Fiqh & Ushul Fiqh

Menggali Hukum Taklifi: 5 Pilar Hidup Sesuai Syariat, Simak

TATSQIF ONLINEIlmu ushul fiqh memiliki peranan penting dalam memahami dan merumuskan hukum syariah. Dalam konteks ini, hukum taklifi merupakan salah satu konsep sentral yang menjadi dasar penetapan hukum bagi mukallaf (orang yang sudah memenuhi syarat untuk dikenai hukum syariat).

Al-Ghazali dalam karyanya, Al-Mustasfa, menegaskan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mulia karena membantu meningkatkan kemampuan berpikir logis dan mendukung penerapan syariah. Menurutnya, “Ilmu yang paling terhormat adalah ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan nalar dan logika, serta dapat mendukung penerapan syariat.”

Secara kebahasaan, “taklifi” berasal dari kata taklif, yang berarti “pemberian beban”. Secara istilah, hukum taklifi merujuk pada tuntutan Allah SWT kepada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan dengan tingkat tertentu. Ini bisa berupa perintah wajib, anjuran, atau larangan, yang semuanya bertujuan untuk mengatur kehidupan seorang mukallaf agar selaras dengan syariat Islam.

Sebagai contoh, Allah berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 110:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۖ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya:“Dan dirikanlah salat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”

Ayat ini menuntut setiap Muslim untuk melaksanakan salat dan zakat sebagai ibadah wajib, yang akan mendatangkan pahala dan mencegah dosa. Dengan demikian, ayat ini menunjukkan penerapan hukum taklifi yang menegaskan tanggung jawab individu dalam menjalankan kewajiban. Selain itu, kandungan Ayat tersebut mengingatkan manusia bahwa Allah selalu mengawasi setiap amal perbuatan mereka.

Sebaliknya, ada juga perintah untuk meninggalkan perbuatan tertentu, seperti yang tercantum dalam Surah Al-Isra’ ayat 33:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan alasan yang benar.”

Ayat di atas secara jelas melarang umat Islam untuk melakukan pembunuhan tanpa alasan yang sah, sehingga mendorong mereka untuk menghargai nyawa manusia. Kebolehan penghilangan nyawa hanya berlaku dalam situasi tertentu seperti dalam pelaksanaan hukuman rajam bagi pezina muhshan.

Oleh karena itu, ayat ini menuntut setiap individu untuk menilai dengan cermat setiap tindakan mereka. Larangan ini mengingatkan umat agar selalu mematuhi prinsip moral dan hukum, sehingga mereka dapat menjalani kehidupan yang penuh rasa tanggung jawab terhadap sesama.

Hukum taklifi terbagi menjadi lima macam, yaitu: wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah. Berikut penjelasannya:

1. Wajib (Ijab)

Wajib adalah tuntutan Allah SWT kepada mukallaf untuk melakukan suatu perbuatan secara pasti. Jika ia mengerjakannya, mukallaf tersebut akan mendapatkan pahala, dan jika ia meninggalkannya, ia akan mendapatkan dosa. Contohnya adalah perintah untuk melaksanakan salat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan.

Wajib ini terbagi lagi menjadi beberapa kategori, di antaranya:

Wajib Muthlaq: Kewajiban yang pelaksanaannya tidak terikat waktu tertentu. Contohnya adalah kewajiban membayar kafarah sumpah.

Wajib Muaqqat: Kewajiban yang pelaksanaannya terikat waktu tertentu. Misalnya, puasa Ramadhan yang pelaksanaannya pada bulan Ramadhan.

Dalam analisis lebih lanjut, wajib muaqqat juga terbagi lagi menjadi:

Wajib Muwassa: Kewajiban yang waktunya cukup luas. Contohnya kewajiban shalat lima waktu. Pada waktu shalat Zhuhur, seseorang dapat memilih untuk langsung melaksanakan shalat tersebut atau melakukan shalat sunnah terlebih dahulu, seperti shalat sunnah rawatib atau tahiyyatul masjid. Namun, jika waktu shalat hampir habis, ia hanya boleh melaksanakan shalat wajib.

Wajib Mudhayyaq: Mudhayyaq berarti “sesuatu yang terbatas,” sehingga wajib mudhayyaq menunjukkan bahwa seorang Muslim harus melaksanakan ibadah tertentu tanpa opsi untuk melakukan ibadah lain yang sejenis. Contohnya adalah puasa Ramadan, di mana selama bulan Ramadan, seorang mukallaf hanya diperbolehkan berpuasa Ramadan dan tidak boleh berniat untuk melakukan puasa lain, baik sunnah maupun lainnya.

Pembagian wajib juga dapat terlihat dari segi pelaksananya:

Wajib ‘Ain: Kewajiban ini menuntut setiap Muslim yang memenuhi syarat untuk melaksanakan ibadah secara langsung tanpa bisa diwakilkan. Misalnya, setiap individu wajib mengerjakan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadan, dan membayar zakat fitrah. Selain itu, mereka yang mampu secara fisik dan finansial juga diwajibkan menunaikan haji. Kewajiban ini menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi dalam menjalankan ibadah agama.

Wajib Kifayah: Jenis Kewajiban ini mengharuskan umat Islam melaksanakannya secara kolektif. Jika sebagian orang telah melaksanakannya, maka yang lain tidak perlu mengulanginya. Contohnya meliputi shalat jenazah, berdakwah, menyelenggarakan pendidikan, dan membela diri dari ancaman. Kewajiban ini menekankan pentingnya kerjasama dalam komunitas Muslim untuk memastikan tugas tersebut terpenuhi.

2. Sunah (Nadb)

Sunah adalah perintah untuk melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat wajib. Jika mukallaf melaksanakannya, ia akan mendapatkan pahala, namun jika ia tinggalkan, tidak mendapatkan dosa. Misalnya, puasa pada hari Senin dan Kamis atau memberikan sedekah.

Sunnah terbagi menjadi beberapa jenis:

Sunnah Muakkadah: Sunnah ini mendorong umat Islam melaksanakan amalan sunnah yang sangat dianjurkan. Allah SWT tidak menyukai perbuatan mukallaf yang menyampingkan sunnah ini tanpa alasan yang jelas dan sah. Amalan Sunnah seperti shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh dan shalat hari raya mendatangkan banyak keutamaan dan pahala.

Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sunnah muakkadah hampir setara dengan fardhu, tetapi posisinya sedikit lebih rendah. Mereka menetapkan sunnah muakkadah sebagai amalan yang memiliki dalil zhanni.

Sunnah muakkadah juga memiliki sebutan lain, yaitu fardhu amali; yang mengharuskan umat Islam untuk mengutamakan pengamalannya dan bisa menggantinya jika tertinggal. Namun, tidak perlu sampai menganggap sunnah muakkadah sebagai fardhu.

Sunnah Ghairu Muakkadah: Sunnah memiliki nama lain, yaitu mandub atau mustahab, berarti seseorang akan memperoleh pahala jika mengamalkannya dan tidak akan mendapat dosa jika mengabaikannya. Contoh dari sunnah ghairu muakkad termasuk salat tahiyatul masjid.

Terdapat juga kategori sunnah berdasarkan dampak sosialnya:

Sunah Hadyu: Perbuatan yang sangat dianjurkan karena membawa kebaikan yang besar, seperti salat hari raya, azan, dan sholat berjamaah.

Sunah Zaidah: Perbuatan sunah yang berkaitan dengan kebiasaan pribadi Nabi Muhammad, seperti cara berpakaian beliau. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِي السُّحُورِ بَرَكَةً

Artinya:“Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, ‘Makanlah sahur, karena dalam sahur itu terdapat berkah,” (HR Bukhari).

Sunnah Nafal: Sunnah ini mendorong mukallaf untuk melakukan amalan tambahan yang mendukung perbuatan wajib, seperti sholat tahajud. Mukallaf dapat melaksanakan sunnah ini untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka.

3. Haram (Tahrim)

Haram adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan secara pasti. Jika mukallaf melanggarnya, ia akan mendapatkan dosa. Contoh yang paling jelas adalah larangan untuk meminum minuman keras atau memakan harta riba.

Al-Qur’an memberikan penegasan tentang larangan ini, seperti dalam Surah Al-Baqarah ayat 275:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

Artinya:“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”

4. Makruh (Karahah)

Makruh adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, namun tuntutan ini tidak bersifat pasti. Jika mukallaf meninggalkannya, ia mendapatkan pahala, tetapi jika tetapi melakukannya, tidak akan mendapatkan dosa. Salah satu contohnya adalah kebiasaan merokok, yang menurut mayoritas ulama pandang sebagai makruh karena dampaknya yang merugikan kesehatan.

5. Mubah (Ibahah)

Mubah memberikan pilihan kepada mukallaf untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan tanpa menerima pahala atau dosa. Dengan demikian, mukallaff boleh melakukan atau tidak melakukan perbuatan tersebut. Contohnya, makan dan minum yang merupakan kebutuhan sehari-hari.

Islam mengatur perbuatan mubah dengan beberapa batasan, seperti menghindari prilaku berlebihan, tidak melakukan bid’ah, dan tidak melalaikan kewajiban ibadah. Allah menegaskan kebebasan ini dalam firman-Nya dalam Alquran Surah Al-Araf ayat 31:

 يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ

Artinya: “Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.”

Hukum taklifi adalah salah satu konsep mendasar dalam ushul fiqh yang mengatur perbuatan mukallaf berdasarkan tuntutan Allah SWT. Terdiri dari lima kategori: wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah, hukum taklifi memberikan pedoman yang jelas bagi mukallaf dalam menjalankan kehidupannya sesuai dengan syariat Islam.

Pemahaman yang mendalam tentang hukum ini sangat penting agar seorang Muslim dapat menjalankan ibadah dan kehidupan sehari-harinya dengan benar. Seperti pernyataan Imam Al-Ghazali, ilmu ushul fiqh, termasuk di dalamnya hukum taklifi, adalah tempat perlindungan terakhir bagi para fuqaha dalam menentukan hukum yang dihadapi umat Islam di berbagai zaman. Wallahua’lam.

Nur Jelita Gultom (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

5 komentar pada “Menggali Hukum Taklifi: 5 Pilar Hidup Sesuai Syariat, Simak

  • Fikri Yandi

    Dalam situasi darurat,bagaimana hukum taklifi dapat berubah?

    Balas
  • Mita Raisa Hutabarat

    bagaimana penerapan hukum taklifi yang baik agar dapat membantu umat islam dalam menjalani kehidupan yang sesuai syariat?

    Balas
  • Putri amelia nasution

    Bagaimana hukum taklifi berpengaruh pada kehidupan sehari-hari?

    Balas
  • Apa yang kalian ketahui tentang hukum taklifi dan berikan salah satu contoh dalam penerapannya di kehidupan sehari-hari?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk