Fiqh & Ushul Fiqh

Mahkum Alaih: Subjek Hukum dan Syarat Taklif dalam Islam

TATSQIF ONLINE Keimanan kepada Allah SWT merupakan pondasi utama dalam ajaran Islam. Setelah seseorang beriman, baik secara taqlidiy (keyakinan karena ikut-ikutan), burhaniy (keyakinan melalui dalil rasional), maupun irfaniy (keyakinan berdasarkan pengalaman spiritual langsung), kewajiban selanjutnya adalah berpegang teguh pada hukum-hukum Allah.

Al-Ghazali mengklasifikasikan keimanan ini ke dalam tiga tingkatan: iman al-awam (keimanan orang awam), iman al-mutakallimin (keimanan para teolog), dan iman al-arifin (keimanan para ahli makrifat).

Namun, iman tidak cukup berhenti pada pengakuan semata. Keimanan tersebut harus terwujud dalam tindakan nyata, salah satunya dengan mentaati hukum-hukum yang Allah dan Rasul-Nya tetapkan dalam al-Qur’an dan Hadis.

Ketaatan ini bukan hanya pada aturan yang tertulis dalam nash syar’i (teks hukum yang jelas), melainkan juga hukum yang terambil melalui ijtihad para ulama. Allah menegaskan dalam Surat al-Maidah ayat 44:

ΩˆΩŽΩ…ΩŽΩ†Ω’ Ω„ΩŽΩ…Ω’ ΩŠΩŽΨ­Ω’ΩƒΩΩ…Ω’ Ψ¨ΩΩ…ΩŽΨ§ Ψ£ΩŽΩ†Ω’Ψ²ΩŽΩ„ΩŽ Ψ§Ω„Ω„Ω‘ΩŽΩ‡Ω ΩΩŽΨ£ΩΩˆΩ„ΩŽΨ¦ΩΩƒΩŽ هُمُ Ψ§Ω„Ω’ΩƒΩŽΨ§ΩΩΨ±ΩΩˆΩ†ΩŽ

Artinya: “Barang siapa yang tidak memutuskan (hukum) dengan apa yang telah Allah turunkan, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.”

Ayat ini menunjukkan pentingnya berpegang teguh pada ketentuan yang telah Allah SWT turunkan. Tidak patuh pada hukum-Nya berarti keluar dari jalan Islam.

Untuk melaksanakan hukum Allah dengan baik, umat Islam harus memahami elemen-elemen dasar hukum Islam (Mabahitsul Ahkam atau Arkanul Ahkam). Hukum Islam terdiri dari empat elemen dasar, yaitu:

1. Al-Hakim (Pembuat Hukum, yaitu Allah),

2. Al-Hukm (Hukum itu sendiri),

3. Al-Mahkum Fihi (Perkara yang dihukumi),

4. Al-Mahkum Alaih (Subjek Hukum).

Artikel ini akan membahas secara khusus elemen keempat. Elemen tersebut adalah Mahkum Alaih atau subjek hukum.

Para ulama ushul fiqih mendefinisikan Mahkum Alaih sebagai orang yang perbuatannya menuntut pertanggungjawaban berdasarkan tuntutan Allah SWT. Istilah lain dari Mahkum Alaih adalah mukallaf, yaitu orang yang mendapat pembebanan hukum karena telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Mukallaf berasal dari kata “taklif,” yang artinya pembebanan hukum. Secara etimologi, mukallaf adalah orang yang telah mampu bertindak sesuai dengan perintah dan larangan Allah.

Mukallaf harus memenuhi dua syarat utama, yaitu baligh (dewasa) dan berakal sehat. Hukum syariah mengatur segala tindakannya; jika ia mengikuti perintah Allah, ia akan mendapat pahala, sedangkan jika ia melanggar larangan Allah, ia akan mendapatkan dosa.

Nabi Muhammad SAW menjelaskan siapa saja yang tidak mendapat pembebanan hukum hingga mereka memenuhi syarat-syarat tertentu melalui sebuah hadis berikut ini:

رُفِعَ Ψ§Ω„Ω’Ω‚ΩŽΩ„ΩŽΩ…Ω ΨΉΩŽΩ†Ω’ Ψ«ΩŽΩ„Ψ§ΩŽΨ«ΩŽΨ©Ω ΨΉΩŽΩ†Ω Ψ§Ω„Ω†ΩŽΩ‘Ψ§Ψ¦ΩΩ…Ω حَΨͺΩŽΩ‘Ω‰ ΩŠΩŽΨ³Ω’ΨͺΩŽΩŠΩ’Ω‚ΩΨΈΩŽ ΩˆΩŽΨΉΩŽΩ†Ω Ψ§Ω„Ψ΅ΩŽΩ‘Ψ¨ΩΩ‰ΩΩ‘ حَΨͺΩŽΩ‘Ω‰ ΩŠΩŽΨ­Ω’ΨͺΩŽΩ„ΩΩ…ΩŽ ΩˆΩŽΨΉΩŽΩ†Ω Ψ§Ω„Ω’Ω…ΩŽΨ¬Ω’Ω†ΩΩˆΩ†Ω حَΨͺΩŽΩ‘Ω‰ ΩŠΩŽΨΉΩ’Ω‚ΩΩ„ΩŽ

Artinya: “Diangkat pena (tuntutan) dari tiga hal: dari anak-anak sampai ia dewasa; dari orang yang tidur sampai ia terjaga; dari orang gila sampai ia sadar,” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah,dan Ahmad).

Hadis ini menunjukkan bahwa anak kecil, orang yang tertidur, dan orang gila tidak dikenai tanggung jawab hukum. Mereka baru dibebani hukum setelah memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu baligh dan berakal.

Untuk bisa menjadi seorang Muslim yang mukallaf, seseorang harus memenuhi dua syarat utama:

1. Memahami Titah Allah (Berakal dan Baligh)

Pemahaman terhadap titah atau perintah Allah SWT sangat terkait dengan akal, karena akal merupakan alat untuk memahami perintah dan larangan. Seseorang telah mukallaf ketika ia sudah mencapai usia dewasa (baligh) dan memiliki akal yang sehat.

Dengan demikian, seseorang yang belum mencapai baligh tidak mendapatkan taklif (beban hukum). Allah SWT juga tidak membebani orang yang kehilangan akal seperti orang gila dengan beban hukum.

2. Mampu Menjalankan Hukum (Ahliyyah al-Taklif)


Kecakapan menerima beban hukum atau ahliyyah terbagi menjadi dua jenis:

Ahliyyah al-Wujud: Kecakapan untuk Menerima Hak dan Kewajiban.

Nasroen Haroen dalam buku Ushul Fiqih, mejelaskan bahwa para ulama ushul fiqh membagi ahliyah al-wujud menjadi dua jenis:

1. Ahliyah al-Wujud an-Naqishah: Kondisi ini terjadi ketika seseorang masih dalam kandungan (janin). Janin memiliki ahliyah yang belum sempurna, karena hak-hak yang seharusnya diperoleh belum menjadi miliknya hingga ia lahir dengan selamat, meskipun hanya untuk sesaat. Setelah lahir, hak-hak tersebut baru menjadi miliknya sepenuhnya.

2. Ahliyah al-Wujud al-Kamilah: Ini adalah kecakapan seorang anak yang sudah lahir untuk menerima hak sampai ia mencapai baligh dan berakal, meskipun akalnya masih kurang, seperti dalam kasus orang gila. Dalam kondisi ahliyah al-wujud (baik sempurna maupun tidak), seseorang tidak dibebani kewajiban syara’, baik yang bersifat ibadah seperti shalat dan puasa (rohani) maupun hukum duniawi seperti transaksi pemindahan hak milik.

    Ahliyyah al-Ada’: Kecakapan untuk melaksanakan hukum.

    Kecakapan ini tumbuh seiring perkembangan akal manusia dan terbagi menjadi tiga tingkat:

    ‘Adim al-Ahliyyah: Tidak cakap sama sekali, berlaku untuk bayi atau anak yang belum mencapai umur tamyiz (sekitar 7 tahun).

    Ahliyyah al-Ada’ Naqishah: Cakap berbuat hukum secara lemah, berlaku bagi anak-anak yang telah mencapai usia tamyiz namun belum baligh.

    Ahliyyah al-Ada’ Kamilah: Cakap berbuat hukum secara sempurna, berlaku bagi seseorang yang telah mencapai usia baligh dan berakal sehat.

    Meskipun seseorang sudah memenuhi syarat untuk menjadi mukallaf, ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi kecakapannya dalam menjalankan hukum. Halangan ini disebut ‘awaridh al-ahliyah (penghalang kecakapan hukum), yang terbagi menjadi dua kelompok:

    1. Halangan yang Datang dari Luar Diri Seseorang (Awaridh Samawiyah)

    Halangan ini berasal dari faktor eksternal yang tidak bisa dihindari. Beberapa contoh halangan ini meliputi:

    Gila, yaitu ketidakmampuan akal untuk membedakan mana yang benar dan salah.

    Lupa, di mana seseorang tidak dapat mengingat hukum yang harus ia lakukan.

    Ketiduran, yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan kewajibannya untuk sementara waktu.

    Pingsan, yang menghilangkan kesadaran seseorang untuk sementara waktu sehingga ia tidak bisa melaksanakan perintah hukum.

    2. Halangan yang Timbul dari Diri Sendiri (Awaridh Muktasabah)

    Halangan ini terjadi karena perbuatan atau keadaan yang disengaja oleh diri sendiri, misalnya:

    a. Mabuk, yang menyebabkan tertutupnya akal karena konsumsi zat-zat memabukkan.

    b. Safih (bodoh), yaitu seseorang yang tidak mampu mengelola hartanya dengan baik karena kelemahan akalnya.

    c. Jahil (ketidaktahuan), orang yang tidak mengetahui adanya hukum tertentu meskipun ia sebenarnya memiliki kesempatan untuk belajar.

    d. Terpaksa, yaitu seseorang yang dipaksa melakukan suatu tindakan yang bertentangan dengan keinginannya.

    e. Sakit dan perjalanan, di mana hukum memberikan kemudahan dalam menjalankan kewajiban agama seperti mengqashar shalat atau tidak berpuasa ketika sakit.

    Dalam Islam, mahkum alaih atau subjek hukum adalah individu yang memenuhi syarat untuk dikenai taklif (beban hukum). Syarat utama menjadi subjek hukum adalah seseorang harus sudah baligh dan berakal sehat. Selain itu, untuk dapat melaksanakan hukum, seseorang harus memiliki ahliyah (kecakapan hukum), baik ahliyah al-wujub (kecakapan menerima hak dan kewajiban) maupun ahliyah al-ada’ (kecakapan melaksanakan hukum).

    Namun, ada beberapa faktor yang bisa mempengaruhi kecakapan seseorang dalam melaksanakan hukum, seperti gila, tidur, mabuk, dan terpaksa. Halangan ini dapat bersifat sementara, dan setelah kondisi tersebut hilang, seseorang kembali dikenai tanggung jawab hukum.

    Pemahaman tentang mahkum alaih sangat penting agar kita sebagai umat Islam dapat menjalankan kewajiban syariat dengan benar, sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing. Hukum Islam selalu memperhatikan keadaan individu dan memberikan keringanan dalam situasi tertentu, sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah agama yang mudah dan tidak memberatkan. Wallahua’lam.

    Aisyah Putri Wahab Piliang & Ahmad Saputra Rambe (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

    Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    30 komentar pada “Mahkum Alaih: Subjek Hukum dan Syarat Taklif dalam Islam

    • ZAHRA PANE

      Bagaimana hukum alaih membedakan antara hukum wajib, sunnah, makruh, dan haram?

      Balas
      • Mahkum alaih membedakan antara hukum wajib, sunnah, makruh, dan haram berdasarkan tingkat kewajiban dan konsekuensi dari setiap hukum. Wajib adalah tindakan yang harus dilakukan, dan jika ditinggalkan tanpa alasan yang sah, akan mendapatkan dosa, seperti shalat lima waktu. Sunnah adalah tindakan yang dianjurkan, di mana seseorang mendapatkan pahala jika melakukannya, tetapi tidak berdosa jika ditinggalkan, contohnya shalat sunnah. Makruh adalah tindakan yang sebaiknya dihindari; jika ditinggalkan, seseorang mendapatkan pahala, tetapi jika dilakukan, tidak berdosa, seperti makan bawang putih sebelum shalat. Haram adalah tindakan yang dilarang keras, dan jika dilakukan, akan mendapatkan dosa, seperti mencuri atau berbohong. Dengan memahami perbedaan ini, mahkum alaih dapat mengikuti ajaran Islam dengan lebih baik.

        Balas
    • Mengapa penting bagi seorang murid memiliki adab dalam taklim?

      Balas
      • Pentingnya adab bagi seorang murid dalam taklim (pengajaran) mencakup beberapa aspek. Pertama, adab menciptakan suasana yang kondusif untuk belajar, di mana murid menunjukkan rasa hormat kepada guru dan sesama murid. Hal ini memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dan pemahaman yang lebih mendalam terhadap materi yang diajarkan.

        Kedua, adab mencerminkan akhlak yang baik, yang merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Dengan berperilaku sopan dan menghormati, murid menunjukkan bahwa mereka menghargai ilmu dan proses pembelajaran. Ketiga, adab membantu membangun hubungan yang positif antara guru dan murid, menciptakan kepercayaan dan motivasi untuk belajar.

        Akhirnya, memiliki adab yang baik dalam taklim juga menyiapkan murid untuk menghadapi tantangan kehidupan di luar kelas dengan sikap yang santun dan bijaksana. Dengan demikian, adab merupakan fondasi penting dalam proses pendidikan yang efektif dan berkelanjutan.

        Balas
    • Nurjuliantii

      jelaskan hukum-hukum yang berkaitan dengan anak yang sudah tamyiz tetapi belum baligh?

      Balas
      • Julina lubis

        Bagaimana cara mahkum ilaih memutuskan suatu hukum yang belum terjelaskan dalam Al qur’an

        Balas
        • Mahkum alaih dapat memutuskan hukum yang belum terjelaskan dalam Al-Qur’an melalui beberapa cara. Pertama, dengan ijtihad, yaitu menarik kesimpulan hukum berdasarkan prinsip syariah. Kedua, mengacu pada sunnah atau hadis Nabi Muhammad SAW untuk mendapatkan petunjuk. Ketiga, menggunakan qiyas, yaitu analogi dengan membandingkan masalah baru dengan yang sudah ada. Keempat, mempertimbangkan maslahah mursalah, yaitu kepentingan umum yang memberikan manfaat bagi masyarakat. Terakhir, meminta fatwa dari ulama yang berkompeten. Dengan cara-cara ini, mereka dapat mengambil keputusan hukum yang relevan.

          Balas
      • Anak yang sudah tamyiz tetapi belum baligh memiliki beberapa hukum dalam Islam. Mereka dianggap mampu memahami dan membedakan antara yang baik dan buruk, sehingga mulai diajarkan untuk melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa, meskipun tidak diwajibkan secara penuh. Tanggung jawab untuk mendidik anak ini terletak pada orang tua atau pendidik, yang harus mengajarkan nilai-nilai moral dan etika. Meskipun dapat dianggap bertanggung jawab atas perbuatannya, sanksi yang diterima tidak seberat orang dewasa, dan hukuman lebih bersifat mendidik. Dengan demikian, fokus pada anak yang tamyiz adalah pada pendidikan dan bimbingan, bukan sanksi hukum yang berat.

        Balas
    • Bagaimana islam menentukan kecerdasan atau kewarasan seseorang sebagai syarat taklif

      Balas
      • Islam menentukan kecerdasan atau kewarasan seseorang sebagai syarat taklif melalui pemahaman bahwa individu harus memiliki kemampuan berfikir dan memahami hukum agar dapat bertanggung jawab atas perbuatannya. Kecerdasan dan kewarasan diukur berdasarkan kemampuan seseorang untuk membedakan antara yang baik dan buruk serta memahami konsekuensi dari tindakan mereka.

        Orang yang tidak berakal, seperti individu dengan gangguan mental atau orang yang sedang tidak sadar, tidak dapat dikenai taklif karena tidak mampu memahami kewajiban agama. Oleh karena itu, syarat ini memastikan bahwa taklif hanya dikenakan pada mereka yang mampu secara mental untuk memahami dan melaksanakan hukum syariah. Dengan cara ini, Islam menunjukkan perhatian terhadap kondisi individu dan keadilan dalam penegakan hukum.

        Balas
    • Putri Sabrina Panggabean

      Apa konsekuensi hukum bagi Mahkum Alaih yang melanggar syarat Taklif?

      Balas
      • Konsekuensi hukum bagi mahkum alaih yang melanggar syarat taklif tergantung pada apakah individu tersebut memenuhi syarat-syarat taklif. Jika seseorang tidak memenuhi syarat taklif, seperti tidak memiliki akal atau belum mencapai usia baligh, maka mereka tidak akan dikenakan sanksi atau kewajiban hukum. Sebaliknya, jika individu tersebut telah memenuhi syarat taklif namun tetap melanggar hukum, mereka dapat dikenakan sanksi atau hukuman sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan. Dengan kata lain, konsekuensi hukum berlaku bagi mereka yang telah memenuhi syarat taklif dan mampu bertanggung jawab atas perbuatannya.

        Balas
    • Putri amelia nasution

      Bagaimana status hukum seorang mahkum alaih yang tidak memenuhi syarat taklif?

      Balas
      • Status hukum seorang mahkum alaih yang tidak memenuhi syarat taklif adalah bahwa mereka tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Individu yang tidak memenuhi syarat seperti belum baligh, tidak berakal, atau mengalami kondisi yang menghalangi kemampuan untuk memahami hukum tidak dikenakan kewajiban hukum. Oleh karena itu, mereka tidak wajib melaksanakan ibadah atau dihadapkan pada sanksi atas pelanggaran hukum. Dengan demikian, status hukum mereka dianggap tidak memiliki tanggung jawab dalam konteks syariat Islam.

        Balas
    • May Elisa Sitompul

      Apakah ada pengecualian tertentu bagi kelompok-kelompok tertentu dalam hal taklif

      Balas
      • Ada pengecualian dalam hal taklif bagi kelompok tertentu dalam Islam. Anak-anak tidak dikenai taklif karena belum mencapai usia baligh. Individu yang tidak berakal, orang sakit, atau cacat juga diberikan keringanan karena tidak mampu melaksanakan kewajiban. Selain itu, perempuan yang sedang menstruasi atau nifas tidak diwajibkan untuk shalat atau puasa. Pengecualian ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kondisi dan kebutuhan individu, sehingga taklif dapat diterapkan dengan adil dan bijaksana.

        Balas

    • Warning: printf(): Too few arguments in /home/tatsqifc/public_html/wp-content/themes/colormag/inc/template-tags.php on line 516

      bagaimana seharusnya taklif diterapkan pada orang yang terpaksa melakukan perbuatan melanggar hukum karna keadaan darurat?

      Balas
      • Taklif seharusnya diterapkan dengan prinsip keringanan bagi orang yang terpaksa melakukan perbuatan melanggar hukum karena keadaan darurat. Dalam situasi ini, hukum dapat dilonggarkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Individu hanya diperbolehkan melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan darurat tanpa melebihi batas yang diperlukan. Setelah keadaan darurat berakhir, mereka diharuskan untuk kembali melaksanakan kewajiban sesuai hukum syariah. Prinsip ini memberikan kesempatan bagi individu untuk melindungi diri tanpa kehilangan tanggung jawab moral sepenuhnya.

        Balas
      • Syarat agar seseorang dikenai taklif dalam Islam meliputi memiliki akal, mencapai usia baligh, beragama Islam, dan mampu melaksanakan kewajiban yang ditetapkan. Seseorang harus mampu berpikir dan memahami agar dapat dimintai pertanggungjawaban. Selain itu, hanya individu yang telah dewasa secara syariat yang dikenai taklif, dan mereka harus mampu untuk memenuhi kewajiban tersebut. Dengan memenuhi syarat-syarat ini, individu dapat dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.

        Balas
    • π΅π‘Žπ‘”π‘Žπ‘–π‘šπ‘Žπ‘›π‘Ž π‘‘π‘Žπ‘˜π‘™π‘–π‘“ π‘‘π‘–π‘‘π‘’π‘Ÿπ‘Žπ‘π‘˜π‘Žπ‘› π‘π‘Žπ‘‘π‘Ž π‘π‘’π‘Ÿπ‘’π‘šπ‘π‘’π‘Žπ‘› π‘‘π‘Žπ‘› π‘™π‘Žπ‘˜π‘–-π‘™π‘Žπ‘˜π‘– π‘‘π‘Žπ‘™π‘Žπ‘š π‘–π‘ π‘™π‘Žπ‘š?

      Balas
      • Dalam Islam, taklif diterapkan pada perempuan dan laki-laki dengan prinsip kesetaraan kewajiban beragama. Keduanya diwajibkan melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, dan zakat. Namun, perempuan memiliki kondisi khusus, seperti saat menstruasi atau nifas, di mana mereka tidak diwajibkan untuk shalat atau puasa. Islam juga mengakui hak-hak perempuan dalam pendidikan, pekerjaan, dan partisipasi sosial. Dengan demikian, *taklif* diterapkan secara adil, mempertimbangkan kesetaraan dan kondisi khusus masing-masing.

        Balas
    • Mita Raisa Hutabarat

      bagaimana seharusnya taklif diterapkan pada orang yang terpaksa melakukan perbuatan melanggar hukum karna keadaan darurat?

      Balas
      • Dalam Islam, jika seseorang terpaksa melakukan perbuatan yang melanggar hukum karena keadaan darurat, taklif diterapkan dengan prinsip keringanan. Keadaan darurat harus benar-benar ada, seperti ancaman terhadap hidup atau keselamatan. Dalam situasi ini, individu hanya boleh melakukan tindakan yang diperlukan untuk mengatasi keadaan tersebut tanpa melebihi batas. Setelah keadaan darurat berakhir, mereka diharuskan untuk kembali menjalankan kewajibannya sesuai hukum syariah. Prinsip keringanan ini memberikan kesempatan untuk melindungi diri tanpa kehilangan tanggung jawab moral sepenuhnya.

        Balas
    • Fikri Yandi

      Apa konsekuensi hukum jika syarat taklif tidak terpenuhi?

      Balas
      • Jika syarat taklif tidak terpenuhi, individu tersebut tidak dikenakan hukum syariah. Syarat *taklif* meliputi memiliki akal, beragama Islam, dan mencapai usia baligh. Konsekuensinya adalah mereka tidak wajib melaksanakan ibadah seperti shalat dan puasa, serta tidak akan dikenakan sanksi atas pelanggaran hukum syariah. Hal ini mengakui bahwa anak-anak atau orang yang tidak berakal tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, sehingga syarat taklif menentukan siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum Islam.

        Balas
      • Objek hukum *mahkum alaih* dalam hukum Islam adalah orang atau pihak yang terkena hukum tertentu. Ini termasuk siapa saja yang memiliki akal dan bisa bertanggung jawab, seperti Muslim, non-Muslim, anak-anak, dan orang dewasa. Objek hukum ini mencakup kewajiban seperti shalat dan puasa, larangan terhadap perbuatan yang dilarang, serta hukuman bagi yang melanggar hukum syariah. Dengan begitu, *mahkum alaih* menjadi fokus dalam penerapan hukum dan pertanggungjawaban dalam syariat Islam.

        Balas
    • Bagaimana Orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat dan segala tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah SWT?

      Balas
      • Orang yang dituntut oleh Allah SWT untuk berbuat akan dimintai pertanggungjawaban atas segala tingkah lakunya. Setiap amal perbuatan, baik dan buruk, akan diperhitungkan di hari kiamat. Dalam Islam, Allah SWT memberikan pedoman melalui Al-Qur’an dan Sunnah untuk membimbing umat-Nya dalam berbuat baik. Mereka yang mengikuti tuntutan ini akan mendapatkan pahala, sementara yang mengabaikannya akan menghadapi konsekuensi yang sesuai. Dengan demikian, kesadaran akan perhitungan amal menjadi pendorong bagi setiap individu untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan yang dilarang.

        Balas

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    × Chat Kami Yuk