Al-Qur’an dan Hadis: 2 Sumber Hukum Islam yang Tak Terpisahkan
TATSQIF ONLINE – Allah SWT menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah SAW sebagai petunjuk bagi orang-orang bertakwa dan dustur (konstitusi) bagi kaum Muslimin. Al-Qur’an juga menjadi obat dan penyembuh bagi mereka yang dikehendaki-Nya, serta penerang bagi orang-orang yang beruntung di dunia dan akhirat.
Di dalamnya terdapat syariat, adab, kabar gembira, ancaman, kisah-kisah, tauhid, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Keabsahan Al-Qur’an telah dipastikan dan disepakati, sehingga siapa pun yang meragukan satu ayat, satu kalimat, atau satu huruf darinya bukanlah seorang mukmin.
Para sahabat menerima penjelasan tentang ayat-ayat Al-Qur’an langsung dari Rasulullah, termasuk penjabaran hukum yang global serta perincian kaidah umum dan hukum-hukum lainnya. Sunnah, yang merupakan contoh hidup Rasulullah, diakui oleh Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang kedua.
Al-Qur’an mengukuhkan sunnah sebagai sumber hukum setelahnya, yang menunjukkan kedekatan hubungan keduanya. Karena itu, mustahil seseorang hanya berpegang pada Al-Qur’an tanpa sunnah, dan tindakan seperti itu dikenal sebagai pengingkaran terhadap sunnah (inkâr al-sunnah).
Sunnah berfungsi sebagai penjelas Al-Qur’an dan menyingkap rahasia kandungannya. Muhammad Musthafa al-Siba‘iy dalam bukunya Al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, menyebutkan bahwa sunnah memiliki peran krusial dalam memahami syariat Islam secara keseluruhan.
Pengertian Dalil Al-Sunnah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sunnah atau sunah adalah aturan agama yang didasarkan atas segala apa yang dinukilkan dari Nabi Muhammad SAW, baik perbuatan, perkataan, sikap, maupun kebiasaan yang tidak pernah ditinggalkannya. Secara etimologi, sunnah dalam bahasa Arab berasal dari kata “sanna, yasunnu, sunnah wa sannan” yang berarti kebiasaan atau hal yang biasa dilakukan. Secara istilah, sunnah adalah jalan yang ditempuh oleh Rasulullah dan para sahabatnya, mencakup ilmu, keyakinan, ucapan, perbuatan, dan penetapan.
Sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an dan tercermin dalam kumpulan hadis Rasulullah. Dengan demikian, hadis memiliki kedudukan sebagai sumber hukum yang utama setelah Al-Qur’an. Sunnah mencerminkan teladan terbaik yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW.
Pembagian Sunnah
Berdasarkan bentuk penyampaiannya, sunnah terbagi menjadi tiga:
a. Sunnah Qauliyyah (perkataan):
Berupa ucapan Rasulullah SAW, umumnya berisi tuntunan agama terkait pembinaan hukum. Sunnah ini juga termasuk dalam hadis yang berasal dari sabda Nabi.
Contoh dari sunnah qauliyyah adalah sabda Nabi SAW:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
Artinya: “Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya,” (HR Tirmidzi).
b. Sunnah Fi’liyyah (perbuatan):
Sunnah yang berupa perbuatan Rasulullah yang diberitakan oleh sahabat-sahabatnya, seperti tata cara berwudhu, shalat, atau haji. Misalnya, hadis dari ‘Utsman bin ‘Affan tentang bagaimana Rasulullah ketika berwudhu:
عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخَلِّلُ لِحْيَتَهُ
Artinya:“Dari Utsman bin ‘Affan, bahwasanya Nabi SAW menyela-nyela jenggotnya ketika berwudhu,” (HR Tirmidzi).
c. Sunnah Taqririyyah (persetujuan):
Sunnah yang muncul dari persetujuan Nabi terhadap perbuatan sahabat yang tidak beliau ingkari. Contoh dari sunnah ini adalah ketika Nabi bersabda kepada Bilal:
يَا بِلاَلُ! حَدِّثْنِي بِأَرْجَى عَمَلٍ عَمِلْتَهُ فِي اْلإِسْلاَمِ فَإِنِّي سَمِعْتُ دَفَّ نَعْلَيْكَ بَيْنَ يَدَيَّ فِي الْجَنَّةِ
Artinya: “Wahai Bilal, ceritakanlah kepadaku amal yang paling diharapkan yang telah kamu kerjakan dalam Islam, karena aku mendengar suara terompahmu di surga,” (HR Bukhari dan Muslim).
Kedudukan Sunnah dalam Hukum Islam
Kedudukan sunnah sebagai sumber hukum Islam kedua telah disepakati oleh para ulama. Sunnah berfungsi sebagai penjelas atau pelengkap bagi hukum yang ada dalam Al-Qur’an.
Dengan demikian, sunnah bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan sebagai penjelas dan pemberi rincian terhadap perintah-perintah Al-Qur’an yang bersifat global. Dalam Alquran Surat An-Nahl ayat 44, Allah SWT berfirman:
بِٱلْبَيِّنَٰتِ وَٱلزُّبُرِ ۗ وَأَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Ayat ini menjelaskan bahwa Al-Qur’an memuat segala sesuatu secara global, tetapi penjelasannya lebih rinci diperoleh melalui sunnah. Sunnah juga memiliki contoh hukum yang tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, seperti hukum haramnya menikahi seorang perempuan bersama bibinya dan haramnya memakan daging keledai piaraan.
Dalil Kehujjahan Sunnah
Sunnah dijadikan sumber hukum Islam dengan dasar dari beberapa dalil, baik dari Al-Qur’an, hadis, maupun dalil aqli. Berikut adalah beberapa dalil yang menunjukkan kehujahan sunnah:
Dalil dari Al-Qur’an:
Perintah untuk patuh kepada Rasul terdapat dalam banyak ayat, di antaranya Surah Ali Imran ayat 179:
فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۚ وَاِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَتَتَّقُوۡا فَلَـكُمۡ اَجۡرٌعَظِيۡمٌ
Artinya: “Karena itu, berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.”
Dalam Alquran Surah An-Nisa ayat 64 menguatkan hal ini:
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ ٱللَّهِ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah.”
Dalil dari Hadis:
Rasulullah SAW bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Artinya: “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya,” (HR Malik dan Al-Hakim).
Dalil dari Ijma’ Ulama
Para ulama telah sepakat bahwa sunnah adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Imam Syafi’i dalam Ar-Risalah, menyatakan bahwa kewajiban menerima sunnah adalah hal yang tidak bisa ditawar. Begitu pula, Al-Suyuti dalam Tadrib ar-Rawi menegaskan bahwa mengingkari hadis sebagai sumber hukum bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam .
Dengan demikian, sunnah memegang peranan penting sebagai sumber hukum yang wajib diikuti oleh setiap Muslim, setelah Al-Qur’an. Kedua sumber ini adalah panduan utama dalam menjalani kehidupan yang selaras dengan ajaran Islam.
Definisi Hadis dan Perbedaannya dengan Al-Sunnah dan Al-Khabar
Hadis memiliki kedudukan penting sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an dalam Islam. Melalui hadis, Nabi Muhammad SAW menjelaskan dan menerapkan ajaran Al-Qur’an dalam kehidupan nyata.
Para ulama ushul fiqh menegaskan bahwa hadis berfungsi untuk memperinci, menjelaskan, dan melengkapi hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an. Tanpa hadis, banyak ajaran Al-Qur’an yang sulit dipahami secara rinci.
Secara bahasa, hadis berasal dari kata al-hadits (الحديث) yang berarti baru atau berita. Menurut istilah, ahli ushul fiqh mendefinisikan hadis sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan) Nabi yang berhubungan dengan hukum syara’. Definisi ini menekankan bahwa hadis merupakan salah satu media utama dalam memahami hukum Islam.
Perbedaan antara hadis, sunnah, dan khabar seringkali menjadi perdebatan di kalangan ulama. Menurut Muhammad Ajaj Al-Khathib dalam bukunya Ushul al-Hadits, sunnah adalah jalan hidup atau kebiasaan yang mencakup perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW, baik sebelum atau sesudah beliau diutus sebagai rasul. Sedangkan khabar secara umum merujuk pada berita atau informasi yang tidak hanya disandarkan kepada Nabi, tetapi juga kepada sahabat dan tabi’in. Hadis lebih spesifik karena mengacu pada narasi yang bersumber dari Nabi SAW, dengan struktur sanad (rantai periwayat) dan matan (isi teks hadis) yang spesifik.
Dalam kaitannya dengan otoritas, sunnah memiliki otoritas yang tinggi sebagai sumber hukum, sementara khabar bervariasi dalam tingkat otoritasnya tergantung pada sumbernya. Hal ini menunjukkan bahwa sunnah dan hadis memiliki fungsi yang berbeda, namun saling melengkapi dalam pembentukan hukum Islam.
Dalil Al-Qur’an dan Hadis yang Menunjukkan Kedudukan Hadis
Al-Qur’an memberikan penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki otoritas untuk menjelaskan ajaran Al-Qur’an kepada umat Muslim. Firman Allah SWT dalam Surah An-Nahl ayat 44:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ ٱلذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
Artinya: “Dan Kami turunkan Al-Qur’an kepadamu agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
Ayat ini menegaskan bahwa Nabi SAW diberi mandat untuk menjelaskan makna dan maksud dari Al-Qur’an. Penjelasan tersebut tidak hanya melalui perkataan, tetapi juga melalui perbuatan dan ketetapan beliau, yang semuanya terekam dalam hadis.
Hadis Nabi SAW juga menegaskan pentingnya mengikuti sunnah beliau. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ مِنْ بَعْدِي
Artinya: “Wajib atas kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menunjukkan bahwa mengikuti sunnah Rasulullah SAW dan para khalifah setelah beliau adalah suatu kewajiban. Sunnah di sini, tentu saja, mencakup hadis-hadis yang Rasulullah SAW sampaikan.
Fungsi Hadis terhadap Al-Qur’an
Hadis memiliki beberapa fungsi utama dalam mendukung dan menjelaskan Al-Qur’an. Di antaranya:
1. Bayan Taqrir
Hadis dalam fungsi bayan taqrir memperkuat apa yang sudah terdapat penjelasannya dalam Al-Qur’an. Misalnya, dalam hal perintah untuk menunaikan salat, zakat, puasa, dan haji, hadis berikut mengukuhkan prinsip-prinsip dasar tersebut:
بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ: شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَالحَجِّ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Artinya: “Islam dibangun atas lima hal: kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, menunaikan haji, dan puasa Ramadan,” (HR Al-Bukhari).
Hadis ini memperkuat perintah-perintah yang tercantum dalam Al-Qur’an, seperti pada Surah Al-Baqarah ayat 83 tentang salat dan zakat, Surah Al-Baqarah ayat 183 tentang puasa, dan Surah Ali Imran ayat 97 tentang kewajiban haji.
2. Bayan Tafsir
Dalam bayan tafsir, hadis menjelaskan lebih rinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih bersifat umum atau global. Misalnya, perintah salat dalam Al-Qur’an yang tidak memberikan rincian tentang cara pelaksanaannya. Hadis berikut memberikan petunjuk rinci tentang tata cara salat:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat,” (HR Al-Bukhari).
Dalam konteks takhshish al-amm, hadis memperjelas dan membatasi ayat-ayat Al-Qur’an yang sifatnya umum. Misalnya, dalam pembagian warisan yang umum dalam Surah An-Nisa ayat 11, hadis berikut memperjelas bahwa pembunuh tidak berhak mendapatkan warisan:
لاَ يَرِثُ الْقَاتِلُ
Artinya: “Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka),” (HR At-Tirmidzi).
3. Bayan Tasyri’i (Ziyadah)
Hadis juga bisa menetapkan hukum baru yang belum terdapat dalam Al-Qur’an, atau memberikan perincian tambahan. Salah satu contohnya adalah hadis yang memberikan hukum tentang janin yang mati dalam kandungan induknya:
ذَكَاةُ الْجَنِينِ ذَكَاةُ أُمِّهِ
Artinya: “Penyembelihan janin mengikuti penyembelihan induknya,” (HR At-Tirmidzi).
4. Bayanut Taghyir (An-Naskh)
Dalam fungsi bayanut taghyir atau an-naskh, hadis dapat mengubah atau membatalkan hukum yang ada dalam Al-Qur’an. Contohnya, hukum wasiat bagi ahli waris yang pada awalnya boleh dalam Surah Al-Baqarah ayat 180 kemudian hukumnya berubah oleh hadis berikut:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang berhak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris,” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah).
Dalalah Qath’iyyah dan Dzonniyyah dalam Hadis
Dalam ushul fiqh, penting untuk memahami perbedaan antara dalalah qath’iyyah dan dalalah dzonniyyah dalam hadis. Dalalah qath’iyyah merujuk pada makna yang pasti dan tidak menimbulkan interpretasi lain, sementara dalalah dzonniyyah adalah makna yang masih bisa memunculkan berbagai penafsiran..
Contoh hadis dengan dalalah qath’iyyah adalah hadis yang menjelaskan rukun Islam. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:
بُنِيَ الإسلامُ على خَمْسٍ
Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini secara eksplisit dan pasti menjelaskan lima pilar utama dalam Islam, sehingga tidak memerlukan interpretasi tambahan. Sebaliknya, contoh hadis dengan dalalah dzonniyyah adalah hadis yang menjelaskan tentang anjing menjilat bejana. Rasulullah SAW bersabda:
طُهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Artinya: “Suci bejana salah seorang dari kalian jika dijilat anjing adalah mencucinya tujuh kali, salah satunya dengan tanah,” (HR Imam Muslim).
Hadis ini membuka ruang interpretasi tentang penerapannya, seperti pengguaan jenis tanah atau situasi di mana tanah tidak tersedia. Oleh karena itu, hadis ini masuk dalam kategori dalalah dzonniyyah karena memerlukan penjelasan lebih lanjut.
Contoh Penerapan Hadis dalam Hukum Islam
Sebagai sumber hukum kedua, hadis memiliki aplikasi yang luas dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya, dalam masalah hukum muamalah (transaksi), hadis Nabi SAW melarang riba. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَكَاتِبَهُ
Artinya: “Allah melaknat pemakan riba, yang memberi riba, saksinya, dan penulisnya,” (HR Imam Muslim).
Hadis ini melarang semua bentuk keterlibatan dalam praktik riba, yang kemudian menjadi dasar bagi ulama untuk mengembangkan hukum transaksi yang adil dalam Islam, seperti larangan terhadap bunga bank dalam sistem perbankan syariah.
Kesimpulan
Hadis memainkan peran krusial dalam sistem hukum Islam sebagai sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an. Fungsinya mencakup penjelasan, perincian, dan pelengkap bagi ayat-ayat Al-Qur’an. Para ulama ushul fiqh, seperti Muhammad Ajaj Al-Khathib dalam Ushul al-Hadith, menegaskan bahwa hadis tidak hanya sekedar narasi, tetapi merupakan sumber hukum yang otoritatif, khususnya dalam menetapkan kaidah-kaidah syariah.
Perbedaan antara hadis, sunnah, dan khabar menunjukkan bahwa meskipun semuanya berfungsi sebagai sumber informasi tentang ajaran Islam, ada perbedaan dalam cakupan dan otoritasnya. Pemahaman yang mendalam tentang hadis, serta konsep dalalah qath’iyyah dan dzonniyyah, sangat penting dalam menerapkan hukum Islam secara komprehensif sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Wallahua’lam.
Fitri Amanah Dalimunthe, Riski Saputra Batubara, & Sulaiman Riadi Lubis (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana jika ada seseorang dapat memahami dan menguasai Al-qur’an namun tidak dapat memahami dan menguasai hadits?
Di makalah di jelaskan “bahwa nabi muhammaad di beri MANDAT” .
Yang menJadi Pertanyaan saya :
jelas kan apaa itu MANDAT ❓
Di artikel di jelaskan “bahwa nabi muhammaad di beri MANDAT” .
Yang menJadi Pertanyaan saya :
jelas kan apaa itu MANDAT ❓
Bagaimana peran sunnah taqririyyah dalam menetapkan suatu hukum?
Bagaimana kedudukan atau peran ijma’ dalam penetapan islam pada masa ?
Bagaimana kedudukan as Sunnah sebagai sumber hukum Islam?
Bagaimana peran utama hadist dalam mengembangkan hukum Islam di kalangan masyarakat?
Bagaimana jika ada hadis yang bertentangan dengan Alquran?
1. Bagaimana kedudukan al-Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dijelaskan dalam konteks zaman modern yang semakin kompleks?
Bagaimana kedudukan al-Sunnah sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an dijelaskan dalam konteks zaman modern yang semakin kompleks?
Apa saja kategori Hadis yang digunakan sebagai sumber hukum Islam?
Mengapa hukum di Indonesia tidak menggunakan hukum Islam padahal orang Indonesia mayoritas agama Islam
Apa perbedaan antara Sunnah dan Hadis ?
Apakah hukum yang terdapat dalam Al Qur’an dapat berubah ketika ada hadis yang menjelaskan hukumnya?
Mengapa Hadis dianggap penting meskipun Al-Qur’an sudah menjadi pedoman utama?
Bagaimana hadis dapat memberikan penjelasan lebih rinci tentang ajaran yang tidak dijelaskan secara spesifik didalam Al Qur’an
Apakah semua hadits harus kita amalkan, dan apakah semua hadits dhoif itu adalah tidak bagus untuk manusia?Coba jelaskan !
Apa fungsi hadist dalam ilmu Ushul fiqih
Sebutkan apa saja yang menjadi tantangan dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran Al-Qur’an dan Hadis di era modern sekarang ini?
Bagaimana perbedaan pendekatan dalam menggunakan dalalah Qath’iyyah dan Dzonniah dalam hukum Islam?