Fiqh & Ushul Fiqh

Hikmah dan Ketentuan Syariat Iddah, Nomor 5 Menakjubkan

TATSQIF ONLINE Setiap syariat Subhanahu wa ta’ala mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia. Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan tabiat manusia dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

Hikmah pensyariatan Islam kadang mudah mengetahuinya pada masa turunnya wahyu, tetapi ada yang baru tampak seiring perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah hikmah di balik syariat masa iddah bagi perempuan yang cerai mati atau cerai hidup.

Sudah banyak kajian dan ilmu pengetahuan modern menemukan hikmah dan rahasia di balik pensyariatan iddah. Masalah masa iddah sering mendapat kritik dari kaum feminis karena menganggapnya upaya mendiskriminasi perempuan. Mereka menuntut agar suami yang menceraikan juga mendapatkan masa iddah 130 hari.

Mengutip dari Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyah, masa ‘iddah adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dari kata (العِدَّة) dengan makna perhitungan (الإِحْصَاء). Penamaan tersebut karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah.

Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah suaminya meninggal dunia atau setelah bercerai, baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan.

Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami.

Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah seperti yang terdapat dalam kitab Taudhîhul Ahkâm bi Syarhi Bulûghil Maram, di antaranya:

1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak.

2. Untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.

3. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan.

4. Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian.

5. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil.

BACA JUGA: Peran dan Syarat Saksi dalam Pernikahan Menurut Islam, Simak

Melansir dari laman Almanhaj, masa iddah sebenarnya sudah ada prakteknya di masa jahiliyah. Islam mengakui dan mempertahankan syariat ini sampai sekarang dengan berbagai penyesuaian. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah.

Dalil dari Al-Qur’an yaitu firman Allâh Azza wa Jalla dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Sedangkan dalil dari sunnah banyak sekali, di antaranya:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ امْرَأَةً مِنْ أَسْلَمَ يُقَالُ لَهَا سُبَيْعَةُ كَانَتْ تَحْتَ زَوْجِهَا تُوُفِّيَ عَنْهَا وَهِيَ حُبْلَى فَخَطَبَهَا أَبُو السَّنَابِلِ بْنُ بَعْكَكٍ فَأَبَتْ أَنْ تَنْكِحَهُ فَقَالَ وَاللَّهِ مَا يَصْلُحُ أَنْ تَنْكِحِيهِ حَتَّى تَعْتَدِّي آخِرَ الْأَجَلَيْنِ فَمَكُثَتْ قَرِيبًا مِنْ عَشْرِ لَيَالٍ ثُمَّ جَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ انْكِحِي

Artinya: “Dari Ummu Salamah istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai’ah ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu Sanâbil bin Ba’kak melamarnya, namun ia menolak menikah dengannya. Ada yang berkata, “Demi Allâh, dia tidak boleh menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia mendatangi Nabi SAW dan Nabi SAW bersabda, “Menikahlah!” (HR Bukhâri).

Semua wanita yang berpisah dari suaminya wajib melaksanakan masa iddah dengan sebab talak, khulu’ (gugat cerai), fasakh (penggagalan akad pernikahan) atau cerai mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah memberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya.

Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah. Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam Alquran surah al-Ahzâb ayat 49:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.”

Berdasarkan keterangan di atas dan berdasarkan penyebab perpisahannya, masalah ‘iddah ini dapat dirinci sebagai berikut:

Kategori ini memiliki dua keadaan:

a. Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla dalam Alquran surah ath-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu ‘anhu yang berbunyi:

أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ فَجَاءَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ فَأَذِنَ لَهَا فَنَكَحَتْ

Artinya: “Subai’ah al-Aslamiyah RA melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi),” (HR Bukhâri).

b. Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh SWT berfirman dalam Alquran surah al-Baqarah ayat 234:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ۖ فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat.”

Wanita yang diceraikan dapat dikategorikan menjadi dua jenis: mereka yang dicerai dengan talak raj’i (talak yang memungkinkan rujuk) dan yang dicerai dengan talak bâ’in (talak tiga yang tidak memungkinkan rujuk).

a. Wanita yang Dicerai dengan Talak Raj’i
1) Wanita yang Masih Haid:

Wanita yang masih mengalami haid harus menunggu selama tiga kali haid sebagai masa ‘iddah-nya, sesuai dengan firman Allah Azza wa Jalla dalam Surah Al-Baqarah ayat 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

Artinya:“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’.”

Menurut pendapat yang lebih kuat, kata quru’ merujuk pada haid. Hal ini berdasarkan pada hadits dari A’isyah RA yang menyatakan:

أَنَّ أُمَّ حَبِيبَةَ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا أَنْ تَدَعَ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِهَا

Artinya: “Sesungguhnya Ummu Habibah pernah mengalami pendarahan (istihadhah), lalu dia bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi memerintahkannya untuk meninggalkan shalat pada hari-hari quru’nya (haidhnya),” (HR Abu Daud).

Oleh karena itu, Ibnul Qayyim rahimahullah lebih cenderung pada pemahaman ini. Beliau menjelaskan bahwa istilah quru’ dalam syariat digunakan untuk mengacu pada haid.

Tidak ada penggunaan kata ini dalam syariat yang merujuk pada masa suci (thuhr). Sebagai buktinya, Nabi SAW berkata kepada wanita yang mengalami istihadhah:

دَعِيْ الصَّلَاةَ أَيَّامَ أَقْرَائِكِ

Artinya:“Tinggalkan shalat selama masa-masa haidhmu.”

2) Wanita yang Tidak Haid:

Wanita yang tidak mengalami haid, baik karena belum pernah haid atau sudah menopause, memiliki masa ‘iddah selama tiga bulan. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah Azza wa Jalla dalam Alquran surah ath-Thalaq ayat 4:

وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ

Artinya:“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid.”

3) Wanita Hamil:

Masa iddah bagi wanita hamil yang berakhir saat ia melahirkan, sesuai dengan firman Allah SWT dalam Alquran surah ath-Thalaq ayat 4:

وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ

Artinya:“Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”

4) Wanita yang Mengalami Istihadhah:

Wanita yang mengalami istihadhah harus mengikuti masa iddah yang sama dengan wanita haid. Jika ia memiliki pola haid yang teratur, ia harus memperhatikan pola tersebut. Setelah mengalami tiga kali haid, masa iddahnya selesai.

5) Wanita yang Mendapat Talak Tiga (Talak Bâ’in):

Wanita yang menerima talak tiga hanya perlu menunggu satu kali haid untuk memastikan bahwa ia tidak hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa masa iddah bagi wanita dengan tiga kali talak adalah sekali haid. Setelah satu kali haid, jika tidak ada kehamilan, ia boleh menikah lagi dengan pria lain.

BACA JUGA: Review Buku Fiqh Munakahat Karya Abdul Rahman Ghozali, Simak

Wanita yang berpisah melalui proses gugat cerai (khulu’) memiliki aturan masa ‘iddah secara khusus. Masa ‘iddah ini adalah satu kali haid, seperti pada penjelasan dalam beberapa hadits berikut:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اخْتَلَعَتْ مِنْ زَوْجِهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Artinya:“Dari Ibnu Abbas RA bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi SAW, lalu Nabi SAW memerintahkannya untuk menunggu satu kali haid,” (HR Abu Daud dan at-Tirmidzi).

Hadits lain menyebutkan:

عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ أَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ أُمِرَتْ أَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ

Artinya: “Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haid,” (HR at-Tirmidzi).

Dalam praktiknya, standar masa ‘iddah dapat berubah dari hitungan haid menjadi hitungan bulan atau sebaliknya, tergantung pada situasi khusus. Berikut adalah beberapa skenario perubahan standar masa ‘iddah:

1. Dari Haid ke Bulan: Jika seorang suami menceraikan istrinya dengan talak raj’i dan kemudian meninggal sebelum masa ‘iddahnya selesai, maka masa ‘iddah berubah dari hitungan haid menjadi empat bulan sepuluh hari, sesuai dengan masa ‘iddah wanita yang cerai mati. Hal ini karena status wanita tersebut masih sebagai istri selama masa talak raj’i.

2. Dari Bulan ke Haid: Jika seorang wanita mulai menjalani masa ‘iddahnya berdasarkan hitungan bulan karena tidak mengalami haid (misalnya karena usia muda atau menopause) tetapi kemudian mulai haid, maka masa ‘iddahnya beralih ke hitungan haid. Ini karena hitungan bulan hanya pengganti sementara ketika haid tidak terjadi.

3. Wanita yang Hamil: Jika seorang wanita yang menjalani masa ‘iddah karena talak atau kematian suami kemudian diketahui hamil, maka masa ‘iddahnya berubah menjadi sampai ia melahirkan.

Selama masa ‘iddah, seorang wanita yang talak raj’i harus tetap tinggal di rumah suaminya dan tidak boleh keluar tanpa izin suami. Allah SWT berfirman dalam Alquran surah at-Thalaq ayat 1:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْرًا

Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) ‘iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu ‘iddah itu serta bertakwalah kepada Allâh Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allâh, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allâh Mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.”

Imam asy-Syaukani rahimahullah menjelaskan bahwa wanita yang tertalak raj’i tetap harus tinggal di rumah suaminya selama masa ‘iddah karena status mereka sebagai suami-istri masih ada. Oleh karena itu, seorang wanita yang sedang dalam masa ‘iddah tidak boleh keluar rumah tanpa izin suami, karena suami mungkin masih memerlukan kehadiran istri di rumah, dan mencegah kecemburuan atau ketidaksukaan yang timbul dari ketidakhadirannya.

Hal ini juga tercantum dalam hadis riwayat Abu Hurairah RA bahwa Nabi SAW bersabda:

لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Artinya:“Seorang wanita tidak boleh berpuasa (sunnah) saat suaminya ada di rumah kecuali dengan izinnya.”

Dengan memahami ini, kita dapat melihat pentingnya bagi wanita dalam masa ‘iddah talak raj’i untuk tetap berada di rumah dan tidak keluar tanpa izin suami. Wallahu a’lam.

Masniari Hasibuan (Mahasiwa UIN SYAHADA Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

10 komentar pada “Hikmah dan Ketentuan Syariat Iddah, Nomor 5 Menakjubkan

  • LATIPA HANUM SITOMPUL

    Apa manfaat adanya masa iddah bagi seorang perempuan yang dicerai atau ditinggal wafat suaminya?

    Balas
    • Khoirul aris

      Apakah ada masa Iddah bagi wanita yang menggugat cerai ?

      Balas
  • Yuyun damai atarinanta rambe

    Bagaimana pelaksanaan Iddah bagi seorang wanita yang di ceraikan tetapi dalam keadaan hamil?

    Balas
  • Latifah Siregar

    Apa yang dimaksud dengan hikmah dalam syari’at Iddah?

    Balas
  • Eka Alisyah Hasibuan

    Apakah masa Iddah berlaku sama untuk semua mazhab dalam Islam atau ada perbedaan?

    Balas
    • Putri Maya Sari Tanjung

      Apa alasan tidak adanya masa iddah untuk laki laki?

      Balas
  • Fadli Samsuri Nasution

    Apabila ada seorang wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya, dan usia kandungan nya sudah memasuki bulan ke 8. Jadi berapa lama kah masa Iddah wanita tersebut apakah sampai ia melahirkan atau selama 3 kali haid(suci)?

    Balas
  • Imam Haris Tanjung

    Mengenai wanita yang menggugat cerai,jika istri yg menggugat cerai,apakah dapat nafkah Iddah?

    Balas
  • Winda Aprina Sari Manullang

    seorang wanita murtad dari islam lalu menikah dengan pria nasrani, kemudia ia kembali memeluk Islam dan bercerai dengan pria nasrani itu, berapa lamakah masa iddahnya?

    Balas
  • Hikmah Anisa siregar

    Apakah masa Iddah berlaku untuk semua perceraian?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk