Hukum Pidana Islam: Larangan Membunuh Jiwa yang Dilindungi
TATSQIF ONLINE – Membunuh jiwa manusia tanpa alasan yang sah termasuk dosa besar dalam Islam. Allah SWT melarang keras penumpahan darah tanpa dasar yang benar dan menegaskan hukuman berat bagi pelakunya.
Syariat Islam menjaga kesucian nyawa manusia dengan menetapkan aturan ketat untuk melindunginya. Dalam Alquran Surat Al-Isra’ ayat 33, Allah SWT berfirman:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ وَمَنْ قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ ۖ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Untuk mendalami topik ini, kita akan menela’ah karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Buku ini berfungsi sebagai materi ajar dalam perkuliahan Qiraatul Kutub di Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).
Teks Asli dalam Buku:
قتل النّفس المعصومة بغير حقّ: قتل النّفس الّتي حرّم اللّه قتلها من أكبر الكبائر بعد الكفر باللّه، لأنّه اعتداء على صنع اللّه، واعتداء على الجماعة والمجتمع. قال اللّه تعالى: وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلاَّ بِالحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُوماً فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَاناً فَل يُسْرِف فِّي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُوراً. وقال تعالى: وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِناً مُّتَعَمِّداً فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِداً فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَاباً عَظِيماً. وقال رسول اللّه صلى الله عليه وسلم: اجتنبوا السّبع الموبقات، قيل: وما هنّ يا رسول اللّه؟ قال: الشّرك باللّه، والسّحر، وقتل النّفس الّتي حرّم اللّه إلاّ بالحقّ، وأكل الرّبا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات المؤمنات الغافلات
القتل المشروع: القتل المشروع هو ما كان مأذوناً فيه من الشّارع، وهو القتل بحقّ، كقتل الحربيّ والمرتدّ والزّاني المحصن وقاطع الطّريق، والقتل قصاصاً، ومن شهر على المسلمين سيفاً، كالباغي. وهذا الإذن من الشّارع للإمام لا للأفراد، لأنّه من الأمور المنوطة بالإمام، لتصان محارم اللّه عن الانتهاك، وتحفظ حقوق العباد، ويحفظ الدّين. وفي الحديث: لا يحلّ دم امرئ مسلم يشهد أن لا إله إلاّ اللّه، وأنّي رسول اللّه إلاّ بإحدى ثلاث: النّفس بالنّفس، والثّيّب الزّاني، المفارق لدينه التّارك للجماعة». وروي أنّ رسول اللّه صلى الله عليه وسلم قال: من شهر سيفه ثمّ وضعه فدمه هدر
أقسام القتل: يرى جمهور الفقهاء أنّ قتل النّفس بحسب القصد وعدمه ينقسم إلى ثلاثة أقسام: أ – قتل عمد. ب – قتل شبه عمد. ج – قتل خطأ. ويزيد الحنفيّة على ذلك ما أجري مجرى الخطأ، والقتل بسبب. ويعتبر بعض فقهاء الحنابلة ما أجري مجرى الخطأ والقتل بسبب قسماً واحداً، فالقتل عند بعض الحنابلة أربعة أقسام. أمّا المالكيّة فالقتل عندهم نوعان: عمد وخطأ
Teks dengan Tambahan Harakat
قتل النّفس المعصومة بغير حقّ: قَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ قَتْلَهَا مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ بَعْدَ الْكُفْرِ بِاللّهِ، لِأَنَّهُ اعْتِدَاءٌ عَلَى صُنْعِ اللّهِ، وَاعْتِدَاءٌ عَلَى الْجَمَاعَةِ وَالْمُجْتَمَعِ. قَالَ اللّهُ تَعَالَى : وَلاَ تَقْتُلُواْ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَمَن قُتِلَ مَظْلُومًا فَقَدْ جَعَلْنَا لِوَلِيِّهِ سُلْطَانًا فَلَا يُسْرِفْ فِي الْقَتْلِ إِنَّهُ كَانَ مَنْصُورًا. وَقَالَ تَعَالَى : وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا. وَقَالَ رَسُولُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ، قِيلَ : وَمَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللّهِ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللّهِ، وَالسِّحْرُ، وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ، وَأَكْلُ الرِّبَا، وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ، وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ، وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ
القتل المشروع: الْقَتْلُ الْمَشْرُوعُ هُوَ مَا كَانَ مَأْذُونًا فِيهِ مِنَ الشَّارِعِ، وَهُوَ الْقَتْلُ بِالْحَقِّ، كَقَتْلِ الْحَرْبِيِّ وَالْمُرْتَدِّ وَالزَّانِيِ الْمُحْصَنِ وَقَاطِعِ الطَّرِيقِ، وَالْقَتْلُ قِصَاصًا، وَمَن شَهَرَ عَلَى الْمُسْلِمِينَ سَيْفًا، كَالْبَاغِي. وَهَذَا الْإِذْنُ مِنَ الشَّارِعِ لِلْإِمَامِ لَا لِلْأَفْرَادِ، لِأَنَّهُ مِنَ الْأُمُورِ الْمُنُوطَةِ بِالْإِمَامِ، لِتُصَانَ مَحَارِمُ اللّهِ عَنْ الْانْتِهَاكِ، وَتُحْفَظَ حُقُوقُ الْعِبَادِ، وَيُحَافَظَ عَلَى الدِّينِ. وَفِي الْحَدِيثِ : لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ يَشْهَدُ أَن لَا إِلَهَ إِلَّا اللّهُ، وَأَنِّي رَسُولُ اللّهِ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاثٍ: النَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالثِّيِّبُ الزَّانِي، الْمُفَارِقُ لِدِينِهِ التَّارِكُ لِلْجَمَاعَةِ. وَرُوِيَ أَنَّ رَسُولَ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ شَهَرَ سَيْفَهُ ثُمَّ وَضَعَهُ فَدَمُهُ هَدَرٌ
أقسام القتل: يَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ قَتْلَ النَّفْسِ بِحَسَبِ الْقَصْدِ وَعَدَمِهِ يَنْقَسِمُ إِلَى ثَلاثَةِ أَقْسَامٍ : قَتْلٌ عَمْدٌ، قَتْلٌ شَبَهَ عَمْدٍ، قَتْلٌ خَطَأٌ. وَيَزِيدُ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى ذَلِكَ مَا أُجْرِيَ مَجْرَى الْخَطَأِ، وَالْقَتْلُ بِسَبَبٍ. وَيُعَتِّبُ بَعْضُ فُقَهَاءِ الْحَنَابِلَةِ مَا أُجْرِيَ مَجْرَى الْخَطَأِ وَالْقَتْلُ بِسَبَبٍ قِسْمًا وَاحِدًا، فَالْقَتْلُ عِندَ بَعْضِ الْحَنَابِلَةِ أَرْبَعَةُ أَقْسَامٍ. أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ فَالْقَتْلُ عِندَهُمْ نَوْعَانِ : عَمْدٌ وَخَطَأٌ
Terjemahan
Pembunuhan Jiwa yang Ma’shum Tanpa Hak
Pembunuhan jiwa yang diharamkan oleh Allah merupakan salah satu dosa terbesar setelah kekufuran, karena hal ini merupakan pelanggaran terhadap ciptaan Allah dan pelanggaran terhadap kelompok dan masyarakat. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar. Dan barang siapa yang dibunuh secara zalim, maka kami berikan hak kepada walinya, tetapi janganlah ia melampaui batas dalam membunuh, karena ia adalah orang yang dibantu,” (Q.S. Al-Isra: 33). Allah juga berfirman: “Dan barang siapa yang dengan sengaja membunuh seorang mukmin, maka balasannya adalah neraka, di mana ia kekal di dalamnya. Allah murka kepadanya, melaknatnya, dan menyediakan baginya azab yang besar,” (Q.S. An-Nisa: 93).
Rasulullah SAW bersabda: “Hindarilah tujuh dosa besar.” Mereka bertanya, “Apa saja itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, melarikan diri pada hari peperangan, dan menuduh perempuan-perempuan yang suci dan beriman.”
Pembunuhan yang Sah
Pembunuhan yang sah adalah tindakan yang diperbolehkan oleh syariat, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan alasan yang benar, seperti membunuh musuh, murtad, pelaku zina muhsan, perampok, dan pembunuhan sebagai qisas. Otoritas ini diberikan oleh syariat kepada pemimpin, bukan kepada individu, karena hal ini merupakan tanggung jawab pemimpin untuk menjaga kehormatan Allah, melindungi hak-hak manusia, dan menjaga agama. Dalam hadis disebutkan: “Tidak halal darah seorang Muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dalam tiga keadaan: jiwa dibalas dengan jiwa, pelaku zina yang telah menikah, dan orang yang murtad meninggalkan agamanya.” Nabi SAW juga bersabda: “Barang siapa yang menghunus pedangnya kemudian menyimpannya, maka darahnya dihalalkan.”
Kategori Pembunuhan
Para ulama sepakat bahwa pembunuhan jiwa, berdasarkan niat atau ketidakhadirannya, terbagi menjadi tiga kategori:
1. Pembunuhan sengaja (qathl ‘amd).
2. Pembunuhan yang mirip sengaja (qathl syabah al-‘amd).
3. Pembunuhan karena kesalahan (qathl khata).
Mazhab Hanafi menambahkan kategori lain yang setara dengan kesalahan dan pembunuhan yang terjadi karena hal tertentu. Beberapa ulama dari mazhab Hanbali menganggap bahwa kesalahan dan pembunuhan karena hal tertentu adalah satu kategori. Dalam pandangan sebagian ulama Hanbali, pembunuhan terbagi menjadi empat kategori. Sementara itu, menurut mazhab Maliki, pembunuhan terbagi menjadi dua kategori: sengaja dan tidak sengaja.
Mufradat (Kosa Kata)
اعْتِدَاءٌ (serangan, pelanggaran): Tindakan yang melanggar hak orang lain atau hukum.
الْمُجْتَمَعِ (masyarakat): Kumpulan individu yang hidup bersama dalam suatu komunitas.
مَظْلُومًا (teraniaya): Dalam keadaan di mana seseorang menjadi korban ketidakadilan.
سُلْطَانًا (kekuasaan): Kekuatan atau wewenang untuk mengatur atau memimpin.
اجْتَنِبُوا (jauhilah): Perintah untuk menghindari atau menjauhi sesuatu.
الْمُوبِقَاتِ (dosa-dosa yang membinasakan): Tindakan yang bisa menyebabkan kebinasaan di dunia atau akhirat.
الْحَرْبِيِّ (orang yang berperang): Individu yang terlibat dalam konflik bersenjata.
قَاطِعِ الطَّرِيقِ (perampok jalanan): Orang yang merampas harta atau melakukan kejahatan di jalan.
قَذْفُ (menuduh): Menyampaikan tuduhan terhadap seseorang tanpa bukti yang sah.
التَّوَلِّي (lari): Tindakan meninggalkan posisi atau tanggung jawab dalam situasi kritis, terutama dalam pertempuran.
Pemahaman Terhadap Isi Teks
Teks tersebut menjelaskan bahwa membunuh orang yang dilindungi dalam Islam merupakan salah satu dosa besar setelah kekufuran. Tindakan ini melanggar ciptaan Allah dan hak masyarakat, serta dapat menyebabkan ketidakstabilan dalam komunitas. Akibatnya, pelaku bisa menghadapi hukuman berat di akhirat, seperti yang diingatkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
Teks ini juga membahas tentang “pembunuhan yang sah,” yang mencakup tindakan-tindakan tertentu yang diizinkan oleh syariat, seperti membunuh musuh dalam peperangan, orang yang murtad, atau pelaku zina yang sudah menikah. Namun, hanya pihak yang berwenang, seperti pemerintah, yang bisa melakukan tindakan ini. Hal ini menunjukkan pentingnya aturan dan proses hukum dalam menangani masalah serius.
Pembunuhan dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan niat pelakunya: pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, pembunuhan yang terjadi karena kesalahan, dan pembunuhan setengah sengaja. Beberapa madzhab menambahkan kategori lain berdasarkan kondisi tertentu.
Secara keseluruhan, teks ini memberikan pemahaman yang jelas mengenai pandangan Islam terhadap pembunuhan. Ia menekankan pentingnya menjaga nyawa yang dilindungi, peran pemerintah dalam memberikan hukuman, dan konsekuensi dari tindakan kekerasan. Dalam ajaran Islam, membunuh bukan hanya dianggap sebagai pelanggaran hukum, tetapi juga sebagai pelanggaran moral dan spiritual yang sangat serius.
Kaidah Bahasa: Isim-isim Majrur
Isim yang di-khafadh-kan (majrur) adalah kata benda (isim) yang statusnya berubah menjadi majrur karena beberapa faktor tertentu dalam tata bahasa Arab. Secara sederhana, majrur berarti isim tersebut mengalami perubahan pada akhir kalimatnya dengan berbagai tanda, sesuai dengan shigat (pola) isimnya.
Tanda-tanda I’rab Khafadh (Jar)
1. Harakat Kasrah:
Tanda pengenal utama bagi i’rab jar, salah satunya terjadi karena huruf jar sebelum isim. Contoh:
a. Isim mufrad munsharif: كَتَبْتُ بِقَلَمٍ
b. Jamak taksir munsharif: أَقْرَأُ بِكُتُبٍ مُتَنَوِّعَةٍ
c. Jamak muannast salim: هِيَ تَذْهَبُ اِلَى الْمَسْجِدِ بِمُسْلِمَاتٍ اُخْرَى
2. Huruf Ya’:
Pengganti kasrah dalam i’rab jar, terdapat pada:
a. Asma’ul khamsah: اَذْهَبُ اِلَى السُّوْقِ بِاَخِيْكَ
b. Isim tatsniyah: أَذْهَبُ اِلَى الْمَكْتَبَةِ بِصَدِيْقَيْنِيْ
c. Jamak mudzakar salim: أَدْرُسُ فِيْ الْمَدْرَسَةِ بَالْمُجْتَهِدِيْنَ
3. Harakat Fathah:
Khusus untuk isim ghairu munsharif, yang tidak bisa menerima tanwin. Contoh: ذَهَبْتُ اِلَى مَسَاجِدَ.
Dengan demikian, ketiga tanda ini menjadi ciri khas i’rab khafadh yang penting dalam bahasa Arab. Ada beberapa sebab mengapa isim bisa di-khafadh-kan (majrur):
1. Karena Huruf Jar (حروف الجرّ)
Huruf jar adalah preposisi dalam bahasa Arab yang mengharuskan isim setelahnya menjadi majrur. Beberapa contoh huruf jar adalah: بِ (bi) – dengan, مِنْ (min) – dari, إِلَى (ilā) – ke, عَلَى (ʿala) – di atas, فِي (fī) – di dalam.
Contoh: ذَهَبْتُ إِلَى الْمَسْجِدِ (Saya pergi ke masjid), “الْمَسْجِدِ” menjadi majrur karena didahului oleh huruf jar “إِلَى”.
Contoh dari teks di atas:
a. “بِغَيْرِ” (bi-ghayri) — “بِ” adalah huruf jar, dan “غَيْرِ” menjadi majrur karena datang setelah huruf jar.
b. “بِالْحَقِّ” (bil-ḥaqqi) — “بِ” adalah huruf jar, dan “الْحَقِّ” majrur.
c. “مِنْ أَكْبَرِ” (min akbari) — “مِنْ” adalah huruf jar, dan “أَكْبَرِ” majrur.
d. “عَلَى” (ʿala) dan isim setelahnya juga menjadi majrur, seperti “عَلَى صُنْعِ اللَّهِ” (ʿala ṣun‘i Allāh).
2. Karena Idhafah (إضافة)
Idhafah adalah konstruksi kepemilikan, di mana isim pertama (mudhaf) tidak berubah harakatnya, tetapi isim kedua (mudhaf ilayh) menjadi majrur.
Contoh: كِتَابُ الطَّالِبِ (Buku pelajar) “الطَّالِبِ” menjadi majrur karena merupakan mudhaf ilayh dari “كِتَابُ”.
Contoh dari teks terdahulu:
a. “صُنْعِ اللَّهِ” (ṣun‘i Allāh) — “اللَّهِ” majrur karena menjadi mudhaf ilayh dari “صُنْعِ”.
b. “حُقُوقَ الْعِبَادِ” (ḥuqūqa al-‘ibād) — “الْعِبَادِ” majrur karena menjadi mudhaf ilayh dari “حُقُوقَ”.
c. “مَحَارِمُ اللَّهِ” (maḥārimu Allāh) — “اللَّهِ” majrur karena menjadi mudhaf ilayh dari “مَحَارِمُ”.
3. Karena Menjadi Sifat (Na‘at) atau Tabi‘ (تَابِع) dari Isim Majrur
Ketika sebuah isim menjadi sifat (na‘at) atau mengikuti isim yang majrur, maka sifat tersebut juga harus majrur. Dengan kata lain, jika kata benda yang dijelaskan majrur, maka sifatnya juga harus majrur. Contoh: مَرَرْتُ بِالْوَلَدِ الصَّالِحِ (Aku melewati anak yang saleh), “الصَّالِحِ” menjadi majrur karena merupakan sifat dari “الْوَلَدِ” yang majrur karena didahului oleh huruf jar “بِ”.
Contoh dari teks sebelumnya: “الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلَاتِ” (al-mu’mināti al-ghāfilāti) — “الْغَافِلَاتِ” adalah sifat dari “الْمُؤْمِنَاتِ”, dan keduanya majrur.
4. Karena Ma’tuf (عَطْفٌ)
Ma’tuf adalah kata benda yang dihubungkan dengan kata lainnya menggunakan huruf sambung (وَ – dan). Jika kata yang diikuti majrur, maka ma’tuf juga menjadi majrur. Contoh: مَرَرْتُ بِالْوَلَدِ وَالْبِنْتِ (Aku melewati anak laki-laki dan anak perempuan), “الْبِنْتِ” menjadi majrur karena mengikuti “الْوَلَدِ”, yang majrur karena didahului oleh huruf jar “بِ”.
Contoh dari teks: Kalimat بِحَسَبِ الْقَصْدِ وَعَدَمِهِ memiliki i’rab sebagai berikut: بِ adalah huruf jar yang tidak memiliki i’rab. Selanjutnya, حَسَبِ adalah isim majrur dengan harakat kasrah, yang i’rab-nya adalah مَجْرُورٌ بِجَرِّ البَاءِ. Kata الْقَصْدِ juga merupakan isim majrur (mudhaf ilayh) yang terkait dengan حَسَبِ, sehingga i’rab-nya adalah مَجْرُورٌ بِالْكَسْرَةِ. Kemudian, وَ berfungsi sebagai huruf athaf dan tidak memiliki i’rab. Terakhir, عَدَمِهِ adalah isim majrur yang terhubung dengan و, i’rab-nya adalah مَجْرُورٌ بِالْكَسْرَةِ, dengan ه sebagai dhamir mudzakar sebagai mudhaf ilayh. Wallahua’lam.
Maysarah Batubara (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)
Coba pemakalah jelaskan perbedaan antara huruf khafadh dengan huruf jar lainnya?
Bagaimana posisi majrur mempengaruhi struktur dan makna kalimat dalam bahasa Arab?
Coba pemakalah jelaskan apa yg dimaksud dengan ma’tuf , dan bagaimana ma’tuf dapat menyebabkan isim menjadi majrur ?
Coba pemakalah jelaskan terkait ma’tuf yang di ikuti oleh jar
izin bertanya kepada pemakalah, apa perbedaan isim majrur dan isim marfu’? serta berikan contoh keduanya
Apakah yang di maksud dengan isim yang menjadi sifat naat dan Kenapa sebuah isim yang menjadi sifat (na‘at) juga harus majrur,
Apa konsekuensi hukum dan moral dari melanggar larangan membunuh jiwa yang dilindungi?
apakah huruf atof dengan huruf jar berbeda?
Apa perbedaan i’rab antara isim yg menjadi mudhaf ilayh dan yg menjadi ma’tuf dalam suatu kalimat?
Coba saudari jelaskan kembali mengenai contoh kalimat teks yang sudah di buat saudari dimana letak yang menunjukkan isim bisa di khafadh- kan(Majrur)
Coba pemakalah berikan contoh idhafah di dalam teks yang pemakalah bahas!
Coba pemakalah jelaskan tanda-tanda i’rab jar khafadh yg terdapat pada “huruf ya”