Fiqh & Ushul FiqhMust Read

Keadilan dan Hukum Qishash dalam Kasus Hukuman Mati, Simak

TATSQIF ONLINE Dalam hukum Islam, penjatuhan hukuman mati harus dilakukan dengan hati-hati dan tidak sembarangan. Jika seorang hakim menjatuhkan hukuman mati berdasarkan kesaksian dua saksi, tetapi kemudian menemukan bahwa kesaksian tersebut palsu, maka akan ada konsekuensi hukum bagi hakim atau wali yang melaksanakan hukuman tersebut. Hal ini menegaskan betapa seriusnya tanggung jawab dalam menegakkan keadilan, terutama yang berkaitan dengan nyawa manusia.

Selain itu, hukum Islam juga mengatur kematian yang terjadi akibat tindakan tidak langsung, seperti menggali sumur atau menaruh benda di tempat berbahaya. Meskipun pelaku tidak memiliki niat untuk membunuh, tindakan tersebut tetap dapat berakibat fatal. Dalam konteks ini, pelaku dapat terkena sanksi sesuai dengan ketentuan hukum Islam. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hukum Islam mengatur perbuatan semacam ini, apakah pelaku harus membayar kompensasi kerugian, atau apakah ada hukuman yang lebih berat?

Untuk memperdalam pembahasan ini, kita akan menelaah karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Buku ini menjadi referensi utama dalam mata kuliah Qiraatul Kutub di Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).

ج – حكم الحاكم بقتل رجل: إذا حكم الحاكم على شخص بالقتل بناءً على شهادة شاهدين واعترف بعلمه بكذبهما حين الحكم أو القتل دون الوليّ، فالقصاص على الحاكم
ولو أنّ الوليّ الّذي باشر قتله أقرّ بعلمه بكذب الشّهود وتعمّد قتله فعليه القصاص

د – حفر البئر ووضع الحجر: من صور القتل بسبب حفر البئر ونصب حجر أو سكّين تعدّياً في ملك غيره بلا إذن، فإذا لم يقصد به الجناية وأدّى إلى قتل إنسان، فذهب المالكيّة والحنابلة إلى أنّه قتل خطأ وموجبه الدّية
وذهب الحنفيّة إلى أنّه قتل بسبب وموجبه الدّية على العاقلة، لأنّه سبب التّلف، وهو متعدّ فيه، ولا كفّارة فيه، ولا يتعلّق به حرمان الميراث، لأنّ القتل معدوم منه حقيقةً، فألحق به في حقّ الضّمان، فبقي في حقّ غيره على الأصل، وهو إن كان يأثم بالحفر في غير ملكه لا يأثم بالموت

أمّا إذا قصد الجناية فذهب المالكيّة إلى أنّه إذا قصد هلاك شخص معيّن، وهلك فعلاً، فعلى الفاعل القصاص، وإن هلك غير المعيّن ففيه الدّية وعند الحنابلة هو شبه عمد، وموجبه الدّية، وقد يقوى فيلحق بالعمد، كما في الإكراه والشّهادة وذهب الشّافعيّة إلى اعتبار حفر البئر شرطاً، لأنّه لا يؤثّر في الهلاك ولا يحصّله، بل يحصل التّلف عنده بغيره، ويتوقّف تأثير ذلك الغير عليه، فإنّ الحفر لا يؤثّر في التّلف، ولا يحصّله وإنّما يؤثّر التّخطّي في صوب الحفرة، والمحصّل للتّلف التّردّي فيها ومصادمتها، لكن لولا الحفر لما حصل التّلف ولا قصاص فيه

ج – حُكْمُ الحَاكِمِ بِقَتْلِ رَجُلٍ: إِذَا حَكَمَ الحَاكِمُ عَلَى شَخْصٍ بِالْقَتْلِ بِنَاءً عَلَى شَهَادَةِ شَاهِدَيْنِ وَاعْتَرَفَ بِعِلْمِهِ بِكَذِبِهِمَا حِينَ الحُكْمِ أَوِ القَتْلِ دُونَ الوَلِيِّ، فَالقِصَاصُ عَلَى الحَاكِمِ
وَلَوْ أَنَّ الوَلِيَّ الَّذِي بَاشَرَ قَتْلَهُ أَقَرَّ بِعِلْمِهِ بِكَذِبِ الشُّهُودِ وَتَعَمَّدَ قَتْلَهُ فَعَلَيْهِ القِصَاصُ

د – حَفْرُ البِئْرِ وَوَضْعُ الحَجَرِ: مِنْ صُوَرِ القَتْلِ بِسَبَبِ حَفْرِ البِئْرِ وَنَصْبِ حَجَرٍ أَوْ سِكِّينٍ تَعَدِّيًا فِي مِلْكِ غَيْرِهِ بِلَا إِذْنٍ، فَإِذَا لَمْ يَقْصِدْ بِهِ الجِنَايَةَ وَأَدَّى إِلَى قَتْلِ إِنسَانٍ، فَذَهَبَ المَالِكِيَّةُ وَالحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّهُ قَتْلٌ خَطَأٌ وَمُوجِبُهُ الدِّيَةُ وَذَهَبَ الحَنَفِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ قَتْلٌ بِسَبَبٍ وَمُوجِبُهُ الدِّيَةُ عَلَى العَاقِلَةِ، لِأَنَّهُ سَبَبُ التَّلَفِ، وَهُوَ مُتَعَدٍّ فِيهِ، وَلَا كَفَّارَةَ فِيهِ، وَلَا يَتَعَلَّقُ بِهِ حِرْمَانُ المِيرَاثِ، لِأَنَّ القَتْلَ مَعْدُومٌ مِنْهُ حَقِيقَةً، فَأُلْحِقَ بِهِ فِي حَقِّ الضَّمَانِ، فَبَقِيَ فِي حَقِّ غَيْرِهِ عَلَى الأَصْلِ، وَهُوَ إِنْ كَانَ يَأْثَمُ بِالحَفْرِ فِي غَيْرِ مِلْكِهِ لَا يَأْثَمُ بِالمَوْتِ

أَمَّا إِذَا قَصَدَ الجِنَايَةَ فَذَهَبَ المَالِكِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ إِذَا قَصَدَ هَلَاكَ شَخْصٍ مَعَيَّنٍ، وَهَلَكَ فِعْلًا، فَعَلَى الفَاعِلِ القِصَاصُ، وَإِنْ هَلَكَ غَيْرُ المَعَيَّنِ فَفِيهِ الدِّيَةُ. وَعِنْدَ الحَنَابِلَةِ هُوَ شِبْهُ عَمْدٍ، وَمُوجِبُهُ الدِّيَةُ، وَقَدْ يَقْوَى فَيُلْحَقُ بِالعَمْدِ، كَمَا فِي الإِكْرَاهِ وَالشَّهَادَةِ. وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى اِعْتِبَارِ حَفْرِ البِئْرِ شَرْطًا، لِأَنَّهُ لَا يُؤَثِّرُ فِي الهَلَاكِ وَلَا يُحَصِّلُهُ، بَلْ يَحْصُلُ التَّلَفُ عِنْدَهُ بِغَيْرِهِ، وَيَتَوَقَّفُ تَأْثِيرُ ذَلِكَ الغَيْرِ عَلَيْهِ، فَإِنَّ الحَفْرَ لَا يُؤَثِّرُ فِي التَّلَفِ، وَلَا يُحَصِّلُهُ، وَإِنَّمَا يُؤَثِّرُ التَّخَطِّي فِي صَوْبِ الحُفْرَةِ، وَالمُحَصِّلُ لِلتَّلَفِ التَّرَدِّي فِيهَا وَمُصَادَمَتُهَا، وَلَكِنْ لَوْلَا الحَفْرُ لَمَا حَصَلَ التَّلَفُ وَلَا قِصَاصَ فِيهِ

Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang:

Jika hakim menjatuhkan hukuman mati kepada seseorang berdasarkan kesaksian dua saksi, dan kemudian mengakui bahwa dia tahu keduanya berbohong pada saat penetapan hukuman atau pelaksanaan hukuman tanpa izin wali, maka hakim tersebut dikenakan hukum qisas (balasan yang setimpal). Namun, jika wali yang melaksanakan hukuman mati mengakui bahwa dia tahu kesaksian para saksi itu bohong dan sengaja melakukan pembunuhan, maka wali tersebut yang dikenakan hukum qisas.

Menggali sumur dan meletakkan batu:

Di antara contoh pembunuhan yang disebabkan oleh penggalian sumur atau peletakan batu atau pisau secara melanggar hukum di tanah milik orang lain tanpa izin, jika perbuatan itu tidak dimaksudkan untuk melakukan kejahatan tetapi menyebabkan kematian seseorang, maka menurut mazhab Maliki dan Hanbali, itu dikategorikan sebagai pembunuhan tidak sengaja, dan pelakunya diwajibkan membayar diyat (ganti rugi). Sedangkan menurut mazhab Hanafi, itu dianggap pembunuhan yang disebabkan oleh tindakan tertentu, dan diyatnya wajib dibayar oleh ‘aqilah (keluarga atau kerabat yang bertanggung jawab).

Karena meskipun tindakan tersebut menjadi penyebab kematian, namun pelakunya tidak secara langsung melakukan pembunuhan. Tidak ada kaffarah (tebusan) dalam kasus ini, dan tidak ada penghalangan untuk menerima warisan, karena secara hakikat tidak ada pembunuhan yang langsung dilakukan oleh pelaku, sehingga dianggap sebagai kesalahan dalam hal tanggung jawab, tetapi dalam aspek lain tetap kembali pada hukum asal. Jika pelaku melakukan pelanggaran dengan menggali sumur di tanah milik orang lain, maka ia berdosa, tetapi ia tidak berdosa atas kematian yang terjadi akibat sumur tersebut.

Pendapat Para Ulama Mazhab

Namun, jika penggalian sumur atau pemasangan benda tersebut dilakukan dengan maksud membunuh seseorang, menurut mazhab Maliki, jika pelaku bermaksud membunuh seseorang yang spesifik dan orang itu benar-benar terbunuh, maka pelaku dikenakan hukum qisas. Jika yang terbunuh adalah orang yang tidak spesifik, maka pelaku hanya wajib membayar diyat. Menurut mazhab Hanbali, tindakan ini dianggap sebagai pembunuhan semi-sengaja (syibh al-amd), dan pelakunya diwajibkan membayar diyat. Namun, jika terdapat unsur yang lebih kuat, seperti paksaan atau kesaksian palsu, maka tindakan tersebut bisa dianggap sebagai pembunuhan sengaja, dan pelaku akan dikenakan hukum qisas. Sedangkan menurut mazhab Syafi’i, penggalian sumur dianggap sebagai syarat penyebab kematian, karena sumur itu sendiri tidak secara langsung menyebabkan kematian, tetapi kerugian terjadi karena adanya sumur tersebut. Jadi, meskipun sumur itu tidak secara langsung menyebabkan kematian, namun kematian terjadi karena jatuh ke dalam sumur, dan tanpanya, tidak akan ada kematian. Oleh karena itu, tidak ada qisas dalam kasus seperti ini.

Teks ini membahas dua kasus yang berkaitan dengan pembunuhan dalam hukum pidana Islam, yaitu tentang putusan hakim untuk hukuman mati dan pembunuhan akibat tindakan seperti menggali sumur atau menempatkan benda tajam di tempat yang tidak semestinya. Berikut adalah penjelasan lengkapnya:

1. Hukum Hakim yang Menghukum Seseorang dengan Hukuman Mati

Kasus pertama membahas seorang hakim yang memutuskan hukuman mati bagi seseorang berdasarkan kesaksian dua orang saksi. Hakim bertanggung jawab jika ia mengetahui bahwa kesaksian para saksi adalah bohong. Jika eksekusi terjadi tanpa izin wali korban, tanggung jawab qishas jatuh kepada hakim.

Berikut adalah versi yang dibagi menjadi tiga kalimat aktif:

Wali (keluarga korban) yang mengeksekusi hukuman bertanggung jawab jika ia tahu kesaksian saksi itu bohong. Jika wali mengakui bahwa ia sengaja membunuh, maka qishas harus diterapkan. Dalam situasi ini, siapa pun yang mengetahui kebohongan saksi dan tetap melaksanakan eksekusi harus menanggung tanggung jawab atas pembunuhan.

2. Pembunuhan Akibat Menggali Sumur atau Menempatkan Batu atau Pisau

Kasus kedua membahas tentang pembunuhan dengan sebab tindakan menggali sumur, menempatkan batu, atau pisau di tanah milik orang lain tanpa izin. Jika tindakan tersebut tidak bertujuan untuk membunuh, tetapi mengakibatkan kematian seseorang, terdapat beberapa pendapat dari mazhab-mazhab fiqih:

Mazhab Malikiyah dan Hanabilah (Hambali) berpendapat bahwa perbuatan tersebut adalah pembunuhan tidak sengaja (qatl khata’), dan hukumannya adalah pembayaran kompensasi kepada keluarga korban.

Mazhab Hanafiyah berpendapat bahwa tindakan tersebut adalah pembunuhan sebab suatu faktor, dan yang bertanggung jawab membayar kompensasi adalah aqilah (keluarga pelaku atau kelompok yang bertanggung jawab secara hukum). Karena tindakan tersebut menyebabkan kerugian, tetapi pembunuhan secara langsung tidak terjadi, tidak ada hukuman kafarah (tebusan), dan pelaku tidak terlarang untuk menerima warisan dari korban jika merupakan pewaris dari pelaku, dengan anggapan bahwa pembunuhan itu tidak terjadi secara nyata. Namun, pelaku tetap bertanggung jawab atas kerugian tersebut karena tindakannya melanggar hak orang lain dengan menggali di tanah milik orang lain.

Pendapat Mazhab tentang Pembunuhan Tidak Langsung melalui Perangkap

Di sisi lain, jika pelaku bermaksud melakukan pembunuhan (misalnya, dengan sengaja menggali sumur untuk mencelakakan orang tertentu), terdapat beberapa pendapat:

Mazhab Malikiyah berpendapat bahwa jika seseorang sengaja ingin mencelakakan orang tertentu dan orang tersebut benar-benar terbunuh, maka pelaku wajib mendapat hukuman qishas. Namun, jika yang terbunuh adalah orang lain (bukan target), maka pelaku hanya perlu membayar kompensasi.

Mazhab Hanabilah menganggap tindakan tersebut sebagai pembunuhan semi sengaja (qatl syibh al-‘amd), yang hukumannya adalah kompensasi kerugian. Tetapi, dalam beberapa kondisi, seperti dalam kasus pemaksaan atau kesaksian palsu, menjadi lebih kuat sehingga masuk dalam kategori pembunuhan sengaja (qatl amd), yang hukumannya adalah qishas.

Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa menggali sumur adalah salah satu syarat yang memungkinkan terjadinya pembunuhan, tetapi bukan penyebab langsung. Menurut mereka, penyebab kematian adalah terjatuh ke dalam sumur atau benturan dengan benda tajam tersebut, bukan karena sumurnya sendiri. Dengan kata lain, meskipun tindakan menggali sumur mungkin berbahaya, sumur tersebut bukan penyebab langsung kematian, sehingga tidak perlu ada qishas bagi penggalinya.

Kesimpulan:

Kasus putusan hakim: Jika hakim mengetahui kesaksian palsu namun tetap melaksanakan hukuman, atau wali yang sengaja membunuh setelah mengetahui kesaksian palsu, keduanya bertanggung jawab dan harus menjalani hukuman qishas.

Kasus pembunuhan akibat tindakan sembrono (seperti menggali sumur): Jika tidak ada niat membunuh, maka tindakan terebut adalah pembunuhan tidak sengaja dan pelaku hanya perlu membayar kompensasi. Namun, jika ada niat untuk membunuh, maka hukuman bisa berupa qishas atau kompensasi kerugian tergantung siapa korban yang terbunuh, dengan beberapa perbedaan pandangan di antara mazhab-mazhab fiqih.

حَكَمَ (menghukum). الْقَتْلِ (pembunuhan). شَهَادَة (kesaksian). وَلِيّ (wali atau pihak yang berhak). قِصَاص (balasan setimpal dalam hukum pidana Islam). بِئْر (sumur). حَجَر (batu). دِيَة (kompensasi atau ganti rugi dalam hukum Islam). عَاقِلَة (kerabat yang bertanggung jawab atas pembayaran kompensasi). كَفَّارَة (tebusan atas kesalahan). مِيرَاث (warisan). جِنَايَة (kejahatan). تَعَمُّد (kesengajaan). حَفْر (penggalian). عَمْد (sengaja).

Fi’il majzum adalah salah satu bentuk dari fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan tindakan yang sedang berlangsung atau akan datang) yang mengalami perubahan tanda i’rab menjadi sukun (berharakat mati) atau hilangnya huruf akhir karena masuknya huruf jazm (huruf yang menyebabkan majzum). Huruf-huruf jazm yang paling umum adalah lam (لَمْ), lamma (لَمَّا), laa an-nahiyah (لَا النَّاهِيَة), dan in syarat (إِنْ).

Amil jazm adalah huruf atau isim yang membuat fi’il mudhari’ menjadi majzum, dan terdiri dari dua kelompok: yang membuat majzum satu fi’il dan yang membuat majzum dua fi’il sekaligus.

Amil jazm yang membuat majzum satu fi’il antara lain:

1. لَمْ: Belum, contoh: وَلَمْ يَكُنْ, وَلَمْ يُوْلَدْ, لَمْ يَلِدْ (Dan tidak ada (yang sama sekali), dan tidak (lahir), tidak (melahirkan)

2. لَمَّا: Belum, contoh: لَمَّا يَرْجِعْ (Dia belum kembali)

3. أَلَمْ: Apakah tidak, contoh: أَلَمْ يَجْعَلْ (Apakah ia tidak menjadikan…)

4. أَلَمَّا: Apakah belum, contoh: أَلَمَّا يَحْضُر أَبُوْكَ (Apakah ayahmu belum datang?)

5. لاَمُ الأَمْرِ: Lam, yang berarti perintah, contoh: لِيَخْرُجْ (Hendaklah/ suruh dia keluar), لِيَأْكُلْ (Hendaklah/ suruh dia makan)

6. لَا النَّاهِيَةُ: La, yang berarti melarang, contoh: لَا تَجْلِسْ (Jangan kau duduk)

Sementara itu, amil jazm yang membuat fi’il mudhari’ majzum dua fi’il sekaligus adalah:

1. إِنْ: Jika, contoh: إِنْ تَجْتَهِدْ تَنْجَحْ (Jika engkau sungguh-sungguh pasti engkau lulus).

2. إِذْمَا: Jika, contoh: إِذْمَا تَتَعَلَّمَ تَتَقَدَّمَ (Jika engkau belajar, pasti engkau maju).

3. مَا: Apa saja, contoh: مَا تَفْعَلْ شَرًّا تَنْدَمْ (Apa saja kejahatan yang engkau lakukan pasti akhirnya menyesal).

4. مَنْ: Siapa saja/Barangsiapa, contoh: مَنْ يَعْمَلْ سُوْءًا يُجْزَ بِهِ (Siapa saja yang berbuat kejahatan pasti akan mendapatkan balasan).

5. مَهْمَا: Bagaimanapun, contoh: مَهْمَا تُبْطِنْ تُظْهِرْهُ الأَيَّامَ (Bagaimanapun kau sembunyikan pasti akan tampak di hari-hari lain).

6. مَتَى: Kapan saja, contoh: مَتَى تَذْهَبْ أَذْهَبْ (Kapan saja kau pergi pasti aku akan pergi).

7. أَيَّانَ: Kapan saja, contoh: أَيَّانَ تَحْسُنْ سَرِيْرَتُكَ تُحْمَدْ سِيْرَتُكَ (Kapan saja baik hatimu pasti akan diuji kelakuanmu).

8. أَيْنَ: Ke mana saja, contoh: أَيْنَ تَذْهَبُ الأُمُّ تَذْهَبْ مَرْيَمُ مَعَهَا (Kemana saja ibu pergi pasti Maryam pergi bersamanya).

9. أَنَّى: Ke mana saja, contoh: أَنَّ يَذْهَبُ الأَبُّ يَذْهَبْ عَلِيُّ مَعَهُ (Kemana saja bapak pergi pasti Ali pergi bersamanya).

10. حَيْثُمَا: Di mana saja, contoh: حَيْثُمَا تَنْزُلَا تُكْرَمَا (Di mana saja kau berdua singgah pasti dihormati).

11. كَيْفَمَا: Bagaimana saja, contoh: كَيْفَمَا تُعَامِلْ صَدِيْقَكَ يُعَامِلْكَ (Bagaimana saja kau bergaul dengan temanmu maka demikian pula temanmu akan bergaul denganmu).

12. أَيُّ: Yang mana saja, contoh: أَيُّ كِتَابٍ تَقْرَأْ تَسْتَفِدْ (Buku yang mana saja kau baca pasti akan bermanfaat).

Dari dua belas amil jazm yang membuat dua fi’il mudhari’ majzum, terdapat dua huruf yaitu إِنْ dan إِذْمَا, sementara lainnya adalah إِسْمُ الشُّرْطِ (Isim Syarat). Sebutan untuk fi’il pertama yang majzum adalah فِعْلُ الشُّرْطِ (Fi’il Syarat), sedangkan fi’il yang kedua adalah جَوَابُ الشُّرْطِ (Jawab Syarat).

Berikut adalah analisis kaidah bahasa yang lebih spesifik tentang penggunaan fi’il majzum di dalam teks:

1. Penggunaan “Lam” sebagai Huruf Jazm

Huruf lam (لَمْ) dalam bahasa Arab berfungsi untuk mengingkari atau meniadakan suatu perbuatan di masa lalu, dan secara gramatikal, ia memajzumkan kata kerja setelahnya. Dalam hal ini, fi’il mudhari’ setelah “lam” berubah menjadi majzum (berharakat sukun).

Contoh dari teks: لَمْ يَقْصِد بِهِ الْجِنَايَةَ (Dia tidak bermaksud melakukan kejahatan)

Pada kalimat ini, lam memajzumkan kata yaqshidu (يقصد) sehingga berubah menjadi yaqshid (dengan sukun di akhir). Artinya, tindakan tersebut tidak bertujuan untuk kejahatan, yang merupakan penolakan atas niat buruk di masa lalu.

2. Penggunaan “Laa an-Nahiyah” sebagai Huruf Larangant

Huruf laa an-nahiyah (لَا النَّاهِيَة) berfungsi untuk memberikan larangan, dan ia juga memajzumkan kata kerja setelahnya. Kata kerja yang berada setelah laa an-nahiyah harus dalam bentuk fi’il mudhari’ majzum.

Contoh dari teks: لَا تَضَعْ الْحَجَرَ فِي الطَّرِيقِ (Jangan letakkan batu di jalan)

Pada kalimat ini, laa memajzumkan kata tadha’u (تضع), sehingga bentuk majzumnya menjadi tadha’ (dengan sukun di akhir). Kalimat ini merupakan larangan meletakkan batu di tempat umum yang bisa membahayakan orang lain. Wallahua’lam.

Efa Merianti Lubis (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

10 komentar pada “Keadilan dan Hukum Qishash dalam Kasus Hukuman Mati, Simak

  • Chitra Adelina Simanungkalit

    Apabila Amil jamz dengan fi’il amar apakah fi’il amar tersebut di jazm kan atau tidak?

    Balas
  • Hendra wibowo

    Apakah ada perbedaan antara “Laa an-Nahiyah” dan bentuk larangan lainnya dalam bahasa Arab?

    Balas
  • Maya harahap

    Coba pemakalah jelaskan Apa perbedaan penggunaan antara lam (لَمْ) dan lamma (لَمَّا) dalam membuat fi’il majzum?

    Balas
  • Ayub harahap

    Coba pemakalah berikan contoh amil jazm yang membuat dua fi’il mudhari’ menjadi majzum?”

    Balas
  • Maya harahap

    Apa perbedaan penggunaan antara lam (لَمْ) dan lamma (لَمَّا) dalam membuat fi’il majzum?

    Balas
  • Halim muda siregar

    Izin bertanya kepada pemakalah..bagai mana nantinya jika kita menemukan ataupun bertemu dengan fiil mudhariq yang belum terbaca sedangkan kita ingin merubahnya ke tanda jazam?

    Balas
  • Astria astuti

    : أَلَمَّا يَحْضُرَ أَبُوْكَ (Apakah ayahmu belum datang?). Dimana letak tanda jazm dari kalimat tersebut. Jika الما knp fiil mudhariknya tidak di jazm kan!

    Balas
  • Halim muda siregar

    Izin bertanya kepada pemakalah..bagai mana nantinya jika kita menemukan ataupun bertemu dengan fiil mudhariq yang belum terbaca sedangkan kita ingin merubahnya ke tanda jazam,bagai mana cara penyelesaian nya?

    Balas
  • Fitri Yani

    Coba pemakalah jelaskan kembali contoh penggunaan laa an nahiyah sebagai larangant yang ada di teks dimana letak laa an nahiyah

    Balas
  • Sarmaito Pohan

    Bagaimana cara membedakan laa nahiyah dengan laa nafiyah?

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk