Hukum dalam Ushul Fiqih: Menelusuri Makna dan Aplikasinya
TATSQIF ONLINE – Dalam disiplin ilmu Ushul Fiqih, hukum Islam atau al-hukm secara etimologis berarti “memutuskan” atau “mencegah“. Dalam terminologi Ushul Fiqih, istilah ini merujuk pada ketentuan yang sudah Allah SWT tetapkan, yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf.
Mukallaf adalah sebutan untuk orang yang telah dewasa dan berakal sehat, serta bertanggung jawab atas perbuatannya. Hukum tersebut mencakup perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, serta ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang (mani’).
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, ketentuan-ketentuan Allah tidak hanya tercantum dalam teks Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi juga melalui ijma’ (konsensus ulama), qiyas (analogi hukum), dan dalil-dalil hukum lainnya. Pemahaman tentang ketentuan ini membentuk dasar dari hukum taklifi dan hukum waḍ’ī dalam Ushul Fiqih.
Macam-Macam Hukum Islam
Hukum dalam Ushul Fiqih terbagi menjadi dua kategori utama, yakni hukum taklifi dan hukum waḍ’ī.
1. Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah ketentuan langsung yang mengatur perbuatan orang mukallaf dalam bentuk perintah, larangan, atau anjuran. Abdul Wahab Khallaf membagi hukum taklifi menjadi lima jenis, yaitu:
a. Wajib: Perbuatan yang diwajibkan oleh Allah dan jika dilakukan mendapat pahala, sedangkan jika ditinggalkan akan berdosa. Misalnya, shalat lima waktu adalah kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan.
b. Mandub: Perbuatan yang dianjurkan, di mana pelakunya mendapat pahala, namun tidak berdosa jika ditinggalkan. Contoh paling umum adalah shalat sunnah.
c. Haram: Perbuatan yang dilarang dan pelakunya berdosa jika melanggar, seperti larangan berzina atau mencuri.
d. Makruh: Perbuatan yang dianjurkan untuk ditinggalkan, tetapi tidak berdosa jika dilanggar. Misalnya, menggunakan air berlebihan saat wudhu di siang hari Ramadan.
e. Mubah: Perbuatan yang diberi kebebasan untuk dilakukan atau tidak, tanpa ancaman pahala atau dosa. Sebagai contoh, makan dan minum adalah mubah, tetapi ada batasan yang harus diperhatikan terkait waktu dan tujuan.
2. Hukum Waḍ’ī
Ushul Fiqih mengatur hubungan antara sebab, syarat, dan mani’ (penghalang hukum). Hukum waḍ’ī menetapkan kondisi-kondisi tertentu yang menyebabkan adanya atau tidak adanya hukum. Secara umum, hukum waḍ’ī terbagi dalam tiga elemen, yaitu:
Sebab (Asbab):
Dalam hukum waḍ’ī adalah faktor atau kondisi yang menjadikan adanya suatu hukum. Sebab di sini merupakan tanda yang ditetapkan oleh syari’at untuk menunjukkan bahwa hukum tertentu berlaku.
Sebagai contoh, masuknya waktu shalat adalah sebab wajibnya pelaksanaan shalat. Artinya, apabila waktu shalat tiba, maka kewajiban untuk melaksanakan shalat muncul. Sebab juga terbagi menjadi dua kategori:
1. Sebab yang tidak bergantung pada perbuatan mukallaf: Misalnya, tergelincir matahari yang menjadi sebab bagi kewajiban melaksanakan shalat dzuhur. Ini merupakan sebab yang berada di luar kendali manusia.
2. Sebab yang bergantung pada perbuatan mukallaf: Misalnya, perjalanan yang menyebabkan seseorang boleh tidak berpuasa di siang hari Ramadhan. Perjalanan adalah perbuatan mukallaf yang menjadi sebab keringanan puasa.
Syarat (Syurut):
Dalam hukum waḍ’ī adalah kondisi yang harus ada agar suatu hukum atau perbuatan menjadi sah atau berlaku. Syarat tidak menjadi bagian dari perbuatan hukum itu sendiri, tetapi sangat penting untuk menentukan keberlakuan atau kesahan hukum tersebut.
Misalnya, berwudhu adalah syarat sahnya shalat. Jika seseorang tidak berwudhu lalu melaksanakan shalat, maka shalatnya tidak sah karena syarat sahnya tidak terpenuhi. Syarat ini terbagi menjadi dua kategori utama:
1. Syarat Syar’i: Syari’at menetapkan syarat ini secara langsung. Misalnya, kedua mempelai harus memenuhi kecakapan untuk melakukan akad nikah, yaitu berakal sehat, baligh, dan tidak dalam keadaan terpaksa.
2. Syarat Ja’li: Manusia menentukan syarat-syarat dalam pelaksanaan akad atau perjanjian. Contohnya, seseorang bisa menambahkan syarat dalam perjanjian jual beli, seperti kewajiban melakukan pembayaran dalam jangka waktu tertentu agar akad menjadi sah.
Penting untuk dipahami bahwa syarat berbeda dengan rukun. Syarat berada di luar hakikat suatu perbuatan hukum, sedangkan rukun adalah bagian dari perbuatan hukum itu sendiri. Misalnya, dalam shalat, rukun seperti berdiri merupakan bagian dari hakikat shalat itu sendiri, sedangkan wudhu adalah syarat yang berada di luar pelaksanaan shalat, tetapi menentukan keabsahannya.
Mani’ (Penghalang):
Mani’ adalah faktor yang menjadi penghalang bagi keberlakuan hukum atau penghalang bagi berfungsinya sebab. Artinya, meskipun sebab sudah ada, mani’ dapat menghalangi terjadinya konsekuensi hukum tersebut.
Misalnya, seseorang yang melakukan akad perkawinan yang sah seharusnya memiliki hak waris, namun jika ia membunuh pasangannya, mani’ dalam bentuk tindak pidana tersebut menghalanginya dari hak waris. Mani’ ini membuat konsekuensi hukum yang seharusnya muncul menjadi tidak berlaku. Mani’ juga terbagi menjadi dua jenis:
1. Mani’ al-Hukm: Penghalang yang mencegah adanya suatu hukum. Misalnya, seorang wanita yang sedang haid terhalang oleh syari’at untuk melaksanakan shalat atau puasa. Dalam hal ini, keadaan haid menjadi mani’ bagi kewajiban ibadah tersebut.
2. Mani’ al-Sabab: Penghalang yang mencegah berlakunya sebab, sehingga walaupun sebab ada, akibat hukumnya tidak muncul. Sebagai contoh, jika seseorang memiliki harta yang cukup untuk dikenai zakat, tetapi ia juga memiliki hutang yang lebih besar dari hartanya, maka hutang tersebut menjadi mani’ al-sabab yang menghalangi kewajiban zakat pada harta tersebut.
Hukum waḍ’ī dalam konsep Ushul Fiqih sangat penting untuk memahami hubungan antara syarat, sebab, dan mani’. Ketiga elemen ini bekerja dalam sistem yang memastikan bahwa pelaksanaan hukum taklifi (kewajiban atau larangan) berjalan dengan benar sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat tertentu. Tanpa pemahaman yang mendalam mengenai hukum waḍ’ī, penerapan hukum Islam dapat mengalami kekeliruan, terutama dalam menentukan syarat sahnya suatu tindakan atau penghalang dari berlakunya hukum tertentu.
Mahkūm ‘Alaih (Subjek Hukum)
Dalam Ushul Fiqih, maḥkūm ‘alaih mengacu pada subjek hukum yang perbuatannya dikenai hukum Allah. Biasanya, istilah ini berlaku untuk orang yang sudah mukallaf, yaitu seseorang yang telah baligh, berakal sehat, dan bebas dari faktor-faktor penghalang yang bisa mengurangi kecakapan bertindak hukumnya. Pada umumnya, maḥkūm ‘alaih adalah individu, bukan badan hukum.
Namun, perkembangan zaman telah mengubah pandangan ini, terutama ketika peraturan perundang-undangan Islam memasukkan badan hukum sebagai subjek hukum, sebagaimana terlihat pada pengaturan tentang muzakki (orang yang wajib zakat), wakif (pemberi wakaf), dan nazir (pengelola wakaf). Badan hukum kini dapat menjadi subjek hukum dalam konteks Islam, memperluas cakupan maḥkūm ‘alaih yang semula hanya berlaku bagi individu.
Ahliyah (Kecakapan Hukum)
Ahliyah adalah istilah yang merujuk pada kecakapan hukum seseorang untuk memiliki hak dan menjalankan kewajiban dalam hukum Islam. Kecakapan ini mencakup dua jenis utama:
a. Ahliyah al-Wujud: Kecakapan yang diperoleh karena eksistensi seseorang. Ini bisa berupa Ahliyah al-Wujud al-Kamilah (kecakapan sempurna yang dimiliki oleh orang dewasa yang memenuhi syarat), atau Ahliyah al-Wujud an-Naqishah (kecakapan yang belum sempurna, seperti pada janin yang belum lahir).
b. Ahliyah al-Taklif: Kecakapan untuk menerima tanggung jawab hukum, yang mencakup kewajiban shalat, puasa, dan kewajiban hukum lainnya.
Untuk memiliki ahliyah, seseorang harus memenuhi beberapa syarat, termasuk berakal, baligh, dan merdeka. Orang yang tidak memiliki salah satu dari syarat ini tergolong tidak memiliki kecakapan hukum sepenuhnya.
‘Awaridh Ahliyah (Halangan-Halangan Ahliyah)
‘Awaridh ahliyah adalah halangan atau kondisi yang mengurangi atau bahkan menghilangkan kecakapan hukum seseorang. Halangan ini terbagi menjadi dua jenis:
a. Awaridh As-Samawiyah: Halangan yang berasal dari faktor luar yang tidak bisa dikontrol manusia, seperti kematian, gila, atau kebutaan. Kondisi ini menghilangkan atau mengurangi kecakapan hukum seseorang. Misalnya, seseorang yang mengalami gangguan mental berat tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum.
b. Awaridh al-Insaniyah: Halangan yang berasal dari tindakan atau kondisi manusia, seperti perbudakan atau kefakiran. Seseorang yang menjadi budak, misalnya, tidak memiliki kecakapan penuh untuk bertindak atas namanya sendiri. Demikian juga, kefakiran bisa menjadi halangan dalam menjalankan kewajiban-kewajiban tertentu, seperti membayar zakat.
Kesimpulan
Kajian tentang al-hukm, maḥkūm ‘alaih, ahliyah, dan ‘awaridh ahliyah memberikan landasan penting dalam memahami bagaimana hukum Islam bekerja, baik dalam konteks perorangan maupun badan hukum. Hukum Islam terus berkembang untuk menyesuaikan dengan perubahan sosial dan hukum yang terjadi. Pengakuan badan hukum sebagai subjek hukum, misalnya, menunjukkan bahwa hukum Islam memiliki fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Memahami konsep-konsep ini sangat penting bagi siapa pun yang ingin mendalami hukum Islam dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Para ahli terus melakukan ijtihad untuk menyesuaikan hukum Islam dengan realitas modern sambil tetap mengedepankan prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan ajaran Islam.
Fadil Igabsa, Nurjannah, Perianti Nasution & Riska Amanda (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apa pengaruh atau pun penyebab perubahan zaman dan perubahan tempat terhadap penerapan hukum dalam Ushul Fiqih?
Sebutkan apa yang terjadi jika hukum dalam ushul fiqih tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari?
Kenapa hukum Ushul fiqih menyesuaikan dengan perubahan sosial dan hukum yg terjadi
Sebutkan apa yang terjadi jika hukum dalam ushul fiqih tidak diterapkan atau diamalkan dalam masyarakat?
apa dampak nya bagi seseorang yang tidak memiliki Ahliyah(kecakapan hukum) dalam melakukan suatu hukum?
Bagaimana pengaruh ‘awarid ahliyah terhadap status hukum seseorang?
Bagaimana penggunaan dalil dalam ushul fiqih mempengaruhi keputusan hukum?
apa definisi ushul fikih dan bagaimana peran nya dalam pembentukan hukum Islam
apakah pengertian tauhid dan bagaimana penerapan nya dalam kehidupan sehari hari?
Bagaimana peran Al-Hukm dalam menyelesaikan konflik antara hukum Islam dan hukum negara?
Bagaimana cara memperkenalkan hukum Ushul fiqih kepada masyarakat yg sudah terlanjur mengikuti kebiasaan yg seharusnya tidak dikerjakan?
Apa saja tantangan yang dihadapi oleh para ulama dalam menerapkan Ushul Fiqih di era modern?
Bagaimana kedudukan ushul fiqh dalam perkembangan Islam?
Apa perbedaan antara hukum taklifi dan hukum wad’i dalam usul fikih?
Bagaimana hukum taklifi dapat diterapkan dalam konteks modern seperti dalam bidang teknologi atau sains?
Jelaskan penyebab hukum Sunnah menjadi wajib dalam hukm fiqh Islam karena bnyak dilihat sekarang ini orang -orang membenarkan suatu perkara tanpa mengetahui hukum yng jelas.
Bagaimana penerapan hukum taklifi pada kehidupan sehari-hari?
Jelaskan apa yang dimaksud mahkum alaih dan sebutkan syarat-syarat nya
Apa peran penting ilmu usul al-fiqh dalam berpikir kritis dalam konteks hukum Islam?
Apa yang melatarbelakangi munculnya ilmu ushul fiqih?
Mengapa tidak semua baligh bisa dikatakan mukallaf?
Apa hubungan antara mahkum fih dan mahkum alaih?
Apa saja yang menjadi objek hukum mahkum fih
Apa yang menjadi dasar utama dalam menetapkan hukum dalam usul fiqih
Bagaimana kategori orang yang tidak tergolong mahkum ‘ilaih
Seberapa penting penerapan Ushul fiqih ini di indonesia
We are sorry for the inconvenience. The page you’re trying to access does not exist or has been removed.
Bagaimana menurut pemakalah ahliyah mempengaruhi kemampuan seseorang untuk melakukan transaksi hukum?