Bahasa ArabFiqh & Ushul Fiqh

3 Kategori Pembunuhan dalam Islam: Dosa Besar dan Akibatnya

TATSQIF ONLINEPembunuhan merupakan salah satu perbuatan yang sangat tercela dalam Islam. Banyak sekali ayat Al-Qur’an maupun hadis Nabi yang menyatakan keharamannya.

Kasus pembunuhan sering kali mengejutkan publik, seperti seorang ayah di Jakarta Selatan yang tega membunuh anak-anaknya. Kasus lain adalah pembunuhan ibu kandung di Asahan yang terjadi akibat sakit hati setelah si ibu menasehati pelaku.

Pembunuhan antar sesama Muslim adalah dosa besar. Allah SWT sangat mengecam perbuatan ini sebagaimana termaktub dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 93:

وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُتَعَمِّداً فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً

Artinya: “Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

BACA JUGA: Simak Pengantar Fiqh Jinayah: Definisi, Hukum, dan Klasifikasi

Selain ancaman kekal di neraka Jahannam, dalam hadis Rasulullah SAW juga terdapat beberapa ancaman bagi orang yang membunuh, seperti:

1. Dosa Pertama yang Dihisab

Rasulullah SAW menyebutkan bahwa dosa pertama yang akan dihisab pada hari kiamat adalah dosa membunuh. Beliau bersabda:

أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ الصَّلَاةُ وَأَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ فِي الدِّمَاءِ

Artinya: “Yang dihisab pertama kali dari seorang hamba adalah salat. Dan yang pertama kali diputuskan atas dosa sesama manusia adalah pertumpahan darah,” (HR Nasa’i).

2. Kedua Pihak yang Saling Membunuh Masuk Neraka

Dalam kasus dua orang Muslim yang saling membunuh, keduanya mendapat ancaman masuk neraka karena niat untuk membunuh juga menjadi dosa besar, sebagaimana dalam hadis:

إِذَا الْتَقَى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ

Artinya: “Jika dua orang muslim saling bertemu dengan menghunuskan pedangnya masing-masing, maka yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka,” (HR Bukhari dan Muslim).

3. Pembunuhan Merajalela Tanda Kiamat

Rasulullah SAW menyebutkan bahwa menjelang kiamat, pembunuhan akan semakin merajalela hingga orang yang membunuh dan yang terbunuh tidak tahu alasan perbuatannya. Rasulullah SAW bersabda:

لاَ يَدْرِي الْقَاتِلُ فِيمَ قَتَلَ وَلاَ الْمَقْتُولُ فِيمَ قُتِلَ

Artinya: “Orang yang membunuh tidak mengerti karena alasan apa ia membunuh, dan orang yang terbunuh tidak mengerti atas dasar apa ia dibunuh,” (HR Muslim).

Dari berbagai ayat dan hadis tersebut, Islam memandang pembunuhan sebagai perbuatan keji yang sangat tercela, terutama di antara sesama Muslim. Nyawa manusia sangat bernilai, dan membunuh satu nyawa sama dengan membunuh seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surah al-Maidah ayat 32:

مَنْ قَتَلَ نَفْساً بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعاً

Artinya: “Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”

Untuk mendalami masalah ini lebih lanjut, kita akan menelaah karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Karya ini merupakan bahan ajar perkuliahan Qiraatul Kutub pada Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).

BACA JUGA: Bunuh Diri: Wabah yang ‘Menular’ dan Cara Menyelamatkan Nyawa

Teks Asli dalam Buku:

أوّلاً – أقسام الجناية على النّفس

ذهب أكثر أهل العلم إلى أنّ الجناية على النّفس تنقسم بحسب القصد وعدمه إلى : عمد، وشبه عمد، وخطإ، فالتّقسيم عندهم ثلاثيّ. وهو خماسيّ عند فقهاء الحنفيّة بزيادة ما أجري مجرى الخطأ، والقتل بسبب. وهي عند بعض فقهاء الحنابلة أربعة أقسام، لأنّهم يعتبرون ما أجري مجرى الخطأ، والقتل بسبب قسماً واحداً

وقال ابن قدامة: هذا القسم هو من الخطأ، فالتّقسيم عند جمهور الحنابلة أيضاً ثلاثيّ، وأنكر مالك في رواية شبه العمد، وقال: القتل إمّا عمد وإمّا خطأ، لأنّه ليس في كتاب اللّه تعالى إلاّ العمد والخطأ، وجعل شبه العمد في حكم العمد، وروي عنه أنّه قال بشبه العمد

أَوّلًاً – أَقْسَامُ الْجِنَايَةِ عَلَى النّفْسِ

ذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى أَنّ الْجِنَايَةَ عَلَى النّفْسِ تَنْقَسِمُ بِحَسَبِ الْقَصْدِ وَعَدَمِهِ إِلَى: عَمْدٍ، وَشِبْهِ عَمْدٍ، وَخَطَإٍ، فَالتّقْسِيمُ عِنْدَهُمْ ثُلَاثِيّ. وَهُوَ خُمَاسِيّ عِنْدَ فُقَهَاءِ الْحَنَفِيّةِ بِزِيَادَةِ مَا أجري مَجْرَى الْخَطَأِ، وَالْقَتْلِ بِسَبَبٍ. وَهِيَ عِنْدَ بَعْضِ فُقَهَاءِ الْحَنَابِلَةِ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ، لِأَنّهُمْ يَعْتَبِرُونَ مَا أجري مَجْرَى الْخَطَأِ، وَالْقَتْلِ بِسَبَبٍ قسْمًاً وَاحِدًاً

وَقَالَ ابْنُ قُدَامَةَ: هَذَا الْقسْمُ هُوَ مِنْ الْخَطَأِ، فَالتّقْسِيمُ عِنْدَ جُمْهُورِالْحَنَابِلَةِ أَيْضًاً ثُلَاثِيّ، وَأَنْكَرَ مَالِكٌ فِي رِوَايَةِ شِبْهِ الْعَمْدِ، وَقَالَ: الْقَتْلُ إِمّا عَمْدٌ وَإِمّا خَطَأٌ، لِأَنّهُ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللّهِ تَعَالَى إِلَّاّ الْعَمْدُ وَالْخَطَأَ، وَجَعَلَ شِبْهَ الْعَمْدِ فِي حُكْمِ الْعَمْدِ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنّهُ قَالَ بِشِبْهِ الْعَمْدِ

Pertama – Pembagian Jinayah terhadap Jiwa:

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jinayah terhadap jiwa dibagi berdasarkan ada atau tidaknya unsur kesengajaan menjadi tiga jenis: sengaja, semi-sengaja, dan tidak sengaja. Pembagian ini menurut mereka bersifat tripartit (tiga bagian). Namun, menurut fuqaha Hanafiyah, pembagiannya menjadi lima dengan tambahan: yang disamakan dengan kesalahan, dan pembunuhan karena sebab tertentu. Sedangkan menurut sebagian fuqaha Hanabilah, pembagiannya menjadi empat bagian karena mereka menganggap “yang disamakan dengan kesalahan” dan “pembunuhan karena sebab” sebagai satu bagian.

Ibnu Qudamah berkata: bagian ini termasuk dalam kategori kesalahan, sehingga menurut mayoritas Hanabilah, pembagiannya tetap tiga bagian. Malik dalam salah satu riwayat menolak adanya semi-sengaja dan berkata: pembunuhan hanya terbagi menjadi sengaja dan tidak sengaja, karena dalam Al-Qur’an hanya ada dua kategori, yaitu sengaja dan tidak sengaja. Dia juga menganggap semi-sengaja masuk dalam hukum sengaja, meskipun ada riwayat yang mengatakan bahwa Malik mengakui adanya semi-sengaja.

أَقْسَام – Pembagian

خَطَأ – Kesalahan

الْجِنَايَة – Jinayah (kejahatan)

حُكْم – Hukum

النّفْس – Jiwa

بِسَبَبٍ – Karena/sebab

الْقَصْد – Niat/sengaja

مَجْرَى – Seperti/sesuai

عَمْد – Sengaja

فُقَهَاء – Para ahli fikih

BACA JUGA: Kasus Bunuh Diri Naik: Simak 3 Langkah Pencegahan dalam Islam

Mayoritas ulama berpendapat bahwa jinayah terhadap jiwa dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan adanya kesengajaan atau tidak:

1. Sengaja (عَمْد): Kejahatan yang terjadi dengan niat dan kesengajaan dari pelaku.

Contoh: Seorang pria yang merencanakan dan melaksanakan pembunuhan terhadap musuhnya dengan cara yang sangat teliti, seperti menyusun rencana, membeli senjata, dan menunggu waktu yang tepat untuk melakukan pembunuhan tersebut. Misalnya, seseorang yang membunuh rekannya karena motif balas dendam pribadi.

2. Semi-sengaja (شِبْهِ عَمْد): Kejahatan yang terjadi dengan niat yang mendekati kesengajaan, tetapi tidak sepenuhnya.

Contoh: Seorang pria yang terlibat dalam pertengkaran dengan temannya dan secara impulsif menggunakan senjata yang ada di dekatnya dalam keadaan marah, sehingga menyebabkan kematian. Meskipun ada niat untuk melukai, kematian yang terjadi bukanlah hasil dari rencana yang matang.

3. Tidak sengaja (خَطَأ): Kejahatan yang terjadi tanpa niat atau kesengajaan.

Contoh: Seorang pengemudi mobil yang menyebabkan kecelakaan fatal karena kelalaian, seperti mengabaikan sinyal lalu lintas atau melanggar batas kecepatan, yang mengakibatkan kematian pejalan kaki. Tidak ada niat untuk membunuh, hanya akibat dari kelalaian.

Fuqaha Hanafiyah menambah dua kategori dalam pembagian ini, sehingga total menjadi lima:

4. Yang disamakan dengan kesalahan: Kejahatan yang mirip dengan kesalahan, tetapi dengan pertimbangan khusus.

Contoh: Seorang pekerja yang secara tidak sengaja menyebabkan kematian rekan kerjanya akibat kelalaian dalam penggunaan alat berat, yang seharusnya dioperasikan dengan lebih hati-hati. Tindakan ini dianggap mirip dengan kesalahan karena kurangnya perhatian dan kepatuhan terhadap prosedur keselamatan, namun tidak melibatkan niat jahat.

5. Pembunuhan karena sebab tertentu: Pembunuhan yang terjadi akibat kondisi atau situasi tertentu yang mempengaruhi tindakannya.

Contoh: Seorang anggota keluarga yang membunuh orang lain dalam situasi tekanan emosional yang ekstrem, seperti saat mengetahui bahwa orang tersebut berencana untuk mencelakakan anggota keluarga mereka. Pembunuhan ini dipicu oleh kondisi khusus dan tidak direncanakan dengan matang.

Sebagian fuqaha Hanabilah menganggap bahwa kategori yang disamakan dengan kesalahan dan pembunuhan karena sebab, tergabung menjadi satu kategori, sehingga total pembagian menjadi empat.

Ibnu Qudamah berpendapat bahwa kategori semi-sengaja termasuk dalam kategori kesalahan, sehingga mayoritas fuqaha Hanabilah juga membagi menjadi tiga bagian. Sementara itu, Imam Malik dalam salah satu riwayat menolak adanya kategori semi-sengaja dan menyatakan bahwa pembunuhan hanya terbagi menjadi sengaja dan tidak sengaja.

Imam Malik berpendapat bahwa semi-sengaja sebenarnya masuk dalam hukum sengaja, meskipun ada riwayat lain yang mengindikasikan bahwa Malik juga mengakui kategori semi-sengaja dalam beberapa konteks.

Jumlah fi’liyah adalah salah satu jenis kalimat dalam bahasa Arab yang berfungsi untuk menyatakan tindakan atau peristiwa yang dilakukan oleh subjek. Kalimat ini secara umum dimulai dengan kata kerja (fi’il), dan biasanya diikuti oleh subjek (fa’il) serta objek (maf’ul bih) jika ada. Berikut adalah uraian lengkap mengenai jumlah fi’liyah:

Struktur Jumlah Fi’liyah

Jumlah fi’liyah terdiri dari tiga komponen utama:

Kata Kerja (Fi’il): Ini adalah inti dari kalimat dan biasanya terletak di awal. Kata kerja dalam jumlah fi’liyah menunjukkan tindakan atau peristiwa. Contoh: “كَتَبَ” (menulis).

Subjek (Fa’il): Subjek adalah pelaku dari tindakan yang dinyatakan oleh kata kerja. Dalam kalimat bahasa Arab, subjek biasanya muncul setelah kata kerja, meskipun dalam beberapa kasus, subjek bisa berada sebelum kata kerja, terutama dalam kalimat nominal. Contoh: “محمدٌ” (Muhammad) dalam kalimat “كَتَبَ محمدٌ الرسالةَ” (Muhammad menulis surat).

Objek (Maf’ul Bih): Objek adalah penerima tindakan dari kata kerja, dan biasanya terletak setelah subjek. Tidak semua jumlah fi’liyah memiliki objek, tetapi ketika ada, objek tersebut memberikan informasi tambahan tentang sasaran tindakan subjek. Contoh: “الرسالةَ” (surat) dalam kalimat “كَتَبَ محمدٌ الرسالةَ” (Muhammad menulis surat).

Pertama, Mengawali Kalimat dengan Kata Kerja: Kata kerja ini mengindikasikan jenis tindakan atau peristiwa. Misalnya, dalam kalimat “فَتَحَ أحمدٌ البابَ” (Ahmad membuka pintu), “فَتَحَ” adalah kata kerja.

Kedua, Mengandung Subjek: Setelah kata kerja, biasanya terdapat subjek yang melakukan aksi dari kata kerja tersebut. Subjek ini bisa berupa nama orang, benda, atau kata ganti. Dalam kalimat “فَتَحَ أحمدٌ البابَ” (Ahmad membuka pintu), “أحمدٌ” adalah subjek.

Fa’il selalu marfu’ (مرفوع), dengan tanda-tanda berikut:

1. Dhammah (ضمة) di akhir kata jika fa’il dalam bentuk kata benda tunggal (mufrad), jamak mu’annats salim, atau jamak taksir.

Contoh: fa’il isim mufrad: كَتَبَ مُحَمَّدٌ الرِّسَالَةَ, jamak taksir: حَضَرَ الرِّجَالُ إِلَى المَسْجِدِ, jamak mu’annats salim: جَلَسَتْ الطَّالِبَاتُ فِي الصَّفِّ

2. Wawu (و) jika dalam bentuk jamak mudzakkar salim. Contoh: سَافَرَ المُعَلِّمُونَ إِلَى مَكَّةَ

3. Alif (ألف) jika dalam bentuk tatsniyah (ganda). Contoh: كَتَبَ المُعَلِّمَانِ الدَّرْسَ

4. Nun (ن) pada fi’il mudhari’ pada bentuk jamak mudzakkar dan tatsniyah. Contoh: يَفْهَمُونَ الدرسَ – يَذْهَبَانِ إلى المدرسة

Ketiga, Terkadang Memiliki Objek: Jika kata kerja memerlukan objek untuk melengkapi maknanya, maka posisi objek terletak setelah subjek. Objek ini adalah tindakan dari kata kerja. Dalam kalimat “أكلَ محمدٌ التفاحةَ” (Muhammad memakan apel), “التفاحةَ” adalah objek.

Tanda I’rab Nasab untuk Maf’ul Bih

Maf’ul bih selalu mansub dengan tanda-tanda berikut:

1. Fathah (فتح) di akhir kata jika maf’ul bih dalam bentuk kata benda tunggal (mufrad) atau jamak taksir. Contoh: رَأَيْتُ مُحَمَّدًا – رَأَيْتُ الْكُتُبَ

2. Alif jika maf’ul bih dalam bentuk isim yang lima. Contoh: رَأَيْتُ أَبَاكَ

3. Kasrah jika maf’ul bih dalam bentuk jamak mu’annats salim. Contoh: رَأَيْتُ الْمُعَلِّمَاتِ

4. Ya jika maf’ul bih dalam bentuk jamak mudzakkar salim. Contoh: رَأَيْتُ الْمُدَرِّسِينَ

BACA JUGA: 3 Alasan Penting Umat Muslim Harus Belajar Bahasa Arab, Simak

ذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى أَنّ الْجِنَايَةَ عَلَى النّفْسِ تَنْقَسِمُ بِحَسَبِ الْقَصْدِ وَعَدَمِهِ إِلَى: عَمْدٍ، وَشِبْهِ عَمْدٍ، وَخَطَإٍ، فَالتّقْسِيمُ عِنْدَهُمْ ثُلَاثِيّ

ذَهَبَ (fi’il) → أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ (fa’il)

تَنْقَسِمُ (fi’il) → هي (dhamir fa’il yang tersembunyi di dalam fi’il) → الْجِنَايَةَ (maf’ul bih) → بِحَسَبِ الْقَصْدِ وَعَدَمِهِ (keterangan tambahan)

وَهِيَ عِنْدَ بَعْضِ فُقَهَاءِ الْحَنَابِلَةِ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ، لِأَنّهُمْ يَعْتَبِرُونَ مَا أجري مَجْرَى الْخَطَأِ، وَالْقَتْلِ بِسَبَبٍ قسْمًاً وَاحِدًاً

يَعْتَبِرُونَ (fi’il) → هُمْ (dhamisr fa’il yang tersembunyi di dalam fi’il) → مَا أجري مَجْرَى الْخَطَأِ (maf’ul bih)

وَقَالَ ابْنُ قُدَامَةَ : هَذَا الْقسْمُ هُوَ مِنْ الْخَطَأِ، فَالتّقْسِيمُ عِنْدَ جُمْهُورِ الْحَنَابِلَةِ أَيْضًاً ثُلَاثِيّ، وَأَنْكَرَ مَالِكٌ فِي رِوَايَةِ شِبْهِ الْعَمْدِ، وَقَالَ: الْقَتْلُ إِمّا عَمْدٌ وَإِمّا خَطَأٌ، لِأَنّهُ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللّهِ تَعَالَى إِلَّاّ الْعَمْدُ وَالْخَطَأَ، وَجَعَلَ شِبْهَ الْعَمْدِ فِي حُكْمِ الْعَمْدِ، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنّهُ قَالَ بِشِبْهِ الْعَمْدِ

قَالَ (fi’il) → ابْنُ قُدَامَةَ (fa’il)

أَنْكَرَ (fi’il) → مَالِكٌ (fa’il)

وَقَالَ (fi’il) → هو (dhamir fa’il yang tersembunyi di dalam fi’il)

جَعَلَ (fi’il) → هو (dhamir fa’il yang tersembunyi di dalam fi’il) → شِبْهَ الْعَمْدِ (maf’ul bih)

Jumlah fi’liyah berfungsi untuk menyatakan tindakan atau peristiwa dengan jelas dan mengidentifikasi pelaku tindakan. Kadang-kadang, jumlah fi’liyah juga menunjukkan apa yang menjadi objek tindakan tersebut.

Hal ini membantu dalam menyusun kalimat yang informatif dan terstruktur dalam bahasa Arab. Dengan demikian, komunikasi mengenai berbagai aktivitas dan peristiwa menjadi lebih efektif.

Jumlah fi’liyah berbeda dari jumlah ismiyah, yang biasanya dimulai dengan kata benda (ism) dan tidak selalu mengandung kata kerja. Jumlah ismiyah lebih fokus pada deskripsi atau pengidentifikasian subjek, sementara jumlah fi’liyah lebih menekankan pada aksi atau tindakan yang terjadi.

Chitra Adelina Simanungkalit (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

22 komentar pada “3 Kategori Pembunuhan dalam Islam: Dosa Besar dan Akibatnya

  • khairi azzahra

    apakah tanda i’rob fiil madhi dan fiil mudhori’ itu sama, kalau berbeda kenapa??

    Balas
    • Nurul Fathiyah Daulay

      Bagaimana menurut pemakalah jika pembunuhan dilakukan atas dasar perintah negara atau agama?

      Balas
      • Founder Tatsqif

        Pembunuhan yang dilakukan atas dasar perintah negara atau agama merupakan salah satu topik yang kompleks dan memerlukan tinjauan dari berbagai perspektif, baik hukum, etika, maupun agama.

        Dari sudut pandang hukum negara, dalam konteks negara, pembunuhan atas dasar perintah negara sering kali dibenarkan dalam kondisi tertentu seperti:

        1. Perang. Di masa perang, pembunuhan musuh bisa dibenarkan di bawah hukum internasional, selama dilakukan sesuai dengan hukum perang (Geneva Conventions).

        2. Hukuman mati. Beberapa negara masih menerapkan hukuman mati untuk tindak kejahatan berat. Di sini, pembunuhan dilakukan atas perintah negara dan dianggap sah secara hukum.

        3. Pertahanan diri. Aparat keamanan yang bertindak untuk melindungi warga dari ancaman ekstrem juga bisa diizinkan untuk melakukan tindakan kekerasan, termasuk pembunuhan, jika diperlukan.

        Namun, walaupun dibenarkan secara hukum dalam beberapa kasus, tetap ada perdebatan moral dan etis yang mendalam terkait dengan pembunuhan oleh negara. Sebagian orang mempertanyakan apakah tindakan seperti itu bisa sepenuhnya dibenarkan, terutama dalam konteks hak asasi manusia.

        Dari sudut pandang agama, dalam konteks agama, terutama Islam, pembunuhan dilarang keras kecuali dalam situasi yang sangat spesifik. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:

        “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan suatu (alasan) yang benar…” (QS. Al-An’am: 151).

        Di sini, Islam hanya membenarkan penghilangan nyawa dalam situasi yang ditetapkan oleh syariat, seperti qisas (balasan setimpal dalam kasus pembunuhan), atau dalam kondisi jihad yang sah, di mana perang dilakukan untuk mempertahankan diri dan agama, dan harus sesuai dengan aturan yang ketat.

        Namun, penting dicatat bahwa jihad bukan berarti justifikasi untuk pembunuhan sembarangan. Jihad memiliki aturan yang sangat ketat dalam hukum Islam, termasuk larangan membunuh non-kombatan, wanita, anak-anak, dan orang tua yang tidak terlibat dalam pertempuran.

        Perintah pembunuhan atas nama agama sering kali diklaim, tetapi tidak mengikuti aturan-aturan agama itu sendiri, sehingga dianggap sebagai penyimpangan. Islam menentang kekerasan yang tidak sah, dan banyak ulama modern menekankan bahwa terorisme atau pembunuhan massal atas nama agama merupakan penyalahgunaan ajaran agama.

        Dalam banyak agama lainnya, seperti Kristen atau Hindu, pembunuhan juga dianggap sebagai dosa besar dan sangat dilarang kecuali dalam kondisi pertahanan diri atau dalam kondisi khusus lainnya.

        Kesimpulannya, baik dari sudut pandang negara maupun agama, pembunuhan selalu menjadi tindakan yang membutuhkan alasan yang sangat kuat untuk bisa dibenarkan. Negara mungkin memiliki alasan hukum untuk melakukan tindakan seperti itu dalam kondisi tertentu, sementara agama, terutama Islam, menetapkan syarat-syarat yang sangat ketat sebelum penghilangan nyawa bisa dianggap sah. Tindakan pembunuhan tanpa justifikasi yang jelas, apalagi yang melanggar aturan agama atau hukum internasional, umumnya dianggap sebagai kejahatan besar.

        Balas
    • Founder Tatsqif

      Tanda i’rab fi’il madhi dan fi’il mudhari’ itu berbeda. Hal ini disebabkan oleh perbedaan fungsi dan kategori gramatikal dari kedua jenis fi’il tersebut dalam bahasa Arab.

      1. Fi’il Madhi (kata kerja lampau):

      Fi’il madhi dianggap sebagai kata kerja yang mabni (tetap). Ini berarti bahwa i’rab tidak berlaku pada fi’il madhi. Dalam semua bentuknya, fi’il madhi selalu dalam keadaan mabni ‘ala al-fath (dibaca fathah di akhir kata) atau kadang mabni ‘ala as-sukun tergantung konteks tertentu, seperti ketika disambung dengan dhamir (kata ganti). Oleh karena itu, fi’il madhi tidak berubah akhirannya untuk menandakan perubahan i’rab (misalnya rafa’, nashab, atau jazm).

      Contoh:

      كَتَبَ (kataba) — dia telah menulis.

      كَتَبْتُ (katabtu) — saya telah menulis.

      2. Fi’il Mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang):

      Fi’il mudhari’ memiliki i’rab, yang berarti akhirannya dapat berubah sesuai dengan kondisi (marfu’, manshub, atau majzum).

      Marfu’: Ketika tidak ada faktor yang mempengaruhi, fi’il mudhari’ berada dalam keadaan marfu’, yang ditandai dengan dhommah pada huruf terakhir.

      Manshub: Jika didahului oleh partikel nashab (seperti أن, لن), maka fi’il mudhari’ berada dalam keadaan manshub, biasanya ditandai dengan fathah.

      Majzum: Jika didahului oleh partikel jazm (seperti لم, لما, لام الأمر), maka fi’il mudhari’ berada dalam keadaan majzum, biasanya ditandai dengan sukun.

      Contoh:

      يَكْتُبُ (yaktubu) — dia menulis (marfu’).

      لَنْ يَكْتُبَ (lan yaktuba) — dia tidak akan menulis (manshub).

      لَمْ يَكْتُبْ (lam yaktub) — dia belum menulis (majzum).

      Kesimpulan:
      Perbedaan i’rab antara fi’il madhi dan fi’il mudhari’ terjadi karena fi’il madhi dianggap kata kerja yang tetap (mabni) dan tidak mengalami perubahan i’rab, sedangkan fi’il mudhari’ bersifat muta’addid (berubah-ubah) dan memiliki i’rab yang tergantung pada faktor gramatikal di sekitarnya.

      Balas
  • Arridho Ramadhan

    Bagaimana cara mengetahui apakah jumlah fi’liyah ini menyatakan sesuatu yang sedang berlangsung, sudah selesai,atau perintah.

    Balas
    • Founder Tatsqif

      Untuk mengetahui apakah jumlah fi’liyah menyatakan sesuatu yang sedang berlangsung, sudah selesai, atau perintah, perhatikan bentuk kata kerjanya:

      1. Fi’il madhi menunjukkan tindakan yang sudah selesai. Contoh: kataba (dia telah menulis).

      2. Fi’il mudhari’ menunjukkan tindakan yang sedang berlangsung atau akan datang. Contoh: yaktubu (dia sedang menulis atau akan menulis).

      3. Fi’il amr menunjukkan perintah. Contoh: uktub (tulislah).

      Dengan melihat bentuk fi’il, kita dapat menentukan makna waktunya.

      Balas
  • Sri ummi Handayani

    Coba saudari jelaskan apa perbedaan jumlah fi’liyah yg memiliki objek maf’ulumbih dan yang tidak ?

    Balas
    • Founder Tatsqif

      Jumlah fi’liyah yang memiliki objek maf’ul bihi (objek langsung) dan yang tidak memilikinya berbeda dalam struktur dan makna:

      1. Jumlah Fi’liyah dengan Objek Maf’ul Bihi:

      Memiliki objek langsung yang menerima tindakan fi’il.

      Struktur: [Subjek] + [Fi’il] + [Maf’ul bihi].

      Contoh: “Kita membaca buku.” (fi’il: membaca, maf’ul bihi: buku).

      2. Jumlah Fi’liyah tanpa Objek Maf’ul Bihi:

      Tidak memiliki objek langsung.

      Struktur: [Subjek] + [Fi’il].

      Contoh: “Dia tidur.” (fi’il: tidur).

      Perbedaannya adalah bahwa kalimat dengan maf’ul bihi melibatkan objek yang menerima tindakan, sedangkan kalimat tanpa maf’ul bihi hanya menyebutkan tindakan tanpa objek tersebut.

      Balas
  • Maysarah

    bagaimana suatu kalimat itu tanda Rafa’ nya di tandai dengan Nun (ن)

    Balas
    • Nun menjadi tanda i’rab rafa’ yang terdapat pada fi’il mudhari’ ketika bertemu dengan:

      Dhamir mutsanna, contohnya:
      يَفْعَلَانِ، تَفْعَلَانِ

      Dhamir jamak, contohnya:
      يَفْعَلُونَ، تَفْعَلُونَ

      Dhamir muannas mukhatabah, contohnya:
      تَفْعَلِينَ

      Balas
  • Astria astuti

    Coba pemakalah jlskan kembali jumlah fi’liyah yg ada d dlm contoh dan sebut kn di mana d stu jumlah fi’liyah ny

    Balas
    • Dalam kalimat “قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ” terdapat satu jumlah fi’liyah. Berikut penjelasannya:

      – “قَالَ” adalah kata kerja (fi’il) yang berarti “telah berkata”. Ini adalah kata kerja bentuk lampau (fi’il madhi), sehingga memulai kalimat dengan kata kerja ini menjadikan kalimat sebagai jumlah fi’liyah (kalimat yang dimulai dengan kata kerja).
      – “ابْنُ قُدَامَةَ” adalah subjek (fa’il) dari kata kerja “قَالَ”. Ini menunjukkan siapa yang melakukan perbuatan “berkata”, yaitu “Ibnu Qudamah”.

      Jadi, jumlah fi’liyah dalam kalimat ini adalah “قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ”, yang artinya “Ibnu Qudamah berkata”.

      Balas
  • Apa perbedaan antara jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah dalam struktur kalimat?

    Balas
    • Perbedaan antara jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah terletak pada struktur awal kalimat dan fokusnya dalam bahasa Arab:

      Jumlah Fi’liyah (جملة فعلية):

      Dimulai dengan fi’il (kata kerja).
      Fokusnya adalah pada tindakan atau perbuatan.
      Contoh: ذهبَ الولدُ (Anak itu pergi). Di sini, “ذهب” (pergi) adalah kata kerja yang mendahului kata benda “الولد” (anak).
      Jumlah Ismiyah (جملة اسمية):

      Dimulai dengan ism (kata benda).
      Fokusnya adalah pada subjek atau keberadaan suatu hal.
      Contoh: الولدُ ذهبَ (Anak itu pergi). Di sini, “الولد” (anak) adalah kata benda yang mendahului kata kerja “ذهب” (pergi).
      Jadi, perbedaannya terletak pada urutan kata: jumlah fi’liyah dimulai dengan kata kerja, sementara jumlah ismiyah dimulai dengan kata benda.

      Balas
  • Sarmaito pohan

    Pada penjelasan dommah pada contoh jamak muannats salim kata kerja
    “ جَلَسَتْ ” Kenapa huruf ت nya di matikan?

    Balas
    • Pada kalimat seperti “جَلَسَتْ الطَّالِبَاتُ فِي الصَّفِّ” (para siswi duduk di kelas), huruf ت pada akhir kata kerja “جَلَسَتْ” menunjukkan bahwa kata kerja tersebut berhubungan dengan subjek yang merupakan kelompok perempuan jamak. Huruf ت dengan sukun menandakan bentuk fi’il madhi untuk subjek perempuan jamak.

      Penggunaan huruf ت dengan sukun pada fi’il madhi ini merupakan aturan tata bahasa Arab yang memudahkan identifikasi jenis subjek dan kesesuaian antara kata kerja dan subjek dalam kalimat.

      Balas
  • Fitri Yani

    Seperti yang tertera di atas pada bagian peran Jumlah fi’liyah dalam kalimat berfungsi untuk menyatakan tindakan atau peristiwa dengan jelas dan mengidentifikasi pelaku tindakan. Kadangkadang, jumlah fi’liyah juga menunjukkan apa yang menjadi objek tindakan tersebut.

    Coba saudari jelaskan di bagian text yang saudari paparkan kalimat mana yang menunjukkan peran jumlah fi’liyah pada kalimat text tersebut.

    Balas
    • Berikut adalah penjelasan tentang peran jumlah fi’liyah dalam kalimat:

      1. Jumlah Fi’liyah: Ini adalah kalimat yang dimulai dengan kata kerja (fi’il) dan terdiri dari subjek (fa’il) serta sering kali objek (maf’ul bih). Kalimat fi’liyah digunakan untuk menyatakan tindakan atau peristiwa yang terjadi.

      2. Fungsi Jumlah Fi’liyah:
      – Menyatakan Tindakan atau Peristiwa: Kalimat fi’liyah mengungkapkan tindakan atau peristiwa yang sedang berlangsung atau telah terjadi. Misalnya, dalam kalimat “ذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ” (Sebagian besar ahli ilmu pergi), kata kerja ذَهَبَ (pergi) menunjukkan tindakan yang dilakukan oleh subjek.
      – Mengidentifikasi Pelaku: Kalimat ini juga mengidentifikasi siapa yang melakukan tindakan tersebut. Dalam contoh “ذَهَبَ أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ,” أَكْثَرُ أَهْلِ الْعِلْمِ (sebagian besar ahli ilmu) adalah pelaku dari tindakan ذَهَبَ (pergi).

      3. Menunjukkan Objek Tindakan: Kadang-kadang, jumlah fi’liyah juga menyebutkan apa atau siapa yang menjadi objek dari tindakan tersebut, meskipun dalam contoh yang diberikan objek tidak disebutkan secara eksplisit. Biasanya, objek muncul setelah kata kerja. Misalnya, dalam kalimat “كَتَبَ محمدٌ رسالةً” (Muhammad menulis surat), رسالةً (surat) adalah objek dari tindakan كَتَبَ (menulis).

      Secara keseluruhan, jumlah fi’liyah berfokus pada tindakan, pelaku, dan kadang-kadang objek dari tindakan tersebut, memberikan informasi yang lengkap tentang peristiwa atau aksi yang terjadi.

      Balas
  • Riska Cahyani

    Izin bertanya kepada saudari, Bagaimana hukuman yg diberikan kepada seseorang yang sengaja membunuh tetapi keluarga korban memaafkan pelaku?

    Balas
    • Jika keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan, pelaku tidak akan dihukum mati. Pelaku hanya perlu membayar diyat (ganti rugi). Kemaafan keluarga korban adalah hak mereka dan dapat menggantikan hukuman qisas.

      Balas
  • Maya harahap

    Coba pemakalah jelaskan bisakah jumlah fi’liyah menggunakan kata ganti sebagai fail , berikan contohnya?

    Balas
    • Jumlah fi’liyah dalam bahasa Arab bisa menggunakan kata ganti sebagai fa’il. Berikut penjelasan dan contohnya:

      1. Dhamir orang pertama tunggal:
      – Kalimat: أَكْتُبُ (Saya menulis)
      – Penjelasan: Dalam kalimat ini, dhamir “أ” (saya) berfungsi sebagai fa’il, yang menunjukkan bahwa subjek yang melakukan tindakan menulis adalah orang pertama tunggal.

      2. Dhamir orang ketiga tunggal laki-laki:
      – Kalimat: يَقْرَأُ (Dia (laki-laki) membaca)
      – Penjelasan: Di sini, dhamir “ي” (dia, laki-laki) berfungsi sebagai fa’il, menunjukkan bahwa subjek yang melakukan tindakan membaca adalah orang ketiga tunggal laki-laki.

      3. Dhamir orang kedua jamak:
      – Kalimat: تَكْتُبُونَ (Kalian menulis)
      – Penjelasan: Dalam kalimat ini, dhamir “ت” (kalian) berfungsi sebagai fa’il, menunjukkan bahwa subjek yang melakukan tindakan menulis adalah orang kedua jamak.

      4. Dhamir orang ketiga jamak perempuan:
      – Kalimat: يَقْرَأْنَ(Mereka (perempuan) membaca)
      – Penjelasan: Di sini, dhamir “ن” (mereka, perempuan) berfungsi sebagai fa’il, menunjukkan bahwa subjek yang melakukan tindakan membaca adalah orang ketiga jamak perempuan.

      Dalam semua contoh ini, dhamir digunakan sebagai fa’il dalam kalimat fi’liyah untuk menunjukkan siapa yang melakukan tindakan.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk