Simak Pengantar Fiqh Jinayah: Definisi, Hukum, dan Klasifikasi
TATSQIF ONLINE – Hukum pidana Islam (fiqh jinayah), merupakan bagian dari syariat Islam yang mengatur tentang tindak pidana dan sanksinya. Hukum ini berlandaskan pada Al-Qur’an, Sunnah, serta ijtihad para ulama, dengan tujuan utama menegakkan keadilan, melindungi hak individu, dan menjaga ketertiban sosial.
Hukum pidana Islam mencakup berbagai kategori tindak pidana, termasuk hudud (pelanggaran yang ditetapkan sanksinya oleh Allah), qisas (pembalasan setimpal), dan ta’zir (sanksi yang ditentukan hakim). Sistem ini bertujuan tidak hanya untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga mencegah kejahatan dengan menegakkan moralitas dan melindungi masyarakat.
Untuk mendalami fiqh jinayah, kita akan menelaah karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Karya ini merupakan bahan ajar perkuliahan Qiraatul Kutub pada Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).
Teks Asli dalam Buku:
جناية
التّعريف: الجناية في اللّغة الذنب والجرم، وهي في الأصل مصدر “جنى”، ثم أريد به اسم المفعول. قال الجرجانيّ: الجناية كل فعل محظور يتضمن ضرراً على النفس أو غيرها. وقال الحصكفي الجناية شرعاً اسم لفعل محرّم حلّ بمال أو نفس. إلا أن الفقهاء خصوا لفظ الجناية بما حلّ بالنفس والأطراف، والغصب والسرقة بما حلّ بالمال
الحكم التكليفي: كل عدوان على النفس أو البدن أو المال محرّم شرعاً
الحكم الوضعي: يختلف حكم الجناية بحسب نوعها، فقد يكون قصاصاً، أو دية، أو أرشاً، أو حكومة عدل، أو ضماناً حسب الأحوال، وقد يترتب على ارتكاب بعض أنواع الجناية الكفارة أو الحرمان من الميراث
أقسام الجناية: قسّم الفقهاء الجناية إلى ثلاثة أقسام: الجناية على النفس وهي القتل، الجناية على ما دون النفس وهي الإصابة التي لا تزهق الروح، والجناية على ما هو نفس من وجه دون وجه كالجناية على الجنين
Teks dengan Tambahan Harakat
جِنَايَةٌ
التّعْرِيفُ: الْجِنَايَةُ فِي اللّغَةِ الذّنْبُ وَالْجُرْمُ، وَهُوَ فِي الْأَصْلِ مَصْدَرُ جَنَى، ثُمّ أُرِيدَ بِهِ اسْمُ الْمَفْعُولِ. قَالَ الْجُرْجَانِيّ: الْجِنَايَةُ كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ يَتَضَمّنُ ضَرَرًا عَلَى النّفْسِ أَوْ غَيْرِهَا. وَقَالَ الْحَصْكَفِيّ: الْجِنَايَةُ شَرْعًا اسْمٌ لِفِعْلِ مُحْرّمٍ حَلّ بِمَالٍ أَوْ نَفْسٍ. إِلَّا أَنّ الْفُقَهَاءَ خَصّوا لَفْظَ الْجِنَايَةِ بِمَا حَلّ بِنَفْسٍ وَأَطْرَافٍ، وَالْغَصْبُ وَالسّرِقَةُ بِمَا حَلّ بِمَالٍ
الْحُكْمُ التّكْلِيفِيّ: كُلّ عُدْوَانٍ عَلَى نَفْسٍ أَوْ بَدَنٍ أَوْ مَالٍ مُحَرّم شَرْعًا
الْحُكْمُ الْوَضْعِيّ: يَخْتَلِفُ حُكْمُ الْجِنَايَةِ بِحَسَبِهَا فَيَكُونُ قِصَاصًا، أَوْ دِيَةً، أَوْ أَرْشًا، أَوْ حُكُومَةَ عَدْلٍ، أَوْ ضَمَانًا عَلَى حَسَبِ الْأَحْوَالِ، وَقَدْ يَتَرَتّبُ عَلَى ارْتِكَابِ بَعْضِ أَنْوَاعِ الْجِنَايَةِ، الْكَفّارَةُ أَوْ الْحِرْمَانُ مِنْ الْمِيرَاثِ
أَقْسَامُ الْجِنَايَةِ: قَسّمَ الْفُقَهَاءُ الْجِنَايَةَ إِلَى ثَلَاثَةِ أَقْسَامٍ : الْجِنَايَةُ عَلَى النّفْسِ وَهِيَ الْقَتْلُ وَالْجِنَايَةُ عَلَى مَا دُونَ النّفْسِ، وَهِيَ الْإِصَابَةُ الَّتِي لَا تُزْهِقُ الرّوحَ, وَالْجِنَايَةُ عَلَى مَا هُوَ نَفْسٌ مِنْ وَجْهٍ دُونَ وَجْهٍ كَالْجِنَايَةِ عَلَى الْجَنِينِ
Terjemahan
Tindak Pidana
Definisi: Secara bahasa, jinayah adalah dosa dan pelanggaran, dan pada mulanya berasal dari kata jana, kemudian menjadi nama bagi objeknya: Al-Jurjani berkata: “Jinayah adalah setiap perbuatan yang terlarang, mengandung bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain.” Demikian pula Al-Haskafi menyatakan: “Jinayah adalah sebutan untuk tindakan terlarang yang menyebabkan kerugian uang atau nyawa.” Namun, para ahli hukum membatasi istilah jinayah pada apa yang berdampak pada jiwa dan anggota badan, dan pencurian dan perampokan pada apa yang berdampak pada harta.
Hukum Taklifi: Setiap tindakan penyerangan terhadap nyawa, tubuh, atau harta benda terlarang secara hukum
Hukum Wadh’i: Hukum jinayah bervariasi sesuai dengan jenisnya, sehingga bisa berupa qisas (pembalasan), diyat (tebusan), arsy (kompensasi), hukuman yang adil, atau jaminan, tergantung pada situasinya. Beberapa jenis jinayah dapat mengakibatkan kafarat (tebusan dosa) atau pencabutan hak waris.
Klasifikasi Jinayah: Para ahli fiqih membagi jinayah menjadi tiga kategori: pertama, jinayah terhadap nyawa, yaitu pembunuhan; kedua, jinayah terhadap selain nyawa, yaitu cedera yang tidak mengakibatkan kematian; dan ketiga, jinayah yang berdampak pada nyawa dari satu aspek tetapi tidak dari aspek lainnya, seperti jinayah terhadap janin.
Mufaradat (Kosa Kata)
1. الجناية (al-jināyah): Kejahatan atau pelanggaran; tindakan kriminal yang menimbulkan kerugian pada jiwa atau harta.
2. الجرم (al-jurm): Dosa atau kejahatan; tindakan melanggar hukum atau norma.
3. الأرش (al-‘arsh): Denda atau kompensasi untuk kerugian yang tidak memerlukan pembayaran di luar biaya yang sudah ditentukan.
4. الحكومة (al-ḥukūmah): Pemerintah atau pemerintahan; keputusan pengadilan atau hukum yang tidak termasuk dalam kategori denda atau kompensasi.
5. الكفّارة (al-kaffārah): Tebusan atau kompensasi yang harus dibayar sebagai bentuk penebusan dosa atau pelanggaran.
6. التحكيم (al-taḥkīm): Proses penilaian atau arbitrase dalam hukum Islam untuk menyelesaikan perselisihan.
7. القصاص (al-qiṣāṣ): Hukum pembalasan yang setimpal, seperti hukuman mati atau hukuman sebanding dalam hukum Islam
8. الدية (al-diyah): Kompensasi atau ganti rugi yang dibayar kepada keluarga korban sebagai bentuk penyelesaian masalah atas kejahatan yang terjadi.
9. الحرمان من الميراث (al-ḥirmān min al-mīrāts): Penghapusan hak waris, sering kali sebagai akibat dari tindakan tertentu yang menyebabkan hukuman.
Pemahaman Terhadap Isi Teks
Pengertian Jinayah
Kata jinayah secara bahasa berarti dosa atau pelanggaran, dan pada asalnya merupakan bentuk mashdar (kata benda dasar) dari kata jana yang berarti mengambil atau memetik, lalu digunakan untuk menunjukkan objek dari perbuatan tersebut. Menurut Al-Jurjani, jinayah adalah setiap perbuatan terlarang yang mengandung bahaya terhadap diri sendiri atau orang lain.
Al-Haskafi menambahkan bahwa dalam syariat, jinayah adalah istilah untuk perbuatan terlarang yang menyebabkan kerugian terhadap harta atau jiwa. Namun, para ahli fiqih membatasi penggunaan istilah jinayah hanya untuk perbuatan yang menimpa jiwa atau anggota tubuh. Sementara perbuatan seperti perampasan dan pencurian lebih tepat dikaitkan dengan kerugian harta.
Hukum Taklifi
Hukum Taklifi mengacu pada aturan-aturan dalam hukum Islam yang menetapkan kewajiban, larangan, atau anjuran terhadap suatu tindakan. Setiap tindakan penyerangan terhadap nyawa, tubuh, atau harta benda, haram berdasarkan Hukum Taklifi. Artinya, tindakan tersebut terlarang oleh syariat karena merugikan orang lain, baik secara fisik maupun materiil.
Penyerangan mencakup pembunuhan, luka fisik, atau pencurian. Pelaku dari tindakan ini bertanggung jawab secara hukum dan bisa mendapat sanksi sesuai aturan yang berlaku, seperti qisas, diyat, atau kompensasi lainnya. Fungsi hukum taklifi untuk melindungi hak-hak individu dan menjaga keadilan dalam masyarakat.
Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i mengatur akibat hukum dari tindakan tertentu dalam hukum Islam. Dalam konteks jinayah, hukum ini menentukan jenis hukuman atau konsekuensi yang sesuai dengan karakteristik pelanggaran.
Hukuman atas tindak pidana dalam hukum Islam bervariasi tergantung pada jenis pelanggarannya. Hukuman tersebut dapat berupa qisas, yaitu pembalasan setimpal yang biasanya berlaku pada kasus pembunuhan atau luka fisik dengan sengaja, atau diyat, yang merupakan tebusan atau kompensasi untuk korban atau keluarganya, terutama dalam kasus pembunuhan yang tidak sengaja.
Selain itu, arsy merupakan kompensasi untuk cedera fisik yang tidak menyebabkan kematian. Ada juga hukuman yang adil, yang ditetapkan berdasarkan keadilan sesuai situasi kasus, serta jaminan, yang mengacu pada tanggung jawab atau kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan. Beberapa bentuk pelanggaran bahkan bisa mengakibatkan kewajiban kafarat (tebusan dosa) atau pencabutan hak waris, menunjukkan bahwa hukuman dalam jinayah tidak hanya mencakup aspek fisik atau finansial, tetapi juga moral dan sosial.
Klasifikasi Jinayah
Para ahli fiqih membagi jinayah, atau pelanggaran hukum dalam Islam, menjadi tiga kategori utama untuk menentukan jenis hukuman yang sesuai:
Pertama: Jinayah Terhadap Nyawa
Hal ini mencakup tindakan yang langsung mengancam atau merenggut nyawa seseorang, seperti pembunuhan. Dalam kasus ini, penerapan hukumannya cenderung lebih berat dan bisa termasuk hukuman qisas atau diyat, tergantung pada konteks dan niat pelaku.
Kedua: Jinayah Terhadap Selain Nyawa
Dalam hal ini termasuk cedera atau kerusakan yang tidak mengakibatkan kematian tetapi tetap signifikan, seperti luka berat. Hukuman untuk kategori ini biasanya berupa arsy (kompensasi) atau bentuk hukuman lain yang mencerminkan dampak dari cedera tersebut.
Ketiga: Jinayah yang Berdampak pada Nyawa dari Satu Aspek, tetapi Tidak dari Aspek Lainnya
Mencakup kasus seperti pelanggaran terhadap janin. Meski janin belum sepenuhnya berkembang menjadi kehidupan yang mandiri, pelanggaran terhadapnya tetap tergolong serius. Pengadilan akan memberlakukan hukuman terhadap pelaku, meskipun jenis hukumannya mungkin berbeda dari pelanggaran terhadap manusia yang sudah sepenuhnya lahir ke dunia.
Pembagian ini membantu menentukan hukuman yang adil dan sesuai dengan jenis pelanggaran. Hal ini memastikan bahwa setiap kasus tertangani dengan tepat sesuai dampaknya terhadap korban.
Kaidah Bahasa: Jumlah Ismiyah (Mubtada dan Khabar)
Pola struktur kalimat dalam bahasa Arab pada dasarnya terdiri dari dua jenis: jumlah ismiyah (الجملة الاسمية) atau kalimat nominal, dan jumlah fi’liyah (الجملة الفعلية) atau kalimat verbal. Jumlah ismiyah adalah kalimat yang memiliki dua unsur pokok, yaitu mubtada’ (مبتدأ) dan khabar (خبر), dengan dimulainya kalimat ini dari isim (kata benda).
Mubtada’ (مبتدأ) adalah isim marfu’ (اسم مرفوع) atau kata benda, pada umumnya berharakat dhammah (ضمة) yang berfungsi sebagai subjek atau yang pokok bahasan dalam kalimat. Mubtada’ juga bebas dari pengaruh ‘awamil lafzhiyah (عوامل لفظية) seperti partikel yang menyebabkan perubahan harakatnya. Dengan kata lain, mubtada’ adalah kata benda yang marfu’ karena berperan sebagai permulaan atau subjek dalam kalimat.
Contoh Mubtada’:
الشجرةُ مرتفعةٌ (asy-syajaratu murtafi’atun) — “Pohon itu tinggi.”
المعلمُ حاضرٌ (al-mu’allimu ḥāḍirun) — “Guru itu telah hadir.”
Khabar (خبر) adalah isim marfu’ yang memberikan informasi atau menjelaskan tentang mubtada’. Khabar dapat berbentuk:
1. Isim (kata benda), seperti dalam contoh: الطلابُ مجتهدون (aṭ-ṭullābu mujtahidūn) — “Para siswa rajin.”
2. Fi’il (kata kerja), seperti dalam: الأطفالُ يلعبون (al-aṭfālu yal‘abūn) — “Anak-anak sedang bermain.”
3. Jarr wa Majrur (جر و مجرور) atau frasa preposisi, seperti: الكتابُ على الطاولةِ (al-kitābu ‘alā aṭ-ṭāwilati) — “Buku itu di atas meja.”
Berikut Syarat Mubtada:
1. Mubtada’ harus berbentuk isim marfu’ (مرفوع).
2. Mubtada’ umumnya berbentuk ma’rifah (معرفة), yaitu kata benda definitif yang spesifik.
Syarat Khabar Meliputi:
1. Khabar harus juga berbentuk marfu’ (مرفوع).
2. Khabar umumnya berbentuk nakirah (نكرة), yaitu kata benda yang tidak spesifik atau tidak tertentu.
3. Khabar harus sesuai dengan mubtada’ dalam hal jenis kelamin dan bilangan (mufrad, mutsanna, jamak).
Contoh Kalimat Mubtada’ dan Khabar:
الْجِنَايَةُ فِي اللّغَةِ الذّنْبُ وَالْجُرْمُ
Kalimat الْجِنَايَةُ berfungsi sebagai mubtada’ yang marfū’ dengan tanda dhammah di akhirnya, sedangkan فِي اللّغَةِ adalah jar majrūr yang berfungsi sebagai zharf (keterangan tempat), menjadi khabar bagi mubtada’. Frasa الذّنْبُ وَالْجُرْمُ merupakan badal atau ‘athaf yang mengikuti khabar, sehingga memperjelas makna yang terkandung dalam mubtada’.
وَهُوَ فِي الْأَصْلِ مَصْدَرُ جَنَى
Pada awal kalimat terdapat dhamir هُوَ yang berfungsi sebagai mubtada’ dalam keadaan mabni fi mahalli raf’. Frasa فِي الْأَصْلِ merupakan jar majrūr yang berfungsi sebagai zharf dan terkait dengan khabar مَصْدَرُ جَنَى. Dalam hal ini, kata مَصْدَرُ adalah mudhaf dan جَنَى sebagai mudhaf ilayh.
قَالَ الْجُرْجَانِيّ : الْجِنَايَةُ كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ
Kalimat di atas dimulai dengan fi’il قَالَ yang merupakan fi’il mādhī mabni di atas fathah . Subjeknya adalah الْجُرْجَانِيّ yang berfungsi sebagai fa’il marfū’. Setelahnya, الْجِنَايَةُ berfungsi sebagai mubtada’ marfū’, sedangkan كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ adalah khabar yang terdiri dari mudhaf dan mudhaf ilayh, di mana مَحْظُورٍ berfungsi sebagai sifat untuk فِعْلٍ.
Penutup
Fiqh jinayah menawarkan pemahaman mendalam mengenai aspek hukum pidana dalam Islam, mulai dari definisi dasar hingga kategori dan hukuman yang relevan. Dengan mempelajari fiqh jinayah, kita dapat lebih memahami bagaimana hukum Islam menangani kejahatan dan pelanggaran, serta prinsip-prinsip keadilan yang mendasari sistem hukumnya. Pengetahuan ini penting untuk menerapkan hukum secara adil dan efektif, serta memastikan perlindungan terhadap hak-hak individu dan masyarakat.
Khairi Azzahra Nasution (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI-1)
Coba pemakalah jls kn di mana letak mubtada khobar yg ad di dalam contoh makalh yg pemakalah buat dan jls kn knp dia di sebut mubtada khobar
Dalam kalimat ini “الْجِنَايَةُ كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ”:
1. Mubtada’ (subjek) adalah “الْجِنَايَةُ,” yang berarti “kejahatan” atau “pelanggaran.” Mubtada’ merupakan elemen yang dikenalkan terlebih dahulu dalam kalimat, yaitu subjek dari pembicaraan.
2. Khabar (predikat) adalah “كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ,” yang berarti “semua tindakan yang dilarang.” Khabar memberikan informasi atau penjelasan mengenai mubtada’, yaitu predikat yang menjelaskan apa itu kejahatan.
Kalimat ini memiliki struktur mubtada’ dan khabar, yang merupakan bagian utama dalam kalimat Arab. Mubtada’ adalah subjek yang dikenalkan terlebih dahulu, sedangkan khabar memberikan informasi lebih lanjut tentang subjek tersebut. Dalam kalimat ini, “الْجِنَايَةُ” adalah subjek, dan “كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ” adalah predikat yang menjelaskan sifat dari kejahatan.
Menurut pemahaman pemakalah Bagaimana cara kita memahami jumlah ismiyah ?
Pada bagian mubtada…
Coba saudari jelaskan apa yg dimaksud dengan mubtada
Coba jelaskan menurut pemahaman saudari sendiri?
Mubtada adalah unsur dalam kalimat bahasa Arab yang berfungsi sebagai subjek atau topik utama yang dibicarakan. Biasanya terletak di awal kalimat dan merupakan kata benda, nama, atau kata ganti. Mubtada memberikan informasi dasar tentang apa atau siapa yang menjadi pusat perhatian dalam kalimat tersebut.
Sebagai contoh, dalam kalimat “الكتاب مفيد” (buku itu berguna), “الكتاب” (buku) adalah mubtada karena ia adalah topik utama yang dibahas. Mubtada biasanya diikuti oleh khabar, yang memberikan informasi atau keterangan tambahan tentang mubtada.
Untuk memahami jumlah ismiyah (kalimat nominal) dalam bahasa Arab, kita perlu memperhatikan dua komponen utama: mubtada’ (subjek) dan khabar (predikat). Berikut adalah langkah-langkah untuk memahaminya:
1. Identifikasi Mubtada’: Mubtada’ adalah bagian dari kalimat yang biasanya muncul di awal dan merupakan subjek atau pokok pembicaraan dari kalimat. Ini adalah elemen yang dikenalkan terlebih dahulu. Contoh mubtada’ adalah “الْجِنَايَةُ” dalam kalimat “الْجِنَايَةُ كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ,” yang berarti “kejahatan.”
2. Temukan Khabar: Khabar adalah predikat yang memberikan informasi atau keterangan lebih lanjut tentang mubtada’. Khabar menjelaskan atau melengkapi pemahaman tentang mubtada’. Dalam kalimat yang sama, “كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ” adalah khabar, yang berarti “semua tindakan yang dilarang.”
3. Perhatikan Struktur dan Makna: Jumlah ismiyah tidak memerlukan kata kerja untuk menunjukkan makna, karena maknanya sudah tercermin dari hubungan antara mubtada’ dan khabar. Pastikan bahwa khabar memberikan informasi yang jelas dan sesuai dengan mubtada’.
4. Cek Keselarasan: Pastikan bahwa mubtada’ dan khabar sesuai dalam hal gender, jumlah, dan kasus gramatikal. Dalam bahasa Arab, keselarasan ini penting untuk membentuk kalimat yang benar.
apakah anak hasil pemerkosaan, boleh di aborsi?jelaskan!
Dalam Islam, aborsi umumnya tidak diperbolehkan kecuali dalam situasi tertentu seperti jika nyawa ibu terancam. Jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan, pandangan ulama bisa berbeda. Beberapa ulama membolehkan aborsi jika kehamilan berdampak sangat buruk bagi kesehatan mental ibu. Biasanya, aborsi diperbolehkan hanya dalam jangka waktu tertentu, seperti sebelum 40 hari dari konsepsi atau sebelum janin dianggap memiliki roh.
Untuk keputusan ini, penting untuk berkonsultasi dengan ahli agama dan medis untuk mendapatkan panduan sesuai dengan situasi dan hukum yang berlaku.
Coba pemakalah jelaskan cara menentukan jumlah mubtada dan kahabar berdasarkan syarat mubtada dan khabar yang tertera di atas
Untuk menentukan mubtada dan khabar dalam kalimat bahasa Arab:
1. Mubtada: Cari unsur yang menjadi subjek utama atau topik kalimat. Biasanya terletak di awal kalimat dan merupakan kata benda atau kata ganti. Contoh: dalam kalimat “الْجِنَايَةُ كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ”, mubtada adalah “الْجِنَايَةُ” (kejahatan).
2. Khabar: Temukan unsur yang memberikan informasi atau keterangan tentang mubtada. Biasanya mengikuti mubtada. Contoh: dalam kalimat yang sama, khabar adalah “كُلّ فِعْلٍ مَحْظُورٍ” (semua tindakan yang dilarang).
Mubtada adalah subjek utama, sedangkan khabar adalah keterangan tentang mubtada.
Coba pemakalah jelas kann kenapa mubtada harus berbentuk isim marfuk
Mubtada harus berbentuk isim marfuk karena fungsi utama mubtada adalah sebagai subjek atau topik utama dalam kalimat, dan dalam bahasa Arab, kata benda (isim) yang menjadi mubtada harus berada dalam keadaan marfuk, yaitu memiliki tanda kasus nominatif.
Kondisi marfuk ini penting karena memastikan bahwa mubtada diperlakukan sebagai subjek yang utama dan tidak mengalami perubahan bentuk yang mengubah maknanya. Isim marfuk ditandai dengan tanda seperti harakat dhammah pada akhir kata, yang menunjukkan bahwa kata tersebut berada dalam keadaan nominatif dan memenuhi syarat sebagai mubtada.
Jika mubtada tidak dalam bentuk isim marfuk, maka kalimat akan kehilangan kejelasan struktur dan makna, serta akan menyulitkan pemahaman tentang siapa atau apa yang menjadi topik utama dalam kalimat tersebut.
coba pemakalah jelaskan bagaimana Khobar yang berbentuk nakirah?
Khobar yang berbentuk nakirah dapat digunakan dalam kalimat untuk memberikan informasi yang bersifat umum atau tidak spesifik. Dalam bahasa Arab, nakirah adalah kata benda yang menunjukkan sesuatu yang tidak dikenal secara spesifik atau umum, seperti “seorang siswa” atau “sebuah buku.”
Ketika khobar berbentuk nakirah, itu berarti informasi yang diberikan bersifat umum atau tidak merujuk pada sesuatu yang tertentu. Misalnya, dalam kalimat “الكتاب مفيد” (al-kitab mufid), jika khobarnya adalah bentuk nakirah seperti “كتاب” (buku), maka makna kalimat tersebut adalah “Buku itu bermanfaat,” di mana “buku” tidak merujuk pada buku tertentu tetapi pada kategori umum buku.
Penggunaan khobar berbentuk nakirah dapat memberi makna bahwa informasi yang disampaikan berlaku untuk semua item dalam kategori tersebut dan bukan untuk objek tertentu. Hal ini penting dalam komunikasi untuk memberikan informasi yang lebih luas tanpa mengacu pada detail spesifik.
الشجرةُمرتفعةٌ (asy-syajaratu murtafi’atun) — “Pohon itu tinggi.”
pada contoh kalimat ini, coba saudari jelaskan dimana letak jumlah ismiyah nya (mubtada khabar)
Dalam kalimat “الشجرةُ مرتفعةٌ” (asy-syajaratu murtafi’atun) yang berarti “Pohon itu tinggi,” pembagian jumlah ismiyahnya adalah sebagai berikut:
– Mubtada (subjek) adalah “الشجرةُ” (asy-syajaratu) yang berarti “Pohon itu.” Mubtada adalah bagian kalimat yang menjadi topik atau subjek pembicaraan dan berbentuk isim marfuk, yang dalam hal ini memiliki tanda dhammah di akhir kata.
– Khabar (predikat) adalah “مرتفعةٌ” (murtafi’atun) yang berarti “Tinggi.” Khabar memberikan informasi atau predikat tentang mubtada dan juga berbentuk isim marfuk.
Jadi, dalam kalimat ini, mubtada adalah “الشجرةُ” dan khabar adalah “مرتفعةٌ.” Gabungan dari mubtada dan khabar-lah yang disebut dengan jumlag ismiyah.
Apa yg dimaksud dengan istilah awamil lafzhiyah dan bagaimana pengaruhnya terhadap mubtada?
Perlu kita ketahui bahwa awamil i’rab terbagi menjadi dua jenis: awamil lafzhiyah dan awamil maknawiyah. Awamil lafzhiyah dibagi lagi menjadi tiga kategori utama: huruf-huruf, fi’il-fi’il, dan isim-isim.
Pertama, awamil lafzhiyah mencakup huruf-huruf yang berperan dalam struktur kalimat. Terdapat dua fasal dalam kategori ini. Fasal pertama membahas huruf-huruf yang mempengaruhi isim, seperti huruf jar (preposisi) yang terdiri dari 17 huruf, misalnya “min,” “ila,” “fi,” dan lainnya. Selain itu, terdapat huruf-huruf yang menyerupai fi’il, seperti “inna,” “anna,” dan “kanna,” yang mempengaruhi isim dan khabar.
Fasal kedua menjelaskan huruf-huruf yang mempengaruhi fi’il mudhari’. Ada huruf-huruf yang menashabkan fi’il mudhari’, seperti “an,” “lan,” “kay,” dan “idhan,” serta huruf-huruf yang menjazmkan fi’il mudhari’, seperti “lam,” “lamma,” dan “la.”
Secara keseluruhan, awamil lafzhiyah berfungsi untuk menentukan bentuk dan fungsi kata dalam kalimat, mempengaruhi baik isim maupun fi’il sesuai dengan peran dan posisinya.
Coba berikan contoh dri pembunuhan yg tidak di sengaja?dan apakah pembunuhan yang tidak di sengaja mendapatkan hukuman?jika iya, hukuman apa yg dia terima?
Contoh pembunuhan yang tidak disengaja bisa berupa situasi di mana seseorang secara tidak sengaja menyebabkan kematian orang lain tanpa niat jahat atau kesengajaan. Misalnya, seseorang sedang melakukan aktivitas yang dianggap aman, seperti mengemudikan kendaraan, dan secara tidak sengaja menabrak orang lain yang sedang menyeberang jalan karena pengemudi tidak melihat orang tersebut atau kondisi cuaca yang buruk. Dalam kasus ini, kematian yang terjadi adalah hasil dari kelalaian atau ketidak hati-hatian, bukan dari niat jahat.
Dalam hukum Islam, pembunuhan yang tidak disengaja dikenal sebagai “qatal khata” atau pembunuhan karena kesalahan. Pelaku pembunuhan tidak disengaja biasanya tidak dihukum dengan hukuman mati atau penjara, tetapi diwajibkan untuk membayar diyat (tebusan) kepada keluarga korban. Diyat adalah kompensasi finansial yang diberikan kepada ahli waris korban sebagai ganti rugi atas kematian yang tidak disengaja.
Selain itu, pelaku mungkin juga diwajibkan untuk menjalani masa pengasingan atau menjalani beberapa bentuk rehabilitasi tergantung pada keputusan pengadilan dan situasi kasus tersebut. Hukuman ini dimaksudkan untuk memberi kompensasi dan memastikan keadilan bagi keluarga korban sambil mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut tidak dilakukan dengan niat jahat.