Fiqh & Ushul Fiqh

Hukum Syara’: Pedoman Ibadah, Muamalah, dan Adab Muslim

TATSQIF ONLINE Allah Subhanahu wa ta’ala menetapkan hukum syara’ sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Para Nabi kemudian menyampaikan aturan-aturan tersebut kepada umat.

Hukum syara’ membimbing umat Muslim dalam tindakan sehari-hari, termasuk ibadah, muamalah, dan adab. Ulama ushul fiqh dan fuqaha memiliki pandangan yang berbeda terkait definisi hukum ini.

Ulama ushul fiqh mendefinisikan hukum syara’ sebagai khitab (titah) Syari’‘ yang berkaitan dengan perbuatan mukalaf. Hukum ini meliputi tuntutan Allah terhadap perbuatan umat, baik dalam bentuk perintah, larangan, anjuran, atau kebolehan.

Allah mengatur berbagai aspek kehidupan umat secara ketat melalui hukum syara’. Rasulullah yang menyampaikan aturan-aturan ini kepada umat sebagai pedoman hidup.

Menurut ulama fiqh, hukum syara’ mengacu pada dampak yang dikehendaki oleh khitab Syari’ terhadap perbuatan manusia, seperti wajib, haram, dan mubah. Mereka menekankan pentingnya penerapan hukum tersebut dalam tindakan sehari-hari.

Fokus utama ulama fiqh adalah bagaimana hukum syara’ mempengaruhi perilaku umat Muslim. Dalam pandangan mereka, hukum syara’ memiliki konsekuensi langsung yang harus dipatuhi dalam kehidupan nyata.

Menukil dari buku Ushul Fikih oleh Zen Amiruddin, hukum syara’ terbagi ke dalam dua kategori utama, yaitu Hukum Taklifi dan Hukum Wadh’i. Masing-masing memiliki karakteristik dan contoh penerapan yang berbeda dalam mengatur kehidupan manusia.

Kategori hukum ini berkaitan langsung dengan perbuatan manusia, dimana Allah SWT memberikan perintah, larangan, atau kebolehan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Hukum ini terbagi lagi menjadi beberapa kategori, yaitu:

a. Wajib (Ijab)

Wajib adalah perintah Syari’ yang harus terlaksana. Jika seseorang meninggalkannya, ia akan menerima sanksi dari Allah SWT. Contoh kewajiban dalam Islam adalah menunaikan shalat lima waktu dan membayar zakat. Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nur ayat 56:

وَاَﻗِﯿْﻤُﻮا اﻟﺼﱠﻠَﻮة َ وَآﺗُﻮا اﻟﺰﱠﻛَﻮةَ

Artinya: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.”

b. Sunnah (Nadb)

Sunnah menganjurkan perbuatan tertentu tanpa mewajibkan pelaksanaannya. Orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala, namun jika tidak melakukannya, tidak mendapatkan dosa maupun sanksi. Contohnya adalah mengerjakan shalat sunnah setelah shalat wajib.

c. Haram (Tahrim)

Allah SWT menetapkan larangan mutlak terhadap perbuatan haram. Orang yang melakukannya akan mendapat dosa dan sanksi. Contohnya adalah larangan membunuh tanpa hak, seperti yang tertuang dalam Alquran Surah Al-An’am ayat151:

وَﻻ َ ﺗَﻘْﺘُﻠُﻮا اﻟﻨﱠﻔْﺲ َ اﻟﱠﺘِﻲ ﺣَﺮﱠم َ ﷲ ﱠ

Artinya: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah.”

d. Makruh (Karahah)

Makruh menganjurkan meninggalkan perbuatan tertentu tanpa mengharamkan pelaksanaannya. Nabi Muhammad SAW menyebutkan talak sebagai contoh perbuatan makruh dalam hadisnya:

أَبْغَضُ اْﻟﺤَﻼَل ِ ﻋِﻨْﺪَﷲ ﱠ ِ اﻟﻄﱠﻼَق

Artinya: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak,” (HR Abu Daud).

e. Mubah (Ibahah)

Mubah adalah jenis hukum syara’ yang memberikan kebebasan untuk memilih antara melaksanakan atau tidak melaksanakan suatu tindakan. Tidak ada pahala atau dosa bagi orang yang melakukannya atau meninggalkannya.

Contoh dari hukum mubah adalah makan dan minum, sebagaimana yang tercantum dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 2:

وَاِذَا ﺣَﻠَﻠْﺘُﻢ ْ ﻓَﺎﺻْﻄَﺎدُوْا

Artinya: “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.”

Hukum Wadh’i adalah hukum yang menetapkan suatu perbuatan atau kejadian sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari terjadinya suatu hukum taklifi. Pembagian Hukum Wadh’i meliputi:

a. Sebab (Asbab)

Sebab adalah suatu kondisi yang menyebabkan terjadinya suatu hukum. Misalnya, waktu tergelincir matahari merupakan sebab bagi kewajiban melaksanakan shalat Zuhur. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Isra’ ayat 78:

اَقِمِ الصَّلٰوةَ لِدُلُوْكِ الشَّمْسِ

Artinya: “Dirikanlah shalat ketika matahari tergelincir.”

b. Syarat (Asy-Syart)

Syarat adalah kondisi yang harus ada sebelum suatu hukum dapat berlaku. Contohnya, berwudhu adalah syarat sahnya shalat. Tanpa wudhu, shalat seseorang tidak akan sah.

c. Penghalang (Al-Mani’)

Penghalang adalah kondisi yang menghalangi berlakunya suatu hukum. Contohnya, haid adalah penghalang bagi wanita untuk melaksanakan shalat dan puasa.

Hukum syara’ tidak hanya menjadi tuntunan teoritis, tetapi juga memiliki aplikasi praktis dalam kehidupan sehari-hari seorang Muslim. Hukum ini mengatur setiap aspek kehidupan umat Islam, mulai dari ibadah hingga hubungan sosial.

Berikut beberapa contoh penerapan hukum syara’ dalam kehidupan sehari-hari:

1. Ibadah: Salah satu contoh paling nyata dari penerapan hukum syara’ adalah dalam pelaksanaan ibadah. Umat Muslim wajib melaksanakan shalat lima waktu, berdasarkan hukum syara’. Begitu pula dengan puasa di bulan Ramadan, yang hukumnya adalah wajib bagi setiap mukallaf.

2. Muamalah: Dalam kehidupan sosial dan ekonomi, hukum syara’ juga menjadi pedoman. Misalnya, akad dalam jual beli harus memenuhi syarat-syarat tertentu agar sah menurut syariat. Menepati janji juga merupakan tuntutan syara’, seperti yang tertuang dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 1:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ

    Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”

    3. Hubungan Sosial: Dalam interaksi sosial, hukum syara’ menekankan pentingnya menjaga adab dan menghindari perbuatan yang merusak hubungan antar sesama. Salah satu larangan yang jelas adalah mengolok-olok orang lain, seperti yang termaktub dalam Alquran Surah Al-Hujurat ayat 11 berikut ini:

      يَأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ

      Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain.”

      Syariat, dalam arti luas, mencakup segala aturan yang diwahyukan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia dengan Allah, dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta. Menurut Prof. Mahmud Syatout, “Syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepada-Nya dalam hubungan dengan Tuhan, saudara sesama Muslim, saudara sesama manusia, serta hubungannya dengan seluruh alam dan kehidupan.”

      Setiap Muslim diharapkan untuk tidak hanya memahami hukum syara’, tetapi juga mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, seorang Muslim juga berkewajiban untuk menyampaikan ilmu ini kepada sesama, baik melalui dakwah langsung, pembentukan kelompok pengajian, maupun melalui cara-cara lainnya. Berdakwah dan menyebarkan ilmu hukum syara’ bukan hanya mendatangkan pahala, tetapi juga menjadi sarana bertukar pikiran dan memperkuat iman dalam komunitas Muslim.

      Hukum Syara’ membimbing kehidupan seorang Muslim sebagai pilar utama. Hukum taklifi dan hukum wadh’i memastikan setiap perbuatan manusia selaras dengan tuntunan Allah. Pemahaman yang baik tentang hukum ini tidak hanya penting untuk menjalankan ibadah dengan benar, tetapi juga untuk membangun hubungan sosial yang harmonis sesuai dengan ajaran Islam. Dengan mengamalkan hukum syara’, umat Muslim dapat mencapai keselarasan hidup di dunia dan akhirat, sesuai dengan aturan hukum yang telah Allah gariskan. Wallahua’lam.

      Nur Jannah, Nur dzakiyyah Putri Hasbi, Fatimah Yani (Mahasiswa PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

      Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

      Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

      36 komentar pada “Hukum Syara’: Pedoman Ibadah, Muamalah, dan Adab Muslim

      • Annisa Addini Tanjung

        Dari mana asal muasal hukum syara’, taklifi dan wadhi’ itu muncul?

        Balas
        • Hukum syara’ berasal dari wahyu Allah SWT yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan Hadis, dan terbagi menjadi:

          1. Hukum Taklifi: Perintah atau larangan yang mengatur tanggung jawab manusia, seperti wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

          2. Hukum Wadhi’: Ketentuan yang menjelaskan sebab, syarat, atau penghalang pelaksanaan hukum taklifi, seperti syarat sahnya shalat atau waktu shalat.

          Kedua hukum ini berfungsi mengatur dan menjelaskan kapan dan bagaimana suatu perbuatan dinilai dalam Islam.

          Balas
      • Lely suriyani siregar

        Mungkinkah manusia lepas dari keterikatan hukum syara’? Jika ada berikanlah contohnya?

        Balas
        • Manusia tidak mungkin sepenuhnya lepas dari keterikatan hukum syara’, karena hukum syara’ mengatur seluruh aspek kehidupan manusia dari lahir hingga mati. Setiap perbuatan manusia, baik yang berhubungan dengan ibadah maupun muamalah, berada di bawah hukum syara’.

          Namun, ada situasi tertentu di mana seseorang tidak dibebani atau tidak terkena hukum taklifi, misalnya:

          1. Anak kecil: Anak yang belum baligh tidak terkena kewajiban seperti shalat dan puasa karena belum memenuhi syarat kewajiban (baligh).

          2. Orang yang hilang akal (gila): Orang yang tidak waras atau kehilangan akal tidak terikat oleh hukum syara’ karena syarat utama taklifi adalah akal yang sehat.

          3. Orang yang sedang dalam kondisi darurat: Dalam situasi darurat, beberapa hukum syara’ bisa menjadi ringan atau bahkan gugur, seperti diperbolehkannya makan makanan haram untuk menyelamatkan nyawa.

          Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa meski hukum syara’ selalu berlaku, ada kondisi tertentu yang membuat seseorang tidak dibebani sepenuhnya oleh hukum tersebut.

          Balas
      • Awaliyah Putri Panjaitan

        apa saja syarat syarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan hukum taklifi ?

        Balas
        • Syarat-syarat yang menyebabkan seseorang wajib melaksanakan hukum taklifi meliputi beberapa aspek berikut:

          1. Islam: Hukum taklifi hanya berlaku bagi orang yang beragama Islam. Orang yang belum memeluk Islam tidak terkena kewajiban ini.

          2. Berakal: Seseorang harus memiliki akal sehat. Orang yang tidak berakal, seperti orang gila atau orang yang hilang kesadaran, tidak diwajibkan melaksanakan hukum taklifi.

          3. Baligh: Hukum taklifi mulai berlaku ketika seseorang telah mencapai usia baligh, yaitu tanda kedewasaan secara fisik dan mental, seperti haid atau mimpi basah.

          4. Mampu: Seseorang hanya diwajibkan melaksanakan hukum taklifi jika memiliki kemampuan. Misalnya, orang yang sakit tidak diwajibkan berpuasa jika itu akan membahayakan kesehatannya.

          5. Terdapat dalil: Kewajiban hukum taklifi harus didasarkan pada dalil yang jelas dari Al-Qur’an atau Hadis yang mewajibkan perbuatan tersebut.

          Jika kelima syarat ini terpenuhi, maka seseorang wajib melaksanakan hukum taklifi sesuai ketetapan syariat.

          Balas
      • Ilman Sarif Hasibuan

        Mengapa para ulama membagi hukum syara’ menjadi hukum taklifi dan wadh’i, dan bagaimana kedua konsep ini saling berkaitan dalam kehidupan sehari-hari?

        Balas
        • Para ulama membagi hukum syara’ menjadi hukum taklifi dan wadh’i untuk memudahkan pemahaman dan penerapan syariat. Hukum taklifi mengatur kewajiban dan larangan, sedangkan hukum wadh’i menjelaskan sebab, syarat, atau penghalang bagi berlakunya hukum taklifi. Keduanya saling berkaitan, di mana hukum wadh’i menentukan kapan dan bagaimana hukum taklifi diterapkan, seperti waktu shalat (sebab) yang membuat shalat wajib, atau sakit (penghalang) yang membolehkan seseorang tidak berpuasa. Pembagian ini membantu dalam memahami hukum syara’ secara sistematis dalam kehidupan sehari-hari.

          Balas
      • Artika Sari MTD

        Bagaimana kedudukan hadits dalam menetapkan hukum Syara’?

        Balas
      • Ismail Marzuki

        Bagaimana Hukum Syara’ mengatur interaksi sosial (muamalah) dalam kehidupan sehari-hari?

        Balas
        • Kedudukan hadits dalam menetapkan hukum syara’ sangat penting karena hadits merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an. Berikut adalah beberapa kedudukan hadits dalam menetapkan hukum syara’:

          1. Sebagai penjelas Al-Qur’an: Hadits berfungsi untuk menjelaskan dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Misalnya, perintah shalat dalam Al-Qur’an dijelaskan oleh hadits mengenai tata cara dan waktunya.

          2. Sebagai penguat hukum yang ada dalam Al-Qur’an: Hadits menguatkan hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, sehingga tidak ada keraguan dalam pelaksanaannya. Misalnya, larangan riba yang disebut dalam Al-Qur’an ditegaskan kembali dalam hadits.

          3. Sebagai pembuat hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an: Terdapat beberapa hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, tetapi dijelaskan melalui hadits. Contohnya adalah larangan memakan hewan buas bertaring atau burung bercakar.

          4. Sebagai pembatas makna umum Al-Qur’an: Terkadang, hadits membatasi makna dari ayat-ayat Al-Qur’an yang bersifat umum. Misalnya, perintah bersedekah di jalan Allah bisa dibatasi oleh hadits yang menjelaskan tata cara dan tujuan spesifiknya.

          5. Sebagai sumber hukum tersendiri: Hadits juga bisa menjadi sumber hukum tersendiri apabila tidak ada penjelasan dalam Al-Qur’an mengenai suatu masalah, seperti dalam permasalahan beberapa aspek muamalah dan adab.

          Dengan demikian, kedudukan hadits sangat vital dalam menjelaskan, menguatkan, dan menetapkan hukum syara’ dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

          Balas
      • Dewi sartika

        Mengapa Hukum syara sangat penting dalam kehidupan kita??coba jelaskan menurut pendapat kalian

        Balas
        • Hukum syara’ penting karena menjadi panduan hidup yang komprehensif bagi umat Muslim, mengatur hubungan dengan Allah dan sesama, membentuk akhlak yang baik, menciptakan keadilan sosial, melindungi dari dosa, serta mengantarkan kepada kebahagiaan di dunia dan akhirat.

          Balas
      • Tiara hennisa dasopang

        Apa sebab hukum pernikahan berubah menjadi haram?

        Balas
        • Hukum pernikahan dapat berubah menjadi haram jika terdapat kondisi tertentu yang melanggar syariat Islam. Sebab-sebabnya antara lain menikahi mahram, yaitu orang yang haram dinikahi secara permanen seperti saudara kandung, ibu, atau anak. Selain itu, pernikahan juga haram jika dilakukan dengan wanita yang masih dalam masa iddah, yakni masa tunggu setelah bercerai atau ditinggal wafat suaminya. Tujuan pernikahan yang buruk, seperti menyakiti pasangan atau memanfaatkannya untuk tujuan yang tidak baik, juga menjadikannya haram. Pernikahan tanpa memenuhi syarat-syarat sah, seperti tidak adanya wali, saksi, atau ijab kabul yang sah, dianggap tidak sah dan haram. Terakhir, menikahi wanita non-Muslim yang bukan ahli kitab juga membuat pernikahan tersebut haram.

          Balas
      • Nurul Hilmi

        Apa yang dimaksud dengan hukum wadh’i dan bagaimana perbedaannya dengan hukum taklifi dalam syariat Islam?

        Balas
        • Hukum Wadh’i adalah jenis hukum dalam syariat Islam yang menetapkan suatu kondisi, peristiwa, atau tindakan sebagai sebab, syarat, atau penghalang dari terjadinya hukum taklifi. Hukum wadh’i tidak langsung memerintahkan atau melarang suatu perbuatan, melainkan berfungsi sebagai penetapan aturan yang mempengaruhi berlakunya hukum taklifi. Contohnya, waktu shalat merupakan sebab (wadh’i) yang menjadikan shalat wajib (taklifi) bagi seorang Muslim.

          Perbedaan utamanya dengan hukum taklifi adalah pada sifatnya. Hukum taklifi berkaitan langsung dengan perintah, larangan, atau kebolehan melakukan suatu perbuatan. Misalnya, shalat adalah wajib, mencuri adalah haram, dan makan adalah mubah. Sementara itu, hukum wadh’i lebih terkait dengan kondisi yang mendasari suatu hukum taklifi, seperti sebab, syarat, atau penghalang. Misalnya, masuknya waktu maghrib adalah syarat wajibnya shalat maghrib, dan haid menjadi penghalang bagi kewajiban shalat bagi wanita.

          Balas
      • Sufina sir

        Apa perbedaan hukum taklifi dengan hukum wadhi?

        Balas
      • zakiah dewi siregar

        apa saja sumber utama ketetapan hukum syara’ dalam fiqih

        Balas
      • Nurhidayah

        Bagaimana hubungan hukum taklifi dan hukum wadh’i dan berikan contohnya?

        Balas
        • Hukum taklifi dan hukum wadh’i memiliki hubungan yang erat dalam syariat Islam, di mana hukum wadh’i berfungsi sebagai kondisi atau aturan yang mengatur bagaimana hukum taklifi berlaku. Hukum taklifi adalah perintah, larangan, atau kebolehan langsung yang berkaitan dengan tindakan seorang mukallaf (orang yang sudah dikenai kewajiban syariat), sedangkan hukum wadh’i menetapkan syarat, sebab, atau penghalang bagi berlakunya hukum taklifi tersebut.

          Contohnya:

          1. Sebab (Asbab): Waktu tergelincir matahari merupakan sebab (hukum wadh’i) yang menyebabkan kewajiban (hukum taklifi) untuk melaksanakan shalat Zuhur.

          2. Syarat (Asy-Syart): Berwudhu merupakan syarat (hukum wadh’i) untuk sahnya shalat. Tanpa wudhu, kewajiban shalat (hukum taklifi) tidak dapat dipenuhi dengan benar.

          3. Penghalang (Al-Mani’): Haid adalah penghalang (hukum wadh’i) bagi seorang wanita untuk melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa (hukum taklifi).

          Jadi, hukum wadh’i menetapkan kapan atau dalam kondisi apa hukum taklifi bisa diterapkan atau tidak.

          Balas
      • Hamida

        Coba jelaskan bagaimana asal muasal hukum Syara’

        Balas
      • Atika Lestari Rambe

        Apa contoh dari mubah?

        Balas
        • Contoh dari hukum mubah dalam syariat Islam adalah aktivitas yang diperbolehkan dan tidak mendapatkan pahala atau dosa, tergantung pada niat dan konteksnya. Salah satu contohnya adalah makan dan minum. Dalam Al-Qur’an, misalnya, terdapat ayat yang menyebutkan tentang makan dan minum setelah selesai melaksanakan ibadah haji:

          “Apabila kamu telah selesai melaksanakan ibadah haji, maka bolehlah kamu berburu.” (QS. Al-Maidah: 2).

          Contoh lainnya termasuk memilih tempat tinggal, memilih pakaian, dan menonton hiburan yang tidak melanggar syariat. Semua ini tergolong mubah karena tidak ada perintah atau larangan spesifik terkait aktivitas tersebut dalam syariat.

          Balas
      • Salsa aisyah pulungan

        Apa saja syarat² seorang muslim melaksanakan hukum wad’i

        Balas
      • Padilah siregar

        Di materi ada hukum pengehalang seseorang untuk melakukan ibadah contohnya haid, jika seseorang haid ketika jam2 tetapi dia blm melaksanakan solat, apakah dia wajib mengqodo solatnya tersebut??

        Balas
      • Fatimah

        Siapakah al hakim dalam hukum Syara’

        Balas
      • Imam Alwie Siregar

        Bagaimana caranya agar kita selalu memicu diri kita untuk bersosial dengan sesama, tetapi sesuai dengan hukum syara’ ?, karena ada sebagian orang yang dia bersosial tetapi tidak melakukannya sesuai huku syara’ seperti pergi pergi bermain dengan temannya tetapi tidak melaksanakan ibadah seperti salat.

        Balas
        • Untuk memastikan kita selalu bersosialisasi dengan orang lain namun tetap sesuai dengan hukum syara’, ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Fokusnya adalah menjaga keseimbangan antara hubungan dengan sesama manusia dan hubungan dengan Allah. Berikut beberapa tips:

          1. Niatkan setiap aktivitas sebagai ibadah
          Setiap kegiatan, termasuk bersosialisasi, harus diniatkan untuk kebaikan dan ibadah kepada Allah. Dengan niat yang benar, pertemuan dan kegiatan sosial bisa bernilai ibadah.

          2. Prioritaskan ibadah dan kewajiban
          Jangan biarkan aktivitas sosial mengganggu ibadah seperti salat. Pastikan ada waktu untuk beristirahat sejenak untuk melaksanakan ibadah.

          3. Pilih lingkungan sosial yang mendukung ketaatan
          Bersosialisasilah dengan orang-orang yang menghargai ibadah dan ketaatan. Teman yang baik mendukung kita tetap taat kepada Allah.

          4. Batasi aktivitas yang melalaikan dari ibadah
          Hindari kegiatan sosial yang berlebihan dan tidak bermanfaat, karena bisa melalaikan kewajiban ibadah.

          5. Bersosialisasi dengan tujuan positif
          Pastikan kegiatan sosial memiliki tujuan positif, seperti menambah ilmu, mendukung kebaikan, atau membantu sesama.

          6. Jaga akhlak dan adab dalam bersosialisasi
          Selalu jaga adab, seperti berbicara sopan dan menghormati orang lain, sesuai syariat Islam.

          7. Ingatkan diri akan tujuan akhir
          Bersosialisasi adalah bagian dari hidup, tapi jangan sampai melalaikan kewajiban sebagai hamba Allah.

          8. Berpartisipasi dalam kegiatan sosial Islami
          Ikutlah dalam kegiatan yang bersifat Islami, seperti pengajian, diskusi keislaman, atau kegiatan amal.

          Dengan menjaga keseimbangan antara bersosialisasi dan tetap melaksanakan ibadah, kita bisa menjalani kehidupan sosial yang sesuai dengan hukum syara’.

          Balas
      • Padilah rahmi

        Apa sumber utama ketetapan hukum syara dalam fikih?

        Balas
      • JUNA MARTA SARI PANGGABEAN

        apakah hukum syara’hanya dapat membimbing kehidupan seorang muslim dan apa boleh hukum syara’membimbing kehidupan yang bukan muslim

        Balas
        • Hukum syara’ secara khusus ditujukan untuk membimbing kehidupan umat Muslim karena ia berasal dari ajaran Islam dan mengatur hubungan manusia dengan Allah, sesama manusia, serta lingkungan sesuai dengan keyakinan dan prinsip Islam. Hukum syara’ mengatur aspek-aspek seperti ibadah, muamalah (transaksi sosial dan ekonomi), serta adab (tata krama), yang didasarkan pada keimanan kepada Allah dan penerimaan terhadap ajaran Rasulullah.

          Namun, dalam konteks sosial atau negara, hukum syara’ bisa mempengaruhi non-Muslim jika diterapkan dalam sistem hukum negara yang berdasarkan syariat Islam. Di negara-negara yang menerapkan hukum Islam sebagai dasar konstitusi atau sistem hukum, beberapa aturan bisa berlaku secara umum, seperti aturan muamalah (jual beli, kontrak, dll.) atau hukum pidana, terlepas dari agama seseorang. Meski begitu, sebagian besar hukum syara’ terkait ibadah dan aturan khusus umat Muslim tidak diberlakukan bagi non-Muslim, yang umumnya diberikan kebebasan untuk mengikuti aturan agama mereka masing-masing.

          Jadi, hukum syara’ secara prinsip berlaku untuk umat Muslim, tetapi dalam konteks masyarakat atau negara yang menerapkan syariat Islam, beberapa hukum dapat memengaruhi orang non-Muslim.

          Balas

      Tinggalkan Balasan

      Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

      × Chat Kami Yuk