Musibah Perzinaan: Pengaruhnya pada Anak dan Hukum Waris
TATSQIF ONLINE – Musibah perzinaan kini semakin merebak, sering kali memakai istilah-istilah seperti WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), dan lainnya. Tidak terlaksananya penegakan syari’at Islam, termasuk hukuman bagi pezina, memperparah penyebaran fenomena ini di kalangan kaum muslimin.
Wabah perzinaan ini menimbulkan berbagai masalah sosial yang menyakitkan, tidak hanya bagi pelakunya tetapi juga bagi anak yang lahir dari hubungan haram tersebut. Label “anak zina” membawa penderitaan mendalam, bersamaan dengan munculnya berbagai masalah seperti penasaban, warisan, perwalian, dan masalah sosial lainnya yang tak terelakkan.
Pengertian Anak di Luar Nikah
Anak di luar perkawinan adalah anak yang lahir dari hubungan yang tidak sah menurut hukum dan agama, yang terlahir dari seorang perempuan tanpa adanya ikatan perkawinan dengan seorang laki-laki yang sah secara hukum.
Secara etimologis, istilah anak luar nikah terdiri dari kata “anak” yang berarti keturunan kedua dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), tetapi juga memiliki makna sebagai manusia yang masih kecil dan sedang dalam masa perkembangan.
Dalam al-Qur’an, terdapat berbagai kata yang mengandung arti anak seperti walad, hafadah, dzurriyah, ibn, dan bint. Kata-kata ini memiliki nuansa yang berbeda, misalnya walad yang penggunaanya untuk menunjukkan hubungan keturunan dengan ayah kandung, sedangkan ibn bisa mengacu kepada anak kandung atau anak angkat.
Nikah sendiri adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan agama. Sebuah pernikahan yang sah apabila pelaksanaannya sesuai dengan hukum agama yang berlaku.
Kriteria Anak di Luar Nikah
Sebutan anak zina adalah untuk anak yang lahir di luar pernikahan menurut hukum Islam. Zina adalah hubungan intim antara laki-laki dan perempuan tanpa ikatan pernikahan, tidak peduli apakah salah satu atau keduanya sudah menikah atau belum.
Dalam Undang-Undang Perkawinan, anak terbagi menjadi dua kategori: anak sah dan anak luar kawin. Anak sah adalah yang lahir dari perkawinan yang sah, sementara anak luar kawin lahir di luar ikatan perkawinan yang sah.
Abdul Wahid dalam bukunya Kedudukan Anak di Luar Nikah, mengidentifikasi kriteria anak di luar perkawinan sebagai berikut::
1. Anak yang lahir dari ibu yang masih dalam ikatan pernikahan lain.
2. Anak yang lahir dari ibu yang masih dalam proses perceraian atau dalam masa ‘iddah.
3. Anak yang lahir dari ibu yang ditinggal suaminya lebih dari 300 hari tanpa diketahui keberadaannya.
4. Anak yang lahir dari orang tua yang tidak dapat menikah menurut ketentuan agama.
5. Anak yang lahir dari orang tua yang tidak dapat melangsungkan pernikahan menurut hukum negara.
6. Anak yang tidak diketahui orang tuanya sebagai anak yang ditemukan.
7. Anak yang lahir di luar perkawinan sah, hasil hubungan saat ibu dan bapaknya tidak menikah.
Hukum Warisan Anak Zina
Anak zina, atau anak hasil hubungan di luar nikah, memiliki hukum waris yang serupa dengan anak li’an, di mana nasab (garis keturunan) mereka terputus dari ayah biologis.
Sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam:
أَيُّمَا رَجُلٍ عَاهَرَ بِحُرَّةٍ أَوْ أَمَةٍ فَالْوَلَدُ وَلَدُ زِنَا، لاَ يَرِثُ وَلاَ يُوْرِثُ
Artinya: “Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan,” (HR At-Tirmidzi).
Hadis ini menggambarkan larangan keras terhadap perbuatan zina, baik dengan wanita merdeka maupun budak sahaya. Dalam konteks ini, “wanita merdeka” merujuk kepada wanita yang memiliki status sosial dan hukum yang bebas, sedangkan “budak sahaya” merujuk kepada wanita yang menjadi budak atau hamba sahaya seseorang.
Pernyataan “anaknya adalah anak zina” menegaskan bahwa keturunan yang lahir dari hubungan tersebut dianggap sebagai anak hasil zina. Hal ini berarti anak tersebut tidak memiliki nasab yang sah dan tidak diakui sebagai keturunan yang sah menurut hukum Islam.
Selanjutnya, hadis ini menyatakan bahwa anak hasil perbuatan zina tidak memiliki hak untuk saling mewarisi. Artinya, mereka tidak berhak atas warisan dari ayah biologisnya maupun dapat memberikan warisan kepada orang lain. Ini menggambarkan konsekuensi keras dari perbuatan zina dalam hukum Islam, tidak hanya bagi pelakunya tetapi juga bagi keturunannya.
1. Anak Zina dengan Ayah Biologis
Hubungan waris antara seorang anak dengan bapaknya berdasarkan pada salah satu dari sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-Irts), yaitu nasab. Jika anak zina tidak mendapat pengakuan secara syar’i sebagai keturunan dari lelaki yang menzinahi ibunya, maka tidak ada hubungan waris di antara mereka.
Akibatnya, anak zina tidak berhak menerima harta warisan dari lelaki tersebut dan keluarganya. Sebaliknya, lelaki itu juga tidak bisa menerima warisan dari anak hasil perbuatan zinanya.
2. Anak Zina dengan Ibu
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya tetap ada hubungan waris. Perlakuan terhadap anak hasil zina ini sama seperti anak-anak lainnya dari ibu tersebut.
Karena ia adalah anak ibunya, maka ia termasuk dalam ketentuan umum yang tercantum dalam Alquran surah an-Nisa’ ayat 11:
كُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ ۚ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ ۖ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ ۚ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ ۚ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ ۚ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ ۚ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ ۗ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا ۚ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Artinya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Anak hasil perbuatan zina berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia bernasab kepada ibunya. Nasab merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab pewarisan.
Nasab dan Hak Waris Anak Zina
Anak zina hanya mewarisi dari ibunya dan keluarga dari pihak ibu. Hubungan waris antara anak zina dengan keluarga lelaki yang menzinahi ibunya tidak ada, sehingga anak ini bukan mahram bagi keluarga lelaki tersebut. Artinya, hukum-hukum seperti boleh melihat, berkhalwat, dan bepergian bersama tidak berlaku antara mereka.
Menurut hukum Islam, anak hasil zina tidak memiliki hubungan hukum dengan ayahnya, termasuk dalam hal nafaqah (biaya hidup), pendidikan, dan warisan. Hukum perdata Indonesia juga mengatur bahwa anak di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya, kecuali jika ada pengakuan secara sah oleh ayahnya.
Pandangan Majelis Ulama Indonesia dalam fatwa No. 11 Tahun 2012 menyatakan bahwa anak hasil zina tidak memiliki hubungan nasab, wali nikah, waris, atau nafaqah dengan laki-laki yang menyebabkan kelahirannya. Anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VII/2010 juga memberikan keputusan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan dapat memiliki hubungan perdata dengan ayahnya jika dapat dibuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lainnya.
Pernikahan dengan Anak Hasil Zina
Melansir dari laman Almanhaj, bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang lelaki tidak boleh menikahi anak hasil zinanya sendiri. Imam Ahmad dan mayoritas ulama lain seperti Abu Hanifah, Imam Malik, dan pengikut Imam Syafi’i, semuanya melarang pernikahan ini. Ibnu Taimiyah juga menyatakan bahwa pernikahan semacam ini hukumnya haram.
Secara keseluruhan, status anak di luar perkawinan dalam hukum Islam dan hukum perdata Indonesia menunjukkan bahwa anak tersebut memiliki hak-hak tertentu tergantung pada pengakuan ayahnya dan peraturan yang berlaku. Namun demikian, hak waris bagi anak hasil zina tetap menjadi isu kontroversial yang perlu perhatian dalam konteks hukum dan keadilan sosial.
Wallahu A’lam
Oleh Nurul Hafizoh Syah HT (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
bagaimana proses pembagian harta warisan bagi anak yang lahir dari perzinahan menurut hukum Islam?
bagaimana penjelasan jika ayah dan ibu dari anak hasil zina sudah meninggal, dari manakah hasil waris yg dia dapat? (nb: anak hasil sudah menikah dan belom menikah)
Bagaimana status anak hasil perbuatan zina dalam hukum waris nasab dan nikah?
Hubungan waris antara anak zina dengan keluarga lelaki yang menzinahi ibunya tidak ada, sehingga anak ini bukan mahram bagi keluarga lelaki tersebut.
Bagaimana jika dalam suatu keluarga tidak memberi tahu bahwa anak tersebut hasil diluar perkawinan apakah mereka semua berdosa!
Artikelnya sangat bagus
Apakah ada mekanisme khusus dalam hukum Islam untuk memberikan bagian tertentu dari warisan kepada anak hasil zina?
Artikelnya sangat baguss
Bagaimana Kedudukan anak zina dalam hukum Islam dan KUH Perdata di Indonesia?
Artikel nya sudah baguss
Coba sebutkan contoh pembagian warisan anak zina jika bersama anak dari perkawinan yang sah ?
Makasih sudah membagi ilmunya teman kami
Artikel nya sangat bagus
Artikel nya bagus, mudah dipahami 👍