dahulu, sambil menunda bagian yang lebih besar sampai status bayi menjadi jelas setelah lahir.

Contohnya, jika ibu dari ahli waris sedang hamil dan sudah memiliki anak perempuan, maka ibu tersebut akan menerima bagian terkecilnya yaitu 1/6. Ini berdasarkan asumsi bahwa bayi yang dilahirkan akan hidup, yang mana kehadiran dua saudara kandung akan mengurangi hak ibu dari 1/3 menjadi 1/6.

Setelah bayi lahir, jika ia lahir hidup, bagian yang sesuai diberikan kepada ibu; dan jika bayi lahir mati, ibu akan berhak menerima bagian yang lebih besar, yaitu 1/3. Ini adalah contoh di mana tidak ada kemungkinan terjadi ‘aul (penyesuaian proporsi bagian warisan yang mengakibatkan pengurangan hak setiap ahli waris).

Contoh di atas menggambarkan situasi di mana ‘aul tidak akan terjadi. Misalnya, jika bayi yang lahir adalah perempuan dalam jumlah berapa pun, mereka hanya akan menerima tidak lebih dari 2/3 dari harta warisan.

Jika bayi yang lahir adalah laki-laki, berapa pun jumlahnya, mereka akan menjadi ashabah (ahli waris yang mendapatkan sisa harta setelah bagian tetap dibagikan) dan tidak akan menyebabkan ‘aul.

Namun, ada situasi di mana ‘aul bisa terjadi. Misalnya, jika ahli waris terdiri dari istri yang sedang hamil, serta kedua orang tuanya. Bagian terkecil yang diterima istri adalah 1/8, sedangkan bagian terkecil untuk ibu dan ayah masing-masing adalah 1/6.

Jika bayi yang lahir adalah dua anak perempuan yang akan menerima 2/3, maka terjadi ‘aul. Dalam hal ini, istri akan menerima 1/8 atau 3/24, ibu dan ayah masing-masing akan menerima 1/6 atau 4/24, dan dua anak perempuan akan menerima 2/3 atau 16/24.

Dalam situasi ini, pembagian harus disesuaikan agar total bagian warisan sesuai dengan 27/27 (total nilai yang ditingkatkan untuk mengakomodasi ‘aul). Dengan demikian, istri bisa menerima 3/27, ibu 4/27, dan ayah 4/27 dari total warisan.

Harta Warisan Rp.48.000,000,- Ahli waris terdiri dari ayah dan istri yang hamil. Maka cara pembagiannya adalah sebagai berikut: 

1). Jika anak dalam kandungan diperkirakan laki-laki  

Ayah mendapat : 1/6 

Istri mendapat : 1/8 

Anak laki-laki (al-haml) : ashabah 

Asal masalahnya : 24  

Bagian ayah : 1/6 x 24 = 4 

Bagian istri : 1/8 x 24 = 3 

Bagian anak laki-laki : 24 โ€“ (4+3) = 17  

Jumlah : 24ย ย 

Jadi bagian ayah : 4/24 x Rp.48.000,00 = Rp 8.000,00 

Bagian istri : 3/24 x Rp.48.000,00 = Rp. 6.000,00 

Bagian anak laki-laki (al-haml) : 17/24 x Rp.48.000,00 = Rp. 34.000,00 

2). Jika anak dalam kandungan diperkirakan perempuan:  

Ayah mendapat = 1/6 ashabah  

Istri mendapat = 1/8  

Anak perempuan (al-haml) =1/2   

Maka bagian istri = 1/8 x 24 (AM) =3  

Bagian anak perempuan = 1/2 x 24 = 12 

Bagian ayah = 24 โ€“ (3+12) = 9  

Jumlah = 24 

Jadi bagian ayah = 9/24 x Rp.48.000,00 = Rp.18.000,00 

Bagian istri = 3/24 x Rp 48.000,00 = Rp 6.000,00  

Bagian anak perempuan (Al-Haml) = 12/24 x Rp 48.000,00 = Rp 24.000,00  

Oleh karena itu, di antara dua perkiraan tersebut jika diperkiraan laki-laki, ia akan menerima lebih banyak daripada jika diperkirakan perempuan, maka jumlah yang seharusnya ditahan/disediakan untuk anak dalam kandungan ialah sebanyak perkiraan laki-laki (Rp 34.000,000). Bila ternyata yang lahir adalah anak perempuan, maka dapat diadakan perhitungan ulangan, agar pewaris yang lain tidak dirugikan. Wallahu a’lam. 

Fauziah (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

8 komentar pada “Ketidakpastian Hak Waris dan Status Anak dalam Kandungan

  • Lumita Wulandari Hasibuan

    Bgus

    Balas
  • Lumita Wulandari Hasibuan

    Artikel nya bagus

    Balas
  • Rifdah suriani simbolon

    Apabila sudah lahir bayi ini dan di berikan lah warisan itu kepadanya, gak sampe berhari setelah di berikan waris nya meninggal lah bayi tersebut, lalu warisan si bayi di bagi kepada ahli waris dari bayi tersebut atau di bagi kepada ahli waris almarhum ayah nya kembali?

    Balas
  • Sofia marini rambe

    Bagaimana pembagian warisan jika bayi yang lahir hidup adalah satu satunya ahli waris yang tersisa?

    Balas
  • Nurlena harahap

    Ma syaa Allah sukses terus๐Ÿ‘

    Balas
  • Hanif Raina Nur siregar

    Good job artikelnya bagus

    Balas
  • Husni Alawiyah Lubis

    Artikelnya sangat bagus

    Balas
  • Tetty Hairani Sarumpaet

    Artikel nya Bagus ๐Ÿ‘

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk