Fiqh & Ushul Fiqh

Hukum Wadh’i: Konsep Penting dalam Penerapan Hukum Syara’

TATSQIF ONLINE Sebagai bagian dari kajian ushul fiqh, pemahaman mengenai hukum syara’ menjadi sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Hukum syara’ mencakup berbagai aturan dan norma yang berasal dari syariat Islam. Salah satu komponen utamanya adalah pembagian hukum ke dalam dua kategori: hukum taklifi dan hukum wadh’i.

Hukum wadh’i memiliki peran sentral dalam mengatur interaksi antara berbagai aspek dalam kehidupan seorang Muslim. Dengan memahami hukum ini, seseorang tidak hanya mampu menjalankan ibadah dan kewajiban lainnya, tetapi juga dapat memahami batasan dan syarat yang berlaku dalam syariat.

Secara etimologis, kata “wadh’i” berasal dari bahasa Arab “wadha`a,” yang berarti menempatkan, meletakkan, atau menjadikan. Dalam konteks hukum syara’, hukum wadh’i adalah hukum yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi sesuatu yang lain.

Menurut Abu Zahrah dalam bukunya Usul al-Fiqh, hukum wadh’i adalah hukum yang tidak dapat dipisahkan dari hukum taklifi, karena hukum ini memberikan landasan untuk melaksanakan hukum taklifi. Tanpa adanya hukum wadh’i, tidak akan ada peraturan yang mengatur bagaimana penerapan hukum taklifi dalam kehidupan sehari-hari.

Hukum wadh’i tidak selalu berhubungan langsung dengan tindakan manusia, tetapi dapat berbentuk ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Ada enam kategori utama hukum wadh’i, yaitu:

1. Sebab

Sebab adalah kondisi yang menimbulkan hukum syara’. Dalam hal ini, sebab berfungsi sebagai tanda untuk pelaksanaan hukum tertentu. Misalnya, status balig menjadi sebab untuk melaksanakan kewajiban menutup aurat. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surah An-Nur ayat 31:

وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ

Artinya: “Dan katakanlah kepada perempuan yang beriman agar mereka menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya, dan agar mereka tidak menampakkan perhiasannya, kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dada mereka.

Ayat ini menunjukkan bahwa perempuan wajib menjaga pandangan dan menutup aurat, serta menjelaskan pentingnya menutupi bagian tubuh yang seharusnya tidak terlihat oleh orang lain.

Selain itu, hadis Rasulullah SAW juga menegaskan tentang batasan aurat bagi wanita. Dalam sebuah hadis, beliau bersabda:

يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْه

Artinya: “Wahai Asma, sesungguhnya seorang wanita itu jika sudah haid (sudah balig), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini,” sambil menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya,” (HR Abu Daud).

Hadis ini secara jelas menunjukkan bahwa wanita yang telah balig hanya boleh menunjukkan wajah dan telapak tangan mereka. Hal ini menegaskan betapa pentingnya menutup aurat dalam Islam.

2. Syarat

Syarat adalah ketentuan yang harus ada agar sesuatu dapat menjadi sah. Dalam hal ini, syarat menjadi prasyarat untuk keberlakuan hukum tertentu. Contoh yang jelas adalah wudhu, yang merupakan syarat sah untuk melaksanakan shalat. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بغير طُهُورٍ

Artinya: “Tidak ada shalat yang diterima tanpa berwudhu,” (HR Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa syarat utama agar shalat sah dan diterima oleh Allah adalah dalam keadaan suci dari hadas, yang dicapai melalui wudhu atau taharah. Ini menunjukkan pentingnya menjaga kebersihan spiritual dan fisik sebelum melaksanakan ibadah shalat sebagai bentuk pengabdian kepada Allah.

3. Mani’ (Penghalang)

Mani’ berarti sesuatu yang menghalangi terjadinya hukum. Dalam konteks ini, mani’ adalah ketentuan yang melarang seseorang untuk melaksanakan haknya. Misalnya, seseorang yang murtad kehilangan hak untuk mewarisi. Dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 217, Allah SWT berfirman:

وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَٰئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

Artinya: “Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat.”

Ayat ini menunjukkan bahwa murtad menjadi penghalang yang menghapus hak dan kewajiban dalam Islam. Salah satu akibatnya adalah orang yang murtad tidak berhak saling mewarisi dengan kerabatnya yang Muslim.

Rasulullah SAW bersabda:

لا يرثُ المسلمُ الكافرَ، ولا يَرِثُ الكافرُ المسلمَ

Artinya: “Seorang Muslim tidak mewarisi seorang kafir, dan seorang kafir tidak mewarisi seorang Muslim,” (HR Bukhari dan Muslim).

4. A’zimah

A’zimah, yang berarti ketetapan, komitmen, atau keputusan, adalah hukum yang berlaku berdasarkan dalil syar’i yang tidak bertentangan dengan dalil lain. Hukum a’zimah bersifat umum dan berlaku bagi semua Muslim yang telah balig.

Sebagai contoh, kewajiban shalat lima waktu merupakan a’zimah yang wajib dilaksanakan oleh setiap Muslim. Dalam hadis, Rasulullah SAW bersabda:

بُنِيَ الإسلامُ على خمسٍ: شهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدًا رسول الله، وإقامة الصلاة، وإيتاء الزكاة، وصوم رمضان، وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلًا

Artinya: “Islam dibangun atas lima pokok: Syahadat bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; memberikan zakat; berpuasa di bulan Ramadan; dan menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu melaksanakannya,” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menekankan lima pilar utama yang menjadi dasar ajaran Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa, dan haji. Dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, seorang Muslim menunjukkan komitmennya dalam beribadah kepada Allah dan menerapkan prinsip-prinsip syariat Islam dalam kehidupannya.

5. Rukhsah

Rukhsah adalah keringanan atau dispensasi yang diberikan dalam kondisi tertentu, memungkinkan kelonggaran dalam menjalankan hukum syariat. Misalnya, seseorang yang sakit boleh tidak berpuasa. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Baqarah ayat 184:

فَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Artinya: “Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memberikan rukhsah kepada hamba-Nya yang memiliki udzur (halangan). Mereka wajib mengganti puasa tersebut pada hari-hari lain di luar bulan Ramadhan, setelah mereka sembuh atau kembali dari perjalanan.

6. Sah dan Batal

Sah: Sah merupakan salah satu kategori hukum dalam Islam yang menunjukkan bahwa suatu tindakan telah terlaksana sesuai dengan ketentuan syariat. Sebagai contoh ibadah yang sah adalah shalat yang memenuhi seluruh rukun dan syaratnya.

Batal: Batal merupakan salah satu hukum dalam Islam yang menunjukkan bahwa suatu tindakan tidak sesuai dengan ketentuan syariat. Contohnya, pelaksanaan shalat tanpa memenuhi rukun yang benar, seperti tidak melakukan gerakan rukuk atau sujud.

Hukum taklifi dan hukum wadh’i adalah dua jenis hukum yang berbeda, namun saling terkait. Hukum taklifi mencakup perintah, larangan, ataupun pilihan yang langsung tertuju kepada mukallaf, sedangkan hukum wadh’i memberikan konteks bagaimana penerapan hukum taklifi.

Secara umum, hukum taklifi adalah tuntutan yang bersifat langsung, di mana mukallaf harus melaksanakan, meninggalkan, atau memilih antara keduanya. Ia terbagi dalam lima kategori: wajib, mandub, haram, makruh, dan mubah. Hanya umat Muslim yang telah balig dan berakal yang wajib mengemban hukum ini.

Hukum wadh’i tidak langsung memuat perintah, larangan, atau pilihan, tetapi mengatur kondisi penerapan hukum taklifi. Ia menjalin hubungan antara sebab, syarat, dan penghalang, serta berfungsi sebagai landasan bagi pelaksanaan hukum taklifi.

Ulama sepakat bahwa hukum syara’ terbagi menjadi dua kategori: hukum taklifi dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang terambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, sementara hukum wadh’i berfungsi sebagai hukum bagi hukum perbuatan.

Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa terdapat perbuatan yang secara taklifi hukumnya haram, tetapi secara wadh’i hukumnya sah. Misalnya, berbohong dalam situasi tertentu untuk menyelamatkan nyawa seseorang bisa menjadi tindakan yang sah, meskipun secara taklifi berbohong adalah haram.

Ummu Kultsum binti Uqbah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 لم أسمَعْ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ يرخَّصُ في شيءٍ مِمَّا يقولُ النَّاسُ إنَّه كذِبٌ إلَّا في ثلاثٍ : الرَّجلُ يُصلِحُ بينَ النَّاسِ والرَّجُلُ يكذِبُ لامرأتِهِ والكذِبُ في الحَربِ

Artinya: “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah SAW memberi keringanan dalam hal yang dianggap orang sebagai kebohongan, kecuali dalam tiga perkara: seorang laki-laki yang mendamaikan antara manusia, seorang laki-laki yang berbohong kepada istrinya, dan kebohongan dalam peperangan,” (HR Abu Dawud).

Hadis ini menegaskan bahwa Rasulullah SAW membolehkan kebohongan hanya dalam tiga keadaan, yaitu untuk mendamaikan orang yang berselisih, menjaga hubungan baik dalam rumah tangga, dan strategi dalam peperangan. Ketiga situasi ini mendapatkan pengecualian karena bertujuan untuk mencapai maslahat atau menghindari keburukan yang lebih besar.

Hukum wadh’i merupakan komponen penting dalam kajian ushul fiqh. Setiap Muslim perlu memahaminya dengan baik Dan benar. Hukum ini mencakup berbagai aspek yang menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang bagi hukum lainnya. Dengan memahami hukum wadh’i, individu dapat lebih mudah menjalani kehidupan sesuai dengan prinsip-prinsip syariat Islam.

Selain itu, hukum wadh’i dan hukum taklifi saling terkait, di mana hukum taklifi memberikan panduan tentang tindakan mukallaf, sementara hukum wadh’i memberikan kerangka untuk memahami konteks di mana hukum tersebut diterapkan. Memahami kedua jenis hukum ini adalah kunci untuk menerapkan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari dengan baik dan benar. Wallahua’lam.

Nurjulianti (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

8 komentar pada “Hukum Wadh’i: Konsep Penting dalam Penerapan Hukum Syara’

  • Fikri Yandi

    Apa contoh kondisi yang membuat suatu hukum wadh’i menjadi batal atau tidak berlaku?

    Balas
  • Julina lubis

    Bagaimana hukum wadh’i dapat mempengaruhi keabsahan sebuah perjanjian dalam fiqih

    Balas
  • May Elisa Sitompul

    Apakah antara hukum taklifi dengan hukum wad’i berhubungan?
    Jika Ya, kenapa? Padahal pendapat hukum wad’i dengan hukum taklifi berbeda.

    Balas
  • Putri Sabrina Panggabean

    Apa peran hukum taklifi dalam menentukan kewajiban seorang Muslim

    Balas
  • Siti halima

    Dibagi menjadi berapakah hukum wadh’i yang dijelaskan dalam kitab Ushul fikih ?

    Balas
  • ZAHRA PANE

    Apa perbedaan antara sebab, syarat, dan penghalang dalam hukum wadhi?

    Balas
  • Aisyah putri wahab piliang

    Apakah ada kemungkinan pertentangan antara hukum taklifi dan hukum wadhi ? Jika ,bagaimana cara mengatasinya?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk