Fiqh & Ushul Fiqh

Pentingnya Mahkum Fih dalam Pelaksanaan Hukum Syariat, Simak

TATSQIF ONLINE Dalam kajian ushul fiqh, mahkum fih berarti perbuatan mukallaf yang menjadi objek hukum syara’. Perbuatan mukallaf ini berkaitan dengan perintah, larangan, atau pilihan yang ada dalam hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Mahkum fih memiliki nama lain, yaitu mahkum bih, karena perbuatan mukallaf selalu berhubungan dengan perintah Allah SWT atau larangan-Nya. Mahkum fih tidak hanya mencakup tindakan positif seperti perintah shalat dan zakat, tetapi juga tindakan negatif seperti larangan berzina atau membunuh.

Para ulama mendefinisikan mahkum fih sebagai perbuatan mukallaf yang menjadi objek hukum syara’. Dalam bukunya Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa mukallaf wajib melaksanakan mahkum fih, yang penilaian hukumnya berdasarkan syariat. Artinya, perbuatan ini mencakup segala aktivitas mukallaf, yang hukumnya dapat berupa wajib, haram, sunnah, makruh, atau mubah.

Menurut pandangan ulama ushul fiqh, mahkum fih adalah perbuatan seseorang yang berkaitan dengan perintah atau larangan syar’i. Perbuatan ini bisa berupa perintah untuk mengerjakan, perintah untuk meninggalkan, atau perbuatan yang sah secara syariat ketika telah memenuhi syarat, sebab, atau rukhsah yang berlaku. Adanya hukum syara’ pada suatu perbuatan ini menjadikannya sebagai landasan dalam kehidupan beragama seorang mukallaf.

Terdapat beberapa ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan perbuatan-perbuatan mukallaf sebagai objek hukum syariat, baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Beberapa contoh di antaranya adalah:

Perintah Menegakkan Shalat dan Zakat

Dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 43, Allah SWT berfirman:

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Artinya: “Dan tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, Muqatil menyatakan bahwa Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk shalat bersama Nabi Muhammad SAW. Perintah menunaikan zakat bermakna membayarkan zakat. Ibnu Abbas menafsirkan zakat sebagai bentuk ketaatan dan keikhlasan kepada Allah.

Hasan Al-Bashri menekankan bahwa amal kebajikan tidak akan diterima tanpa shalat dan zakat. Ayat ini juga menunjukkan perintah untuk ruku’ bersama orang-orang mukmin, yang menjadi dalil mengenai kewajiban shalat berjamaah.

Proses pengambilan hukum (istinbath ahkam) dari ayat di atas melalui langkah-langkah yang terstruktur. Pertama, para ulama menganalisis makna bahasa dari perintah yang terdapat dalam ayat ini. Kata “aqīmū” (tegakkan) dan “ātū” (berikan) adalah perintah yang menunjukkan kewajiban untuk melaksanakan shalat dan zakat.

Kedua, mereka menerapkan kaidah ushul fiqh bahwa setiap perintah (amr) dalam Al-Qur’an secara umum menunjukkan kewajiban, kecuali ada indikasi yang mengarah ke sebaliknya. Selanjutnya, memperhatikan konteks turunnya ayat (asbabun nuzul), di mana ayat ini turun untuk mengatur kewajiban ibadah umat Islam setelah hijrah ke Madinah.

Para ulama juga membandingkan ayat ini dengan dalil lain yang menguatkan kedudukan shalat dan zakat sebagai kewajiban, baik dari Al-Qur’an maupun hadis. Dengan mengacu pada kaidah الْأَمْرُ يَقْتَضِي الوُجُوبَ (perintah menunjukkan kewajiban), mereka kemudian menetapkan bahwa ayat ini mengandung tiga kewajiban bagi mukallaf: menegakkan shalat, menunaikan zakat, dan melaksanakan shalat berjamaah.

Larangan Mendekati Zina

Dalam Alquran Surah Al-Isra’ ayat 32, Allah SWT berfirman:

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنٰى اِنَّهٗ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاۤءَ سَبِيْلًا

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Mengutip dari Tafsir Kementrian Agama Republik Indonesia, Allah SWT melarang mendekati zina, yaitu segala perbuatan yang memicu perzinaan seperti pergaulan bebas, pornografi, dan tayangan vulgar. Larangan ini menegaskan bahwa mendekati zina saja sudah haram, apalagi melakukannya.

Zina merusak garis keturunan, menimbulkan keresahan di masyarakat, menghancurkan rumah tangga, serta menyebarkan penyakit berbahaya seperti sifilis dan AIDS. Zina adalah perbuatan keji yang merusak tatanan sosial dan kehormatan, serta menjadikan manusia seperti binatang.

Para ulama mengeluarkan hukum dari ayat ini dengan menganalisis makna larangan yang ada, yaitu untuk menjauhi segala yang dapat mendekatkan seseorang kepada zina. Mereka mempertimbangkan konteks dan sebab turunnya ayat, untuk menunjukkan bahwa perlu menghindari segala tindakan yang bisa mendorong kepada zina.

Selain itu, ulama merujuk pada hadis Nabi SAW yang menguatkan larangan tersebut untuk menegaskan kedudukan hukumnya. Hasil analisis ini menyimpulkan bahwa zina adalah haram, termasuk segala bentuk perilaku yang dapat mengantarkan kepada perbuatan tersebut.

Kewajiban Memenuhi Janji

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 1:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad (janji-janji) itu.”

Ayat ini memerintahkan orang-orang beriman untuk memenuhi janji-janji yang telah diikrarkan, baik kepada Allah maupun sesama manusia, selama janji tersebut tidak melanggar syariat. Janji-janji tersebut mencakup hal-hal seperti perkawinan, perdagangan, dan lain-lain.

Ulama melakukan proses istinbath ahkam dari ayat ini dengan beberapa langkah. Mereka memulainya dengan memahami makna teks ayat, yang menekankan kewajiban mukallaf untuk memenuhi janji dan kontrak.

Selanjutnya, ulama menganalisis konteks ayat tersebut untuk memahami latar belakang turunnya ayat tersebut. Mereka juga mengkaji istilah dalam bahasa Arab, merujuk pada hadis dan sunnah yang relevan, serta melihat konsensus (ijma) para ulama jika tersedia.

Ulama kemudian menarik kesimpulan hukum yang menyatakan bahwa memenuhi akad adalah kewajiban setiap mukallaf. Hasil istinbath ini memiliki implikasi penting dalam kehidupan sehari-hari, mencakup kontrak bisnis, pernikahan, dan berbagai janji sosial.

Larangan Membunuh Jiwa yang Terpelihara

Hal ini salah satunya tercantum dalam Alquran Surah Al-An’am ayat 151:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِيْ حَرَّمَ اللّٰهُ اِلَّا بِالْحَقِّ

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”

Tafsir as-Sa’di menjelaskan bahwa Allah mengharamkan pembunuhan terhadap setiap jiwa, termasuk anak kecil, orang dewasa, pria, wanita, merdeka, budak, serta Muslim dan kafir yang memiliki perjanjian. Pembunuhan hanya boleh dengan alasan yang sah, seperti membunuh orang yang membunuh tanpa sebab, pelaku zina yang telah menikah, atau orang yang murtad.

Jika seseorang dibunuh secara zalim, ahli warisnya berhak menuntut qishash, dengan syarat-syarat tertentu. Namun, ahli waris haram melampaui batas dalam menuntut balas, seperti memutilasi pelaku atau membunuh orang lain yang tidak bersalah.

Pemilik hak qishash adalah wali korban, dan jika mereka memilih untuk memaafkan, hukum qishash bisa gugur. Allah memberikan dukungan kepada wali korban dalam proses penuntutan untuk mendapatkan keadilan.

Agar suatu perbuatan bisa menjadi mahkum fih yang sah, terdapat beberapa syarat yang harus terpenuhi:

1. Perbuatan Harus Diketahui Mukallaf

Mukallaf harus mengetahui perbuatan yang dibebankan kepadanya secara sempurna dan rinci. Misalnya, perintah shalat yang bersifat global dalam Al-Qur’an baru wajib pelaksanaannya setelah adanya penjelasan rinci dari Nabi Muhammad SAW tentang rukun, syarat, dan tata caranya.

2. Perbuatan Harus Berasal dari Otoritas yang Sah

Setiap mukallaf harus mengetahui bahwa perintah atau larangan datang dari pihak yang memiliki otoritas, yaitu Allah SWT dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, upaya para ulama ushul fiqh dalam mencari pemecahan hukum selalu berawal dengan memverifikasi validitas sumber hukum. Mukallaf tidak boleh menjalankan perintah atau larangan kecuali mengetahui bahwa taklif tersebut berasal dari Allah atau Rasul-Nya.

3. Perbuatan Harus Mampu Dilakukan oleh Mukallaf

Hukum taklif tidak berlaku terhadap perbuatan yang mustahil dilakukan mukallaf, baik mustahil secara li dzatihi (secara hakikat mustahil) atau mustahil secara li ghairihi (mustahil karena alasan eksternal). Misalnya, mukallaf tidak mungkin diperintahkan untuk terbang tanpa alat bantu.

Jumhur ulama berpendapat bahwa tidak sah memberikan taklif pada sesuatu yang mustahil. Alasan utamanya adalah bahwa Allah SWT dalam Al-Qur’an telah menegaskan bahwa taklif sesuai dengan kemampuan manusia.

Firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah ayat 286:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا

Artinya: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”

Beberapa ulama Asy’ariyyah menganggap boleh memberikan taklif atas sesuatu yang mustahil. Mereka mencontohkan perintah Allah SWT kepada orang-orang kafir untuk beriman, meskipun Dia sudah mengetahui mereka tidak akan melakukannya.

Meninjau dari keberadaannya secara material dan syara’, perbuatan yang termasuk mahkum fih terbagi menjadi tiga:

1. Perbuatan yang material ada, tetapi tidak terkait dengan syara’: Misalnya, makan dan minum yang pada dasarnya perbuatan ini adalah mubah (boleh), tetapi bisa menjadi wajib atau haram tergantung kondisinya.

2. Perbuatan yang material ada dan menjadi sebab hukum syara’: Contohnya adalah perbuatan zina, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan-perbuatan ini menyebabkan adanya penerapan hukum hudud atau qishash.

3. Perbuatan yang material ada dan diakui syara’ serta menyebabkan hukum lain: Contoh perbuatan ini adalah nikah, jual beli, dan sewa menyewa, di mana perbuatan ini sah secara syariat dan mengakibatkan hukum-hukum lain seperti hak dan kewajiban suami-istri atau pembeli-penjual.

Mahkum fih juga bisa diklasifikasikan berdasarkan hak yang terdapat dalam perbuatan tersebut, antara lain:

1. Hak Allah: Perbuatan yang semata-mata menyangkut kepentingan umum, seperti shalat dan zakat.

2. Hak Hamba: Perbuatan yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi.

3. Kompromi Antara Hak Allah dan Hamba: Seperti hukuman qadzaf (menuduh zina), di mana hak Allah lebih dominan.

4. Kompromi dengan Hak Hamba yang Lebih Dominan: Seperti dalam kasus qishash, di mana hak hamba lebih dominan.

Pembahasan tentang mahkum fih sangat penting karena berhubungan langsung dengan pelaksanaan taklif (pembebanan hukum) yang Allah SWT berikan kepada mukallaf. Mahkum fih menjadi dasar bagi setiap tindakan mukallaf yang terkait dengan hukum syariat, baik berupa perintah, larangan, maupun yang memberi kebebasan untuk memilih.

Oleh karena itu, ulama ushul fiqh menekankan pentingnya memahami syarat-syarat dan kategori mahkum fih agar mukallaf dapat menjalankan perintah serta meninggalkan larangan sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Dengan pemahaman yang benar, mukallaf dapat melaksanakan hukum syariat secara optimal dan sesuai dengan kehendak Allah SWT.

Hikbal Lubis & Siti Halima (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

23 komentar pada “Pentingnya Mahkum Fih dalam Pelaksanaan Hukum Syariat, Simak

  • Nur Alia Nasution

    Kenapa hukum taklif tidak berlaku jika perbuatannya mustahil di lakukan mukallaf

    Balas
    • Hukum taklif tidak berlaku jika perbuatan yang diminta mustahil dilakukan oleh mukallaf karena dalam syariat Islam terdapat prinsip dasar yang menekankan kemudahan dan keadilan. Islam tidak membebani seseorang di luar kemampuannya, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: *”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”* (QS. Al-Baqarah: 286). Perbuatan yang mustahil dilakukan berada di luar lingkup kapasitas manusia, sehingga membebankan sesuatu yang tidak mungkin dicapai bertentangan dengan realitas dan prinsip keadilan. Syariat Islam bertujuan untuk memberikan manfaat, bukan memaksakan hal yang mustahil dan tidak relevan. Selain itu, terdapat kaedah fikih yang berbunyi *”Kesulitan mendatangkan kemudahan,”* yang menegaskan bahwa Islam mengurangi beban jika sesuatu perbuatan menimbulkan kesulitan yang luar biasa. Oleh karena itu, hukum taklif hanya berlaku pada perbuatan yang mampu dilakukan dan realistis bagi mukallaf, menjaga agar aturan syariat tetap adil dan dapat dijalankan.

      Balas
  • Nurfadilah Simatupang

    Bagaimana perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan hukum yang sah?

    Balas
    • Putri amelia nasution

      Apa saja tantangan dalam menerapkan konsep mahkum fih di dalam masyarakat modern

      Balas
      • Fifi Angraini

        Apa perbedaan hukum taklifi dan hukum wadh’i

        Balas
  • Putri amelia nasution

    Apa saja tantangan dalam menerapkan konsep mahkum fih di dalam masyarakat modern

    Balas
  • Mita Raisa Hutabarat

    bagaimana perbedaan status mukallaf seperti dewasa, berakal dan bebas dapat mempengaruhi penerapan mahkum fih dalam hukum islam?

    Balas
  • May Elisa Sitompul

    Apa yang kamu ketahui tentang hakim hukum mahkum gih?
    Dan kapan perbuatan manusia dikategorikan sebagai objek hukum?

    Balas
  • Fikri Yandi

    Bagaimana masyarakat dapat memahami dan mendukung keputusan”mahkumfih”?

    Balas
  • Putri Sabrina Panggabean

    Mengapa pemahaman tentang mahkum fih menjadi penting dalam menerapkan hukum Islam?

    Balas
  • Coba jelaskan apa yang dimaksud dengan mahkum fih dan kapan perbuatan manusia dikategorikan sebagai obyek hukum?

    Balas
  • ZAHRA PANE

    Apa tantangan yang di hadapi dalam penerapan mahkum fih di negara negara dengan pluralitas agama ?

    Balas
  • Riska Annisa Fitri

    Apa yang menjadi objek hukum mahkum fih menurut Ushul fiqih?

    Balas
  • Ayu Hasanah Pohan

    Bagaimana cara menentukan mahkum fih dalam hukum dalam hukum syariah?

    Balas
  • Coba jelaskan apa yg dimaksud dengan mahkum fih dan kapan perbuatan manusia dikatagorikan hukum?

    Balas
  • Fifi Angraini

    Apa saja yg termasuk hukum taklifi dan hukum wadh’i

    Balas
  • Aisyah putri wahab piliang

    Apakah ada tantangan dalam menentukan mahkum fih pada zaman modern?

    Balas
  • Nur Jelita gultom

    Coba sebutkan dan jelaskan contoh mahkamuh fih dan mahkum ‘alaih dalam kehidupan sehari-hari

    Balas
  • Nur Jelita gultom

    kapan manusia dapat melakukan perbuatan hukum?

    Balas
  • Nurjuliantii

    jelaskan istinbath hukum dan alasan kenapa pentingnya implikasinya dalam kehidupan sehari-hari

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk