Adab & HumanioraMust Read

Bunuh Diri: Wabah yang ‘Menular’ dan Cara Menyelamatkan Nyawa

TATSQIF ONLINE Dr. Sandersan Onie dari University of New South Wales mengungkapkan bahwa bunuh diri dapat menular, fenomena ini memiliki sebutan suicide contagion. Orang yang berisiko adalah mereka yang terpapar berita bunuh diri atau dekat dengan pelaku bunuh diri.

Dia menekankan bahwa bunuh diri adalah masalah serius dan memerlukan perhatian khusus. Untuk mengatasi masalah ini, Dr. Sandersan merekomendasikan pembuatan rencana keamanan bagi mereka yang mengalami krisis atau depresi.

Melansir dari detik.com, Benny Prawira, pendiri Into The Light Indonesia, menjelaskan bahwa “penularan” bunuh diri lebih merupakan peniruan daripada wabah penyakit menular. Peniruan ini terjadi ketika media meliput kasus bunuh diri, terutama pada tokoh terkenal, dengan detail yang berlebihan.

Ia menekankan bahwa penyebab bunuh diri sangat kompleks. Pemberitaan yang menyederhanakannya dapat mendorong orang dengan masalah serupa untuk meniru tindakan tersebut.

Studi di jurnal Society and Mental Health menunjukkan bahwa pemberitaan tentang bunuh diri dapat memicu peniruan. Namun, penulisan yang edukatif justru dapat membantu mencegah kejadian serupa.

BACA JUGA: Kasus Bunuh Diri Naik: Simak 3 Langkah Pencegahan dalam Islam

Menurut Kartono dalam Psikologi Sosial untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, bunuh diri adalah tindakan sengaja untuk mengakhiri nyawa sendiri. Biasanya dilakukan oleh individu yang menghadapi tekanan fisik atau psikis.

Faktor-faktor yang mendorong keputusan ekstrem ini sangat kompleks seperti masalah ekonomi, konflik keluarga, tekanan hidup berat, gangguan mental, kesepian, dan hilangnya dukungan sosial. Faktor-faktor ini sering kali berinteraksi dan memperburuk kondisi seseorang.

World Health Organization mencatat sekitar satu juta orang bunuh diri setiap tahunnya, belum termasuk percobaan yang gagal. Pria lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita, meskipun wanita cenderung mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi.

Kecenderungan bunuh diri terkait erat dengan gangguan mental, namun faktor lain juga mempengaruhi dan memerlukan perhatian lebih. Menurut studi Samaritans, sebuah organisasi yang bertujuan mengurangi angka bunuh diri, pria berusia paruh baya kini menjadi yang paling berisiko untuk bunuh diri, berbeda dengan tren sebelumnya di mana pemuda lebih berisiko.

Pria dewasa dan paruh baya, terutama dari kelas sosial-ekonomi rendah, menghadapi risiko tinggi akibat perasaan terperangkap antara dua generasi berbeda. Mereka merasa terjebak antara budaya tradisional yang maskulin dan generasi yang lebih progresif, sehingga mengalami kebingungan dan ketidakpastian mengenai arah hidup mereka.

Emile Durkheim, ahli sosiologi terkemuka, membagi fenomena bunuh diri ke dalam tiga tipologi utama. Pertama, bunuh diri egoistik terjadi ketika individu merasa terlepas dari ikatan sosialnya, seperti keluarga, agama, atau komunitas. Durkheim mengamati bahwa ketika ikatan sosial melemah, individu cenderung merasa terasing dan lebih rentan terhadap bunuh diri. Data statistik mendukung temuan ini, menunjukkan bahwa angka bunuh diri meningkat dalam kondisi di mana dukungan sosial berkurang.

Kedua, bunuh diri altruistik muncul dari ikatan sosial yang sangat kuat, di mana individu merasa terdorong untuk mengorbankan diri demi nilai-nilai komunitas atau agama. Dalam masyarakat dengan kohesi sosial yang tinggi, seperti dalam beberapa komunitas tradisional atau agama, bunuh diri bisa dianggap sebagai kewajiban. Durkheim memberikan contoh seperti praktik sati di India, di mana istri diharuskan bunuh diri setelah kematian suami sebagai bagian dari tradisi agama.

Ketiga, bunuh diri anomik terjadi akibat gangguan dalam sistem sosial atau ekonomi, seperti krisis ekonomi atau perubahan sosial besar. Ketidakpastian hidup dan kesulitan memenuhi kebutuhan dasar selama periode-periode tersebut dapat meningkatkan risiko bunuh diri. Durkheim juga mencatat bahwa dalam beberapa kasus, tindakan bunuh diri dapat mencerminkan lebih dari satu tipe, menggambarkan kompleksitas dinamika sosial yang mempengaruhi perilaku bunuh diri.

BACA JUGA: Simak 3 Cara Ampuh Meraih Kelapangan Hati Berdasarkan Alquran

Untuk mencegah bunuh diri, keluarga dan dukungan sosial memainkan peran yang sangat penting. Keluarga harus aktif dalam mengidentifikasi dan menangani faktor-faktor risiko seperti masalah ekonomi, konflik keluarga, dan gangguan mental.

Setiap orang juga perlu berusaha mengatasi masalah mereka sendiri dan mencari bantuan dari konselor jika diperlukan. Jika dukungan keluarga tidak mencukupi, mereka harus segera mendapatkan bantuan profesional, karena kesehatan mental sangat mempengaruhi kesejahteraan psikologis.

Konselor dan staf sekolah juga berperan penting dalam memberikan dukungan bagi siswa yang mengalami masalah kejiwaan. Mereka harus melakukan intervensi yang tepat dan efektif untuk membantu siswa, termasuk memantau dan menilai risiko bunuh diri secara cermat.

Kerjasama dengan ahli kesehatan mental sangat penting untuk memastikan siswa mendapatkan perawatan yang sesuai dan berkelanjutan. Sekolah perlu membentuk tim penanganan krisis untuk menangani situasi darurat dan memberikan dukungan bagi yang memerlukan.

Dinas Pendidikan dapat bekerja sama dengan ahli kesehatan jiwa dan organisasi pemuda untuk membuat situs web dan akun media sosial khusus. Ini akan memudahkan siswa dalam mengakses informasi dan mendapatkan dukungan kesehatan mental.

Pelatihan dan program edukasi online sangat penting untuk meningkatkan pemahaman tentang bunuh diri dan kesehatan mental. Program ini membantu siswa mengenali tanda-tanda masalah dan mendorong mereka untuk mencari bantuan, serta memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah untuk mengidentifikasi gejala depresi dan risiko bunuh diri.

Edu Counseling menyatakan bahwa pencegahan bunuh diri adalah kewajiban kemanusiaan karena setiap nyawa berharga dan memiliki potensi. Dukungan yang tepat saat seseorang menghadapi krisis emosional, dapat menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian dan ada harapan untuk masa depan.

Pencegahan bunuh diri juga berkontribusi pada kesehatan mental yang lebih baik dengan mengatasi masalah seperti depresi dan kecemasan, serta mengurangi stigma seputar gangguan psikologis. Upaya pencegahan bunuh diri tidak hanya menyelamatkan nyawa tetapi juga mengurangi dampak emosional pada keluarga dan teman.

Bunuh diri meninggalkan rasa bersalah dan kehilangan yang mendalam, sehingga meningkatkan kesadaran tentang tanda-tanda bahaya dan respon yang tepat adalah kunci. Mencegah bunuh diri memerlukan kerjasama antara individu, keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat, termasuk pendidikan kesehatan mental dan akses ke layanan yang berkualitas.

Dengan memperkuat strategi pencegahan, menyediakan dukungan emosional, dan mengurangi stigma, kita dapat membuat perbedaan signifikan dalam hidup orang-orang yang berisiko. Komitmen untuk mendukung kesehatan mental dan menghapus stigma akan membantu menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi setiap individu. Wallahu A’lam

Author: Sri Hartati Pasaribu (Mahasiswa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)
Editor: Sylvia Kurnia Ritonga (Founder tatsqif.com)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk