Peran dan Syarat Saksi dalam Pernikahan Menurut Islam, Simak
TATSQIF ONLINE – Islam menegakkan serangkaian hukum yang harus diikuti oleh umatnya, baik dalam larangan maupun perintah, yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Salah satu kebutuhan biologis manusia, yaitu kebutuhan seksual, diatur oleh Islam melalui institusi pernikahan sebagai satu-satunya cara yang diizinkan.
Aturan tentang pernikahan disajikan dalam al-Qur’an dan Hadis, di mana Hadis menjelaskan secara rinci aturan teknis tentang pernikahan yang sah. Pernikahan dianggap sah jika memenuhi persyaratan tertentu, termasuk kehadiran mempelai pria dan wanita, wali, mahar, saksi, dan shigat akad (ijab qabul).
Pengertian Saksi Nikah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa atau kejadian. Menurut KUHAP Pasal 1:26, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Dalam konteks saksi nikah, mereka adalah orang yang menyaksikan akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan calon suami/wakilnya dengan tujuan memberikan keterangan yang diperlukan untuk perkara pernikahan.
Mayoritas ulama memandang bahwa saksi nikah bukanlah bagian dari rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Rukun nikah terdiri dari empat unsur: ijab qabul, suami, isteri, dan wali.
Namun, ada beberapa ahli fiqh yang memandang saksi sebagai bagian dari rukun nikah. Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengadopsi pandangan terakhir, menyatakan bahwa saksi dalam perkawinan adalah rukun pelaksanaan akad nikah, dan setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Ketentuan mengenai saksi nikah dalam KHI sebelumnya telah diatur dalam Pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan, yang menyatakan bahwa setiap perkawinan harus dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Baca Juga: Peran Penting Dua Orang Saksi dalam Akad Pernikahan, Simak
Peran Saksi Nikah
Dalam Islam, saksi memiliki peranan penting dalam akad nikah, meskipun terdapat perbedaan pendapat apakah saksi merupakan syarat sah nikah atau bagian dari rukun nikah.
Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad SAW memerintahkan umatnya untuk mengumumkan pernikahan yang terjadi, sebagaimana sabdanya yang diriwayatkan dalam sebuah hadis berikut ini:
أعلنوا النكاح
Artinya: “Umumkanlah pernikahan,” (HR Ahmad).
Dengan demikian, hikmah dari kehadiran saksi adalah untuk mengumumkan terjadinya pernikahan serta menguatkan keberlangsungan pernikahan di masa mendatang, terutama jika terjadi sengketa atau pengingkaran terhadap sahnya akad nikah.
Menurut mayoritas ulama, mengumumkan pernikahan dengan menyaksikannya adalah suatu kewajiban dan merupakan salah satu syarat sahnya nikah. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi Muhammad shallalahu alaihi wa sallam berikut ini:
لا نكاح إلا بولي وشاهدي عدل
Artinya: “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan kedua orang saksi yang adil,” (HR Al-Baihaqi).
Hadis ini menyatakan bahwa suatu pernikahan hanya dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu adanya wali yang menjadi perantara atau penanggung jawab dalam proses pernikahan, serta keberadaan dua orang saksi yang adil.
Wali bertindak atas nama calon pengantin, sementara saksi memberikan kesaksian atas kesepakatan tersebut. Keberadaan kedua saksi yang adil menjadi penting karena mereka memberikan validitas terhadap sahnya akad nikah.
Syarat Saksi Nikah
Dalam buku Fiqh Keluarga Terlengkap karya Rizem Aizid, dijelaskan bahwa syarat umum bagi saksi dalam sebuah akad nikah adalah sebagai berikut.
1. Beragama Islam
Para ulama dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah sepakat bahwa syarat utama untuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah beragama Islam. Menurut pandangan mereka, sebuah pernikahan tidak akan dianggap sah jika saksi yang terlibat adalah orang non-muslim.
Dalil di balik persyaratan ini dapat ditemukan dalam ayat Alqur’an surah An-Nisa’ ayat 141:
وَلَنْ يَجْعَل اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيل
Artinya: “Allah tidak akan pernah memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk menghancurkan orang-orang yang beriman.”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang kafir untuk merugikan atau menghancurkan orang-orang yang beriman. Ayat ini menegaskan perlindungan Allah terhadap orang-orang yang beriman dari kejahatan orang-orang kafir.
Dalam konteks persyaratan saksi muslim dalam akad nikah, ayat ini dapat diinterpretasikan sebagai larangan untuk melibatkan orang-orang kafir sebagai saksi dalam pernikahan antara dua orang muslim.
Hal ini karena kehadiran orang-orang kafir sebagai saksi dapat menimbulkan keraguan atau bahkan potensi risiko terhadap kesucian dan keabsahan akad nikah menurut ajaran Islam.
2. Berakal
Syarat kedua untuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah memiliki akal yang sehat dan waras. Ini berarti bahwa saksi tersebut tidak mengalami gangguan jiwa atau kelainan mental yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk memberikan kesaksian secara jujur dan rasional dalam proses pernikahan.
3. Baligh
Syarat ketiga untuk menjadi saksi dalam akad nikah adalah telah mencapai usia baligh. Mayoritas ulama sepakat bahwa kesaksian hanya dapat diterima dari individu yang telah dewasa secara hukum, yaitu mencapai usia baligh.
Anak-anak yang belum mencapai usia baligh dianggap belum memiliki kematangan fisik dan mental yang cukup untuk memberikan kesaksian yang valid dalam proses pernikahan. Prinsip ini didasarkan pada ajaran agama Islam yang menekankan pentingnya kematangan dalam memberikan kesaksian dalam urusan agama dan sosial.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 282 :
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُم
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari kalangan laki-laki.”
Dalam ayat ini, Allah SWT menggunakan istilah rijal (رجال), yang tidak hanya merujuk pada jenis kelamin laki-laki, tetapi juga lebih pada makna individu yang telah mencapai kedewasaan atau setidaknya telah mencapai usia baligh.
Istilah ini menggarisbawahi bahwa kesaksian dalam akad nikah harus berasal dari individu yang telah matang secara fisik dan mental serta memiliki kapasitas untuk memahami dan memberikan kesaksian yang valid dalam urusan pernikahan.
4. Adil
Adil dalam hal ini maksudnya tidak pernah melakukan dosa-dosa besar dan tidak pernah membiasakan dosa-dosa kecil. Status saksi sebagai seorang yang adil masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Ulama dari Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa saksi tidak harus menjadi orang yang adil. Mereka berpendapat bahwa siapapun yang berhak menjadi wali nikah, maka ia juga berhak menjadi saksi. Menurut kriteria ini, pernikahan dengan dua saksi yang fasiq dianggap sah.
Sebaliknya, ulama dari Mazhab Shafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa saksi haruslah orang yang adil, sebagaimana tertulis dalam hadis, “Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”
5. Minimal Dua Orang
Dua orang adalah jumlah minimal yang harus ada. Bila hanya satu yang hadir, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang sah.
6. Laki-laki
Madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa dua orang yang menjadi saksi harus laki-laki. Dengan demikian, persaksian seorang laki-laki dan dua orang wanita tidak dapat diterima dalam pernikahan. Pendapat ini berdasarkan kepada hadis Nabi yang menyatakan bahwa persaksian wanita tidak diperbolehkan dalam masalah hukuman (hudud), pernikahan, dan perceraian.
Sementara itu, ulama dari Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dalam pernikahan diperbolehkan. Pendapat ini berangkat dari persepsi bahwa saksi pernikahan serupa dengan saksi dalam transaksi jual beli (harta benda), di mana wanita dapat menjadi saksi. Oleh karena itu, dalam pandangan mereka, wanita juga dapat menjadi saksi dalam pernikahan.
7. Merdeka
Syarat kebebasan atau merdeka menjadi hal yang penting dalam menentukan status seorang saksi dalam akad nikah. Seorang saksi haruslah merdeka, artinya ia tidak boleh menjadi budak atau hamba sahaya.
Hal ini karena seorang budak atau hamba sahaya tidak memiliki hak untuk memberikan kesaksian atau terlibat dalam proses pengadilan.
Wallahu A’lam
Oleh Hanum Sitompul (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
-
Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.
Lihat semua pos Lecturer
Coba penulis jelaskan apakah saksi nikah itu harus dari keluarga atau bisa dari pihak lain?
Bagaimana jika saksi Nikah tidak bisa hadir?
Bagaimana apabila terdapat di suatu tempat, yang hanya menyisakan perempuan saja sebagai saksi, tidak ada lelaki lain kecuali penghulu dan pengantin pria, apakah bisa perempuan menggantikan peran lelaki sebagai saksi nikah?
Apa tanggung jawab saksi nikah dalam Islam?
Kan secara umum dalam pernikahan seorang gadis memerlukan wali, yang menjadi pertanyaan saya apakah seorang janda boleh menikah tanpa ada wali atau saksi?
Pada saat hari raya lebaran, biasanya saat kumpul keluarga tak sedikit yang merasa terganggu ketika ditanya kapan nikah. Menurut saya, pertanyaan ‘kapan nikah?’ tidak sopan dan cenderung menghina. Jadi pertanyaannya, bisakah orang yang bertanya ‘kapan nikah?’ dilaporkan ke polisi?
Bolehkah saksi nikah berasal dari Keluarga kita sendiri?
Siapakah wali pernikahan anak hasil zina? Coba saudara jelaskan secara rinci!