Fakta Menarik Hukum Waris di Indonesia: Islam, Perdata, dan Adat
TATSQIF ONLINE – Hukum waris di Indonesia tidak memiliki aturan secara nasional, tetapi masih mengikuti warisan kolonial Hindia Belanda yang terbagi menjadi hukum waris Islam, BW/Perdata, dan adat. KUHPerdata atau BW berlaku secara nasional sejak kemerdekaan, namun hukum waris Islam berlaku untuk umat Islam dan berlaku di Pengadilan Agama.
Masyarakat Indonesia telah lama menganut sistem hukum adat dalam pembagian warisan, yang terbagi berdasarkan garis keturunan patriliner (garis keturunan bapak), materiliner (garis keturunan ibu), dan parental (garis keturunan bapak dan ibu). Ketiga sistem ini masih berlaku secara resmi sebagai bentuk kemajemukan hukum di Indonesia.
Ragam Hukum Waris di Indonesia dan Cara Pembagiannya
1. Hukum Waris Islam
Pembagian harta warisan dalam Islam berdasarkan ajaran Alquran dan hadis. Menurut Muhammad Ali Ash-Sahbuni dalam bukunya Pembagian Warisan Menurut Islam, harta warisan terbagi ke dalam enam jenis berdasarkan ketentuan Alquran: setengah, seperempat, seperdelapan, dua pertiga, sepertiga, dan seperenam.
Besaran bagian ini berdasarkan ketentuan yang berlaku pada masing-masing ahli waris. Di Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim, peraturan hukum warisan Islam juga terdapat dalam Pasal 176-185 ayat Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berikut adalah rincian besaran bagian ahli waris menurut hukum Islam:
1). Anak perempuan mendapat setengah bagian jika hanya satu, dan dua pertiga jika dua atau lebih, dua banding satu jika bersama anak laki-laki.
2). Ayah mendapat sepertiga bagian jika tidak ada anak, dan seperenam bagian jika ada.
3). Ibu mendapat seperenam bagian jika ada anak atau dua saudara atau lebih, dan sepertiga bagian jika tidak ada anak atau dua saudara atau lebih.
4). Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa harta setelah menyisihkan bagian janda atau duda jika bersama-sama dengan ayah.
5). Duda mendapat separuh bagian jika tidak ada anak, dan seperempat bagian jika ada. Janda mendapat seperempat bagian jika tidak ada anak, dan seperdelapan bagian jika ada.
6). Saudara laki-laki dan perempuan seibu mendapat seperenam bagian jika tidak ada anak dan ayah, dan sepertiga jika dua orang atau lebih.
BACA JUGA: Kewarisan Janin dan Reproduksi Buatan: Perspektif Hukum Islam
2. Hukum Waris Perdata
Melansir dari laman Hukum Online, Hukum Waris Perdata di Indonesia berdasarkan pada BW atau Burgerlijk Wetboek voor Indonesie, yang mulai berlaku sejak 1848. Indah Sari menjelaskan dalam Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, hukum ini sebagai cara pembagian warisan tertua di Indonesia, yang berdasarkan asas konkordansi.
Asas tersebut menyatakan bahwa semua peraturan yang berlaku di Belanda juga berlaku di daerah jajahannya, termasuk Hindia Belanda (Indonesia). Dalam hukum waris perdata, hak laki-laki dan perempuan sama dalam pembagian warisan, berdasarkan pada KUH Perdata.
Hukum ini berlaku untuk nonmuslim dan mewariskan dari kedua orang tua secara bilateral. Tidak ada perbedaan dalam besaran bagian antara laki-laki dan perempuan. Ahli waris adalah keluarga terdekat dari pewaris dan mewarisi secara individual, bukan kelompok. Warisan terbuka setelah kematian pewaris, dan sengketa pembagian sudah tuntas perkaranya di Pengadilan Negeri.
Pembagian harta warisan menurut KUH Perdata terjadi setelah kematian pewaris. Ada dua cara pembagian warisan dalam hukum perdata: berdasarkan undang-undang (ab-intestato) yang mengatur ahli waris berdasarkan hubungan kekeluargaan atau darah, dan berdasarkan wasiat yang menetapkan ahli waris dalam surat wasiat.
Ahli Waris dalam Hukum Waris Perdata
Pembagian harta warisan menurut hukum perdata mengenal empat golongan ahli waris. Peraturan ini terdapat dalam Empat Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata. Setiap golongan memiliki urutan prioritas dalam mewarisi harta warisan. Golongan pertama memiliki hak utama.
Golongan-golongan tersebut meliputi:
1). Golongan I mencakup suami atau istri, anak-anak sah, dan keturunannya.
2). Golongan II mencakup ayah, ibu, saudara, dan keturunan saudara.
3). Golongan III mencakup kakek, nenek, dan saudara dalam garis lurus ke atas.
4). Golongan IV mencakup saudara dalam garis ke samping seperti paman, bibi, saudara sepupu, hingga derajat keenam.
Pembagian harta warisan ini mengikuti urutan golongan, dimulai dari golongan pertama hingga keempat, jika tidak ada ahli waris di golongan sebelumnya. Pasal 838 KUH Perdata menjelaskan empat kategori orang yang dianggap tidak layak menjadi ahli waris.
Mereka adalah ahli waris yang telah melakukan tindakan kriminal terhadap pewaris, memfitnah pewaris untuk tindak kejahatan berat, menghalangi atau memalsukan wasiat, atau melakukan tindakan kekerasan. Mereka yang masuk kategori ini tidak berhak menerima warisan dalam pembagian harta menurut hukum perdata.
BACA JUGA: Musibah Perzinaan: Pengaruhnya pada Anak dan Hukum Waris
3. Hukum Waris Adat
Mengutip penjelasan Hukum Online, Indonesia memiliki hukum waris adat sebagai pedoman pembagian harta warisan, mengingat keragaman suku bangsa di negara kepulauan ini. Hukum adat bersifat tidak tertulis dan terpengaruh oleh struktur sosial dan kekerabatan masyarakat.
Ada beberapa sistem pewarisan adat di Indonesia, seperti sistem keturunan (patrilineal, matrilineal, dan bilateral), sistem individual di mana setiap ahli waris mendapatkan bagian sendiri, sistem kolektif di mana harta warisan diterima sebagai satu kesatuan, dan sistem mayorat, yang mana kepemilikan harta terpusat pada anak tertua, contohnya di Bali dan Lampung.
Hukum waris adat memiliki tiga unsur penting. Pertama, pewaris adalah orang yang meninggalkan harta warisan yang akan diteruskan kepada ahli waris. Kedua, ahli waris adalah anggota keluarga dekat pewaris yang berhak menerima bagian dari harta warisan. Ketiga, harta warisan merupakan harta kekayaan yang diteruskan oleh pewaris kepada ahli waris sesuai dengan sistem kekerabatan dan pewarisan yang berlaku dalam masyarakat adat tersebut.
Asas-asas hukum waris adat mencakup beberapa prinsip utama. Pertama, asas ketuhanan dan pengendalian diri, yang menekankan bahwa harta warisan adalah karunia Tuhan yang harus dikelola dengan baik.
Kedua, asas kesamaan dan kebersamaan hak menjamin bahwa setiap ahli waris memiliki hak yang sama dalam menerima warisan. Ketiga, asas kerukunan dan kekeluargaan mengharuskan ahli waris untuk menjaga hubungan kekerabatan dalam penggunaan dan pembagian harta warisan.
Keempat, asas musyawarah dan mufakat, yang menegaskan bahwa pembagian harta warisan harus disepakati secara tulus dan ikhlas melalui musyawarah yang dipimpin oleh yang tertua di keluarga. Kelima, asas keadilan menekankan pentingnya menjaga keseimbangan dan keharmonisan dalam keluarga melalui sistem pembagian yang adil. Wallahu A’lam
Rizky Hamonangan Siregar (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana pendapat penulis untuk pembagian waris di dalam adat yg tidak memberi harta waris kepada wanita, apakah itu dapat diterima dengan pendapat dalam tulisan qaidah fiqih yg mengatakan bahwa adat bisa menjadi hukum ( Al ‘adatul muhakkamatu).
Artikelnya bagus
Bagaimana menurut penulis jika di dalam masyarakat dipergunakan pembagian harta waris adat bukan pembagian waris Islam??
Bagaimana pendapat penulis tentang hukum waris adat yg ada di sekitar kita yg membagikan harta waris yg paling banyak di bagikan kepada anak lelaki yang paling kecil?