Fiqh & Ushul Fiqh

Peran Ijtihad dalam Dinamika Hukum Islam Kontemporer

TATSQIF ONLINEIjtihad merupakan bagian dasar dalam sistem hukum Islam (syariah). Sejak zaman Nabi Muhammad SAW, ijtihad telah memainkan peran penting dalam mengatasi berbagai persoalan hukum, yang tidak secara eksplisit terdapat aturannya dalam Al-Qur’an atau Sunnah.

Perkembangan masyarakat dan munculnya situasi-situasi baru menuntut adanya solusi hukum yang relevan. Dalam konteks ini, ijtihad menjadi sarana penting untuk menerapkan prinsip-prinsip hukum Islam secara dinamis dan kontekstual.

Pengertian Ijtihad

Secara etimologis, kata ijtihad berasal dari bahasa Arab جهد yang berarti “usaha keras” atau “upaya sungguh-sungguh.” Dalam istilah hukum Islam, ijtihad adalah upaya seorang mujtahid untuk menggali hukum syar’i dari Al-Qur’an dan Sunnah ketika tidak ada teks yang secara langsung menjelaskan suatu permasalahan.

Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, ijtihad baru berfungsi saat tidak ada nash qath’i (teks dengan makna yang pasti) dari Al-Qur’an dan Sunnah, yang dapat secara langsung menjawab sebuah permasalahan. Oleh karena itu, ijtihad berfungsi sebagai instrumen fleksibel, yang memungkinkan hukum Islam berkembang seiring perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.

1. Al-Qur’an

Salah satu ayat Al-Qur’an yang menjadi dasar pentingnya ijtihad adalah Alquran Surah An-Nisa’ ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-Nya).”

Ayat ini mengisyaratkan pentingnya rujukan kepada Allah dan Rasul dalam menyelesaikan perselisihan, yang kemudian menjadi dasar bagi ijtihad. Ketika suatu persoalan tidak memiliki jawaban langsung dalam Al-Qur’an dan Sunnah, ijtihad hadir untuk menafsirkan hukum berdasarkan prinsip-prinsip yang ada.

2. Sunnah Nabi

Dalam hadis riwayat Mu’az bin Jabal, Nabi SAW memuji penggunaan ijtihad ketika Mu’az, saat Rasulullah SAW mengutusnya menjadi qadhi (hakim) ke Yaman, mengatakan bahwa ia akan berijtihad jika tidak menemukan jawaban di Al-Qur’an atau Sunnah. Nabi SAW bersabda:

اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ

Artinya:”Segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah dengan jalan yang diridhai oleh Rasulullah,” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi SAW mengakui dan menganjurkan ijtihad sebagai metode untuk menangani masalah-masalah yang aturannya tidak secara jelas atau tidak ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah.

3. Ijma’ (Konsensus Ulama)

Ijma’ atau konsensus para ulama adalah metode yang telah lama mendapat pengakuan dalam Islam sebagai salah satu sumber hukum, yang menjadi acuan ketika tidak ada nash yang qath’i. Dalam hal ini, ijtihad menjadi alat untuk mencapai ijma’, yang kemudian menghasilkan kesepakatan hukum dari para ulama.

Hukum ijtihad terbagi menjadi empat kategori: fardu a’in, fardu kifayah, sunnah, dan haram. Mujtahid harus melakukan ijtihad sebagai fardu a’in ketika ia bertindak untuk dirinya sendiri atau menjadi satu-satunya yang mampu mengisi kekosongan hukum.

Ketika ada persoalan baru dan banyak mujtahid yang bisa berijtihad, hukum ijtihad menjadi fardu kifayah. Cukup satu orang mujtahid yang berijtihad, akan menggugurkan kewajiban bagi yang lain.

Mujtahid sunnah melakukan ijtihad ketika menangani perkara yang belum terjadi atau saat ada permintaan untuk memberikan fatwa terkait masalah baru. Sebaliknya, haram melakukan ijtihad pada hukum yang sudah qath’i, seperti shalat wajib dan puasa Ramadan, atau oleh orang yang tidak memenuhi syarat, karena hal ini dapat menimbulkan keputusan yang keliru dan menyesatkan.

ijtihad terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan metode dan lingkup penerapannya.

1. Ijtihad Mutlaq

Ijtihad ini dilakukan oleh ulama yang memiliki kemampuan dan otoritas penuh untuk melakukan ijtihad dalam segala hal. Ulama yang melakukan ijtihad mutlaq disebut mujtahid mutlaq. Mereka adalah para pendiri mazhab, seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Ijtihad Mazhabi

Ijtihad ini dilakukan oleh ulama dalam ruang lingkup mazhab tertentu. Seorang mujtahid mazhabi melakukan ijtihad berdasarkan prinsip-prinsip mazhab yang telah ditetapkan oleh pendiri mazhab. Ijtihad ini tidak keluar dari mazhab induknya, tetapi bisa memperluas atau memperinci hukum yang sudah ada.

3. Ijtihad Juz’i (Parsial)

Ijtihad ini dilakukan dalam kasus-kasus khusus dan terbatas. Ulama yang melakukan ijtihad ini tidak memiliki otoritas penuh untuk menyusun hukum baru, melainkan hanya dalam ruang lingkup masalah tertentu yang memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Dalam ijtihad, seseorang harus memahami bahwa ada aspek yang bisa diijtihadi dan ada yang tidak. Aspek yang tidak bisa diijtihadi meliputi qath’iyus tsubut dan qath’iyud dilalah.

Qath’iyus tsubut mencakup hukum-hukum yang sudah pasti dan disepakati oleh seluruh ulama. Dua sumber utama dalam kategori ini adalah Al-Qur’an dan hadis mutawatir.

Al-Qur’an sudah diyakini berasal langsung dari Allah, dan hadis mutawatir diterima sebagai ajaran yang pasti dari Rasulullah SAW. Istilah lain untuk qath’iyus tsubut adalah qath’iyul wurud.

Qath’iyud dilalah mencakup hukum yang kebenarannya sudah diakui oleh seluruh ulama, tanpa perbedaan pendapat. Sebaliknya, ada hal-hal yang masih membuka ruang bagi ijtihad, yaitu:

1. Nash Qath’iyuts Tsubut wa Zhanniyud Dilalah

Al-Qur’an dan hadis mutawatir bisa memiliki hukum yang zhanni. Sebagai contoh Alquran Surah Al-Baqarah ayat 228:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوٓءٍ

Artinya: “Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali quru’.”

Ayat ini sudah jelas qath’i dalam ketetapannya. Namun, kata “quru’” masih menimbulkan perdebatan karena bisa berarti haid atau suci, sehingga membutuhkan ijtihad untuk menentukan tafsir yang tepat.

2. Nash Zhanniyuts Tsubut wa Qath’iyud Dilalah

Hadis ahad yang mengandung hukum qath’i, seperti hadis Rasulullah SAW:

فِي كُلِّ خَمْسٍ مِنَ الْإِبِلِ شَاةٌ

Artinya: “Dalam setiap lima unta wajib zakat satu kambing,” (HR Bukhari).

Hadis ini jelas menetapkan kewajiban zakat bagi pemilik lima unta, sehingga hukumnya qath’i. Namun, karena hadis ini tergolong hadis ahad, penetapan kebenaran sanadnya masih bersifat zhanni, sehingga membuka ruang ijtihad.

3. Nash Zhanniyuts Tsubut wa Zhanniyud Dilalah

Hadis ahad yang masih menyisakan ruang untuk ijtihad, baik dalam kandungan hukumnya maupun dalam penetapan sanadnya. Misalnya sabda Nabi SAW:

لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

Artinya: “Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca Al-Fatihah,” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menimbulkan perbedaan pendapat. Mazhab Syafi’i menganggap membaca Al-Fatihah sebagai syarat sah shalat, sementara Mazhab Hanafi menyatakan bahwa shalat tetap sah tetapi kurang sempurna. Dengan begitu, hadis ini memiliki dilalah zhanni.

4. Masalah yang Belum Memiliki Ketetapan dalam Nash (Al-Qur’an, Hadis) dan Ijma’

Ijtihad juga perlu untuk menyelesaikan permasalahan yang belum memiliki hukum dalam Al-Qur’an, hadis, atau ijma’. Contohnya, aplikasi Al-Qur’an digital, apakah sama seperti mushaf yang memerlukan perlakuan khusus dalam hal kesucian dan adab.

Dalam kasus-kasus ini, ulama menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, istihsan, qoul sahabi, maslahah mursalah, istishhab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan sadduz dzari’ah untuk memberikan solusi hukum.

Metode-Metode Ijtihad

Para ulama mengakui beberapa metode untuk melakukan ijtihad. Berikut di antaranya:

1. Qiyas (Analogi)

Qiyas adalah proses menyamakan hukum suatu perkara baru dengan perkara yang sudah ada berdasarkan kesamaan illat (alasan atau sebab hukum). Misalnya, hukum meminum khamar (minuman keras) haram karena illat-nya adalah memabukkan. Maka, zat lain yang memabukkan, seperti narkoba, juga haram dengan metode qiyas.

2. Istihsan (Preferensi Hukum)

Istihsan adalah meninggalkan hukum yang umum untuk menerapkan hukum yang lebih sesuai dengan kemaslahatan. Misalnya, dalam keadaan darurat, beberapa larangan syariat bisa menjadi longgar karena maslahat yang lebih besar.

3. Maslahah Mursalah (Kemaslahatan Umum)

Maslahah mursalah adalah pertimbangan kemaslahatan yang tidak terdapat dalam nash, namun sesuai dengan prinsip syariah. Prinsip ini banyak berfungsi dalam pengaturan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum, seperti regulasi lalu lintas atau aturan pelestarian lingkungan.

4. Sadd adz-Dzari’ah (Menutup Pintu Kerusakan)

Metode ini bertujuan untuk mencegah perbuatan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan atau mudarat. Misalnya, larangan terhadap transaksi yang mengandung unsur spekulasi yang dapat mengarah pada perjudian.

5. Istishab (Presumsi Keberlanjutan)

Istishab adalah metode menetapkan suatu hukum berdasarkan keadaan yang sudah ada, sampai ada bukti yang menunjukkan perubahan. Jika seseorang meyakini bahwa dirinya berada dalam keadaan suci, maka ia tetap dalam keadaan suci sampai terbukti bahwa wudhunya telah batal.

Fungsi Ijtihad

1. Ijtihad al-ruju’ (Kembali)

Memiliki fungsi untuk mengembalikan ajaran Islam kepada sumber aslinya, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah, dari berbagai penafsiran yang mungkin telah menyimpang. Dalam konteks ini, ulama bertugas untuk meneliti dan mengoreksi pemahaman yang kurang tepat.

Contohnya adalah penafsiran mengenai konsep jihad. Beberapa interpretasi menyempitkan makna jihad hanya sebagai peperangan, tetapi para ulama melakukan ijtihad untuk menjelaskan bahwa jihad dalam konteks Al-Qur’an juga meliputi perjuangan spiritual dan sosial.

Rujukannya terdapat dalam Alquran Surah Al-Ankabut ayat 69:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, Kami akan tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sungguh, Allah beserta orang-orang yang berbuat baik.”

Ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT akan menunjukkan jalan kepada orang-orang yang berjuang di jalan-Nya. Dengan demikian, para ulama mendorong umat Islam untuk memahami jihad sebagai upaya dalam memperbaiki diri dan masyarakat, bukan hanya dalam konteks perang.

2. Ijtihad al-ihya (Kehidupan)

Berguna untuk menghidupkan kembali nilai-nilai Islam agar tetap relevan dan memberikan solusi bagi tantangan zaman. Dalam hal ini, seorang mujtahid dapat menciptakan program yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan sehari-hari.

Misalnya, seorang pemimpin komunitas mengembangkan proyek pertanian berkelanjutan, yang berdasar pada prinsip-prinsip Islam tentang keadilan sosial dan tanggung jawab terhadap lingkungan. Ia merujuk pada ayat dan hadis yang menekankan pentingnya menjaga bumi dan sumber daya alam.

Proyek ini tidak hanya memberikan akses pangan bagi masyarakat, tetapi juga menyebarluaskan kesadaran tentang pentingnya lingkungan hidup. Hal ini menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat hidup dalam konteks modern untuk menjawab masalah-masalah sosial dan ekologis.

3. Ijtihad al-inabah (Pembenahan)

Berfungsi untuk melakukan perbaikan terhadap ajaran-ajaran Islam yang mungkin tidak sesuai atau sudah ketinggalan zaman. Seorang mujtahid yang berfokus pada pembenahan akan menganalisis kembali fatwa atau pendapat ulama terdahulu yang sudah tidak relevan.

Sebagai contoh, seorang mujtahid mempelajari fatwa mengenai larangan pekerjaan tertentu, yang merupakan hasil dari pemahaman konteks sosial yang berbeda pada zaman itu. Ia mengamati bahwa saat ini, banyak pekerjaan yang halal secara etika dan hukum, tetapi pada fatwa lama memiliki label hukum yang sebaliknya.

Dengan melakukan penelitian yang mendalam dan mempertimbangkan perubahan kondisi sosial, mujtahid menyusun fatwa baru yang membolehkan pekerjaan tersebut dengan catatan bahwa pekerjaan tersebut memenuhi etika Islam dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad al-inabah tidak hanya memperbaiki kesalahan, tetapi juga membantu umat Islam menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Dengan cara ini, setiap fungsi ijtihad menunjukkan betapa pentingnya upaya ini dalam mempertahankan keaslian ajaran Islam sambil tetap relevan dalam menghadapi tantangan yang berubah.

Syarat-Syarat Seorang Mujtahid

Tidak semua orang dapat berijtihad. Seorang mujtahid harus memenuhi syarat-syarat yang ketat agar ijtihadnya valid. Beberapa syarat tersebut antara lain:

1. Menguasai Al-Qur’an dan Sunnah

Seorang mujtahid harus memahami Al-Qur’an dan Sunnah secara mendalam, termasuk asbabun nuzul (latar belakang turunnya ayat) dan asbabul wurud (latar belakang hadis).

2. Menguasai Bahasa Arab

Karena sumber hukum Islam tertulis dalam bahasa Arab, seorang mujtahid harus mampu memahami bahasa Arab dengan baik, terutama tata bahasa (nahwu), morfologi (sharaf), dan balaghah (retorika).

3. Memahami Metodologi Ushul Fiqh

Seorang mujtahid harus memahami ilmu ushul fiqh, yaitu ilmu yang membahas tentang metode pengambilan hukum dari sumber-sumbernya.

4. Menguasai Ilmu Qiyas dan Hukum-Hukum Islam yang Ada

Pemahaman terhadap prinsip-prinsip qiyas dan hukum-hukum Islam yang sudah final menjadi prasyarat penting bagi seorang mujtahid.

5. Taqwa dan Integritas Moral

Seorang mujtahid harus memiliki integritas moral yang tinggi dan menjaga ketakwaannya agar hasil ijtihadnya tidak terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau hawa nafsu.

Relevansi Ijtihad di Era Kontemporer

Dalam dunia modern yang penuh dengan perubahan cepat, ijtihad memainkan peran yang sangat penting. Saat ini, umat Islam menghadapi banyak tantangan baru, seperti perkembangan teknologi, globalisasi, serta masalah etika kontemporer. Sebagai contoh, permasalahan dalam teknologi kesehatan seperti kloning, transplantasi organ, dan penggunaan kecerdasan buatan membutuhkan kajian hukum yang relevan.

Melalui ijtihad yang fleksibel dan dinamis, umat Islam dapat terus mempertahankan relevansi hukum syariat tanpa harus meninggalkan prinsip-prinsip dasar Islam. Pandangan ini menjadikannya sebagai jembatan penting antara syariah yang bersifat abadi dan dinamika kehidupan manusia yang terus berubah.

Annisa Addini Tanjung &
Awaliyah Putri Panjaitan (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

27 komentar pada “Peran Ijtihad dalam Dinamika Hukum Islam Kontemporer

  • Nurhidayah

    Apa hubungan ijtihad dengan sumber hukum Islam lainnya, seperti Al-Quran, Hadits, dan konsensus (ijma’)?

    Balas
  • JUNA MARTA SARI PANGGABEAN

    Mengapa ijtihad dianggap penting dalam konteks hukum Islam?

    Balas
  • Ilman Sarif

    Bagaimana pandangan ulama mengenai peran ijtihad dalam bidang-bidang non-hukum seperti tasawuf, filsafat, atau politik?

    Balas
  • Dewi sartika

    Bagaimana cara menerapkan hukum ijtihad di era modern ini?

    Balas
  • Rosmini

    Bagaimana jika seseorang yang berijtihad salah dalam ijtihadnya,Apa konsekuensinya?

    Balas
  • Nur zannah nasution

    Mengapa ijitihad seorang mujtahid sangat penting untuk menerapkan prinsip -prinsip islam?

    Balas
  • Pitri indah riskiani pohan

    Apakah hukum ijtihad masih berlaku hingga saat ini? Dan berikan contoh hukum ijtihad yang masih berlaku sampai sekarang?

    Balas
  • Lely suriyani siregar

    Apakah ijtihad masih bisa digunakan pada zaman sekarang ini?

    Balas
  • Alya Salsabilah

    Apa tujuan dari metode sadd adz-dzari ‘ah dalam ijtihad?Berikan contohnya

    Balas
  • FATIMAH

    Apakah ijtihad hanya untuk muslim saja

    Balas
  • Nurul Hilmi

    Dalam ruang lingkup ijtihad yang pertama, apa arti ” quru’ ” dalam konteks ayat tersebut, mengapa makna nya menjadi sumber perdebatan?

    Balas
  • Natasya Salsabina

    Apakah ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid selalu benar? Karena para mujtahid juga seorang manusia biasa, seandainya mereka melakukan kesalahan dalam berijtihad apa konsekuensi yang mereka dapat?

    Balas
  • Hamida

    Apakah pengertian ijtihad bila di kaitkan dengan pemikiran modern

    Balas
  • Rizki Fadilah

    Apa alasannya mengapa tidak semua orang bisa melakukan ijtihad?

    Balas
  • zakiah dewi siregar

    Apakah hukum melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang belum terjadi dan apakah ijtihad bisa dilakukan oleh semua orang?

    Balas
  • Artika Sari MTD

    Mengapa dalam Islam perlu ada ijtihad?

    Balas
  • Dinda arisha

    seberapa urgensi kah ijtihad di era globalisasi saat ini?

    Balas
  • Marlina Triyani Harahap

    Mengapa istihsan dapat dijadikan sumber hukum Islam menurut pendapat ulama yang menerimanya

    Balas
  • Padilah rahmi

    Apakah hukum melakukan ijtihad terhadap suatu masalah yang belum terjadi dan apakah ijtihad bisa dilakukan oleh semua orang?

    Balas
  • Atika Lestari Rambe

    Apakah dalam beribadah kita memerlukan ijtihad, coba jelaskan!

    Balas
  • Fatimah yani hasibuan

    Siapa sajakah yang diperbolehkan untuk berijtihad?

    Balas
    • Ismail Marzuki

      Bagaimana ijtihad dapat membantu menyesuaikan hukum Islam dengan tantangan globalisasi?

      Balas
  • Nur dzakiyyah Putri Hasbi

    bagaimana ijtihad dikaitkan dengan pemikiran modern?

    Balas
  • Padilah siregat

    Bagaimana korelasi ijtihad dengan hadist dan Al Quran?

    Balas
  • Imam Alwie Siregar

    Apakah ijtihad akan berkembang SeSuai perkembangan zaman?

    Balas
  • Tiara hennisa dasopang

    Coba sebutkan seberapa penting ijtihat bagi agama islam?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk