Sunnah Ab’adh dan Hai’at dalam Shalat: Defenisi, Dalil, dan Praktik
TATSQIF ONLINE – Shalat adalah ibadah yang paling utama dalam Islam, dan setiap bagian dari pelaksanaannya memiliki aturan yang detail dalam syariat. Selain rukun-rukun yang menjadi komponen wajib dalam shalat, ada pula sejumlah sunnah yang menyempurnakan kualitas ibadah ini.
Dalam kajian fikih, sunnah-sunnah dalam shalat terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu sunnah ab’adh dan sunnah hai’at. Kedua jenis sunnah ini memiliki fungsi yang berbeda, namun keduanya memainkan peran penting dalam penyempurnaan shalat.
Dalam kitab al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafi’i, tercantum bahwa sunnah dalam shalat terbagi menjadi tiga bagian: sunnah yang pelaksanaannya sebelum shalat, sunnah yang pengerjaannya saat shalat, dan sunnah yang terlaksana setelah shalat.
Istilah sunnah ab‘adh dan sunnah hai’at hanya berlaku untuk amalan-amalan yang pelaksanaannya di dalam shalat, bukan sebelum atau sesudahnya. Dalam mazhab Hanafi dan Hambali, mereka menyebut sunah ab’adh sebagai wajib shalat, sementara sunah haiat mereka sebut sebagai sunah shalat.
Pengertian Sunnah Ab’adh
Sunnah ab’adh adalah sunnah yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari sunnah hai’at. Apabila meninggalkan sunnah ab’adh secara sengaja atau lupa, sebaiknya melakukan sujud sahwi guna menutupi kekurangan tersebut. Namun, jika seorang muslim meninggalkannya secara sengaja, shalatnya tetap sah, meskipun ia kehilangan kesempurnaan dalam shalat tersebut.
Dalam kitab al-Mu’tamad fi al-Fiqh as-Syafii, terdapat rincian bacaan dan gerakan yang termasuk dalam sunnah ab’adh. Pertama, duduk tasyahud awal menjadi salah satu amalan yang penting. Bacaan tasyahud awal mulai dari “at-Tahiyatu lillaah” hingga “wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuluh.” Setelah itu, sunnah membaca shalawat kepada Nabi SAW, yaitu dengan ucapan “Allahumma shalli ‘ala Muhammad,” setelah tasyahud awal.
Selain itu, bacaan shalawat untuk keluarga Nabi SAW setelah tasyahud akhir juga menjadi bagian dari sunnah ini, yaitu mulai dari “wa ‘ala Aali Muhammad” hingga “innaka hamidum majid.” Qunut juga termasuk sunnah ab’adh, yang dibaca ketika i’tidal di rakaat kedua shalat subuh dan ketika witir setelah pertengahan Ramadhan. Terakhir, berdiri saat membaca qunut juga menjadi amalan yang dianjurkan.
Ulama dari mazhab Syafi’i dan Hanafi sepakat mengenai pentingnya sunnah ab‘adh, meskipun rincian dan cakupannya berbeda. Sebagai contoh, mazhab Syafi’i menekankan bahwa meninggalkan tasyahud awal tanpa alasan tidak dianjurkan dan harus diperbaiki dengan sujud sahwi.
Dalil Sunnah Ab’adh
Hadis yang mendukung keutamaan tasyahud awal sebagai bagian dari sunnah ab’adh berasal dari riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا جَلَسَ أَحَدُكُمْ فِي الصَّلَاةِ فَلْيَقُلْ: التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ السَّلَامُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian duduk dalam shalat, hendaklah ia mengucapkan: At-tahiyyatu lillah, wa ash-shalawatu wa ath-thayyibat, assalamu ‘alaika ayyuhan-nabiyyu wa rahmatullahi wa barakatuh,'” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini menjelaskan tata cara tasyahud, yang menjadi salah satu sunnah ab’adh. Ibn Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni menjelaskan bahwa tasyahud awal adalah bagian dari rangkaian sunnah yang jika tertinggal, hendaknya menggantinya dengan sujud sahwi untuk menutupi kekurangannya.
Tasyahud Awal dan Shalawat Nabi
Dalam tasyahud awal, selain membaca tahiyat, dianjurkan pula untuk bershalawat kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalil tentang shalawat ini berdasarkan hadis dari riwayat Ka’ab bin ‘Ujrah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: قُولُوا اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ucapkanlah, Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana Engkau telah melimpahkan rahmat kepada Ibrahim,'” (HR Bukhari).
Shalawat kepada Nabi tergolong sunnah ab’adh karena memiliki syariat khusus. Amalan ini termasuk dalam rangkaian tasyahud dalam shalat.
Pengertian Sunnah Hai’at
Sunnah hai’at adalah sunnah yang memiliki derajat lebih rendah daripada sunnah ab’adh. Jika sunnah hai’at tertinggal, tidak wajib untuk melakukan sujud sahwi, karena ketidakhadirannya bukan merupakan kekurangan yang signifikan dalam shalat. Namun, melakukannya tetap lebih utama untuk mendapatkan kesempurnaan ibadah.
Al-Qadhi Abu Syuja’ rahimahullah dalam Matan Taqrib menjelaskan bahwa sunnah hai’at dalam shalat terdiri dari lima belas amalan. Pertama, mengangkat kedua tangan saat takbiratul ihram, rukuk, dan bangkit dari rukuk. Kedua, meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. Ketiga, melakukan tawajjuh dan membaca doa iftitah. Keempat, membaca ta’awudz sebelum memulai shalat.
Selanjutnya, kelima, menjahrkan bacaan di tempat yang ditentukan dan mensirrkan bacaan di tempat yang sesuai. Keenam, membaca aamiin setelah membaca surah Al-Fatihah. Ketujuh, membaca surah lain setelah Al-Fatihah. Kedelapan, membaca takbir ketika turun dan bangkit.
Kesembilan, membaca “sami’allahu liman hamidah” saat bangkit dari rukuk. Kesepuluh, membaca “robbana lakal hamdu” ketika i’tidal. Kesebelas, membaca tasbih saat rukuk dan sujud.
Keduabelas, meletakkan kedua tangan di paha ketika duduk, membentangkan tangan kiri, dan menggenggam tangan kanan sambil memberikan isyarat dengan jari telunjuk saat membaca tasyahud. Ketigabelas, duduk iftirasy pada semua posisi duduk dalam shalat. Keempatbelas, duduk tawaruk pada posisi duduk terakhir sebelum salam. Terakhir, yang kelima belas adalah melakukan salam kedua.
Dalil Sunnah Hai’at
Salah satu sunnah hai’at yang sangat populer adalah mengangkat tangan ketika takbiratul ihram. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma:
قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ
Artinya: “Ibn Umar berkata: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika memulai shalat, beliau mengangkat kedua tangannya hingga setinggi bahunya,'” (HR Bukhari).
Dalam hadis ini, pengangkatan tangan ketika takbiratul ihram adalah sunnah hai’at. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ menegaskan bahwa mengangkat tangan ketika takbiratul ihram adalah bagian dari sunnah yang dianjurkan namun tidak sampai ke level wajib.
Doa Iftitah
Doa iftitah adalah bagian dari sunnah hai’at yang pelaksanaannya setelah takbiratul ihram dan sebelum membaca al-Fatihah. Dalil yang mendasari sunnah ini adalah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَبَّرَ فِي الصَّلَاةِ سَكَتَ هُنَيَّةً قَبْلَ أَنْ يَقْرَأَ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي أَرَأَيْتَ سُكُوتَكَ بَيْنَ التَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةِ مَا تَقُولُ؟ قَالَ: أَقُولُ: اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika bertakbir dalam shalat, beliau terdiam sejenak sebelum membaca. Maka aku bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah yang engkau ucapkan dalam diammu antara takbir dan bacaan?’ Beliau menjawab: ‘Aku mengucapkan: Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku,’” (HR Bukhari).
Menurut Imam Nawawi, membaca doa iftitah sangat dianjurkan, meskipun tidak menjadi kewajiban. Dalam kitab Al-Majmu’, beliau menjelaskan bahwa doa ini menambah kesempurnaan shalat.
Konsekuensi Meninggalkan Sunnah Ab’adh dan Hai’at
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa meninggalkan sunah ab’adh secara sengaja adalah makruh. Meskipun tindakan ini tidak membatalkan shalat, orang yang meninggalkan sunah ab’adh dianjurkan untuk melakukan sujud sahwi, baik itu disengaja maupun karena lupa.
Keduanya menyebabkan kekurangan dalam shalat, dan kekurangan yang disengaja lebih memerlukan sujud sahwi. Namun, ada pendapat lemah dalam mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa meninggalkan sunah ab’adh secara sengaja tidak memerlukan sujud sahwi, berbeda dengan orang yang lupa yang dianggap memiliki udzur.
Sujud sahwi merupakan dua kali sujud yang dilakukan di akhir shalat sebagai bentuk pengganti kekurangan atau kesalahan kecil yang terjadi. Dalil tentang sujud sahwi dapat ditemukan dalam hadis dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
إِذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلاَتِهِ فَلْيَتَحَرَّ الصَّوَابَ ثُمَّ لْيُتِمَّ عَلَيْهِ، ثُمَّ يُسَلِّمْ، ثُمَّ يَسْجُدْ سَجْدَتَيْنِ
Artinya: “Apabila salah seorang dari kalian ragu dalam shalatnya, maka hendaklah ia memilih yang lebih diyakininya, kemudian sempurnakan shalatnya, lalu ucapkan salam, dan lakukanlah dua kali sujud (sujud sahwi),” (HR Muslim).
Tujuan melaksanakan sujud sahwi untuk menutupi kekurangan yang terjadi karena kelalaian dalam melaksanakan sunnah ab’adh. Contohnya, jika seseorang lupa melaksanakan tasyahud awal, maka ia harus melakukan sujud sahwi sebelum atau sesudah salam untuk menyempurnakan shalatnya. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa meninggalkan sunnah ab’adh tanpa sujud sahwi tidak membatalkan shalat, tetapi mengurangi kesempurnaannya.
Sebaliknya, meninggalkan sunnah hai’at tidak mewajibkan sujud sahwi, karena sunnah ini merupakan pelengkap yang tidak memengaruhi keabsahan shalat. Contohnya, jika seseorang tidak membaca doa iftitah atau tidak mengangkat tangan saat takbiratul ihram, shalatnya tetap sah tanpa perlu melakukan sujud sahwi. Para ulama menegaskan bahwa sunnah hai’at lebih berfungsi sebagai cara untuk menyempurnakan tata cara shalat dan tidak akan memengaruhi sah atau tidaknya shalat.
Hikmah Sunnah Ab’adh dan Hai’at
Sunnah ab’adh dan sunnah hai’at berperan penting dalam kesempurnaan shalat seorang Muslim. Selain meningkatkan kekhusyukan, sunnah-sunnah ini mengajarkan kehati-hatian dan fokus dalam menjalankan ibadah. Sunnah ab’adh, yang memerlukan sujud sahwi jika terlewat atau terlupakan, memungkinkan seseorang untuk mengoreksi kekurangan kecil yang mungkin terjadi selama shalat. Hal ini menunjukkan bahwa Islam sangat memperhatikan detail dalam ibadah dan menyediakan solusi untuk memperbaikinya.
Sementara itu, sunnah hai’at mengajarkan cara meningkatkan kualitas shalat dengan menambah gerakan dan bacaan yang tidak wajib, tetapi sangat dianjurkan. Melaksanakan sunnah hai’at, seperti mengangkat tangan saat takbir atau membaca doa iftitah, mencerminkan kesungguhan seorang hamba dalam menjalankan ibadah yang sempurna di hadapan Allah.
Kesimpulan
Sunnah ab’adh dan sunnah hai’at adalah dua kategori sunnah yang membantu menyempurnakan ibadah shalat. Sunnah ab’adh, seperti tasyahud awal dan shalawat saat tasyahud, sangat penting dalam shalat. Jika seseorang meninggalkan sunnah ini, dia sebaiknya melakukan sujud sahwi sebagai perbaikan. Di sisi lain, sunnah hai’at, seperti mengangkat tangan saat takbiratul ihram dan membaca doa iftitah, berfungsi untuk memperindah shalat dan meningkatkan kekhusyukan tanpa perlu perbaikan jika terlewat.
Memahami sunnah-sunnah ini membantu seorang Muslim melaksanakan shalat dengan lebih baik, baik secara ritual maupun spiritual. Buku Fiqh al-Sunnah karya Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa menjaga sunnah-sunnah ini sangat penting agar kita bisa mencapai kualitas ibadah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Dengan mengamalkan sunnah-sunnah ini, seorang Muslim dapat meraih keutamaan yang lebih tinggi dan mencapai kesempurnaan dalam ibadah kepada Allah SWT.
Secara keseluruhan, sunnah ab’adh dan sunnah hai’at mengajarkan kita tentang pentingnya kesempurnaan dalam ibadah. Meskipun tidak wajib, melaksanakan sunnah-sunnah ini menunjukkan rasa cinta kita kepada Allah dan Nabi-Nya, serta keinginan untuk terus memperbaiki diri dalam menjalankan kewajiban agama.
Sunnah hai’at juga memberikan pelajaran tentang cara meningkatkan kualitas shalat dengan menambah gerakan dan bacaan sesuai anjuran syariat. Mengangkat tangan saat takbir atau membaca doa iftitah adalah bentuk kesungguhan seorang hamba dalam melaksanakan ibadah yang lebih sempurna di hadapan Allah SWT. Wallahua’lam.
Mustafa Bisri (Mahasiswi Prodi BKI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apa hukum nya bila kita meninggal kan doa iftitah
Apa perbedaan Sunnah ab’ad dan haiat?
Apakah berdiri saat membaca doa qunut termasuk sunnah ab’adh?
Berapa jumlah sunnah ab’ad di dalam shalat?
bagaimana jika kita tidak melaksanakan sunnah abad dan sunnah hai’at?
bagaimana jika seseorang lupa jumlah rakaat shalat dan tidak melakukan sujud sahwi
Bagaimana cara meningkatkan kualitas sholat aba’at dengan menambah gerakan dan bacaan sesuai dalam anjuran syari’at?
Apa yang dimaksud dengan Sunnah ab’ad?