Adab & HumanioraAl-Qur'an & Hadis

Israiliyyat: Pengaruh Tradisi Bani Israil dalam Penafsiran Alquran

TATSQIF ONLINEMengutip dari Geotimes, Israiliyat adalah cerita-cerita yang berasal dari tradisi Bani Israil, baik dari agama Yahudi maupun Nasrani. Sebagian besar kisah ini berasal dari masyarakat Yahudi. Istilah ini sudah tidak asing bagi banyak orang, yang sering mendengar atau membaca kisah-kisah para nabi yang termuat dalam Israiliyat.

Sejarah awal munculnya Israiliyat dapat ditelusuri dari kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, seperti Taurat dan Injil yang milik umat Yahudi dan Nasrani. Kitab-kitab ini memiliki kisah-kisah yang serupa dengan yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Perbedaannya terletak pada cara penuturan kisah, di mana Al-Qur’an sering kali menjelaskan peristiwa secara ekstensif, sementara Taurat dan Injil cenderung memberikan detail seperti pelaku, waktu, dan tempat peristiwa yang terjadi.

Israiliyyat secara etimologi berasal dari kata Israiliyyah, yang merupakan bentuk jamak dari kata benda (isim) yang dinisbahkan kepada Israil. Kata ini berasal dari bahasa Ibrani yang artinya “Hamba Tuhan”.

Secara historis, Israiliyyat merujuk kepada Nabi Ya’kub bin Ishaq bin Ibrahim, yang dikenal dalam sejarah karena memiliki dua belas anak, salah satunya adalah Yahuda, yang kemudian menjadi nama bagi keturunan Nabi Ya’qub. Istilah “Yahudi” sendiri merujuk kepada Bani Israil.

Secara terminologi, Israiliyyat mengacu pada pengaruh kebudayaan Yahudi terhadap penafsiran Al-Qur’an. Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, Israiliyyat menggambarkan pengaruh-pengaruh kebudayaan Yahudi dalam tafsir Al-Qur’an dan hadits.

Definisi ini mencakup kisah-kisah kuno dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits, dengan asal-usulnya berasal dari sumber-sumber Yahudi, Nasrani, dan lainnya. Selain itu, ada cerita-cerita yang disengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tanpa adanya dasar yang jelas dalam sumber-sumber lama.

Menurut Sayyid Ahmad Khalil, Israiliyyat merujuk kepada riwayat-riwayat yang berasal dari ahli kitab, baik yang terkait dengan agama mereka maupun yang tidak ada kaitannya sama sekali. Hal ini dikarenakan mayoritas perawi riwayat Israiliyyat berasal dari kalangan ahli kitab yang telah memeluk Islam.

Abu Syuhbah, di sisi lain, mendefinisikan Israiliyyat sebagai pengetahuan yang berasal dari Yahudi dan Nasrani, terutama yang terdapat dalam kitab-kitab Injil, berisi penjelasan kisah-kisah nabi dan lainnya. Secara keseluruhan, Israiliyyat dapat disimpulkan sebagai cerita-cerita yang berasal dari Yahudi dan Nasrani, atau pengaruh kebudayaan keduanya, yang terdapat dalam tafsir berdasarkan riwayat.

BACA JUGA: Jenis-Jenis Munasabah dalam Al-Quran, Jangan Sampai Tertukar

Israiliyyat dibagi menjadi dua bagian utama berdasarkan kriteria kesahihan sanad dan kesesuaian dengan syariat. Berikut penjelasannya:

Dari segi kesahihan sanadanya, Israiliyyat terbagi menjadi Israiliyyat yang sahih dan yang dhaif atau lemah (termasuk yang dhaif adalah yang maudhu’/palsu). Kisah Israiliyyat yang sahih adalah yang diyakini kebenarannya karena diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW melalui sanad yang sahih dan dapat dijadikan pegangan atau hujjah. Sebagai contoh, kisah tentang sifat-sifat Rasulullah yang terdapat dalam kitab Taurat, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam Sahihnya, seperti yang tercatat:

“Imam al-Bukhari berkata, “Telah menceritakan kepada kami Mustani dari Utsman ibn Umar, dari Faulailah, dari Hilala ibn Ali, dari Ata’ ibn Yasir, ia berkata: Aku pernah bertemu dengan Abdullah ibn Amr dan bertanya kepadanya, ‘Ceritakanlah kepadaku tentang sifat Rasulullah yang diterangkan dalam kitab Taurat!’ Ibn Amr menjawab, ‘Ya, demi Allah, sesungguhnya sifat Rasulullah SAW dalam Taurat sama seperti yang diterangkan dalam Al-Qur’an: “Wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita gembira, pemberi peringatan, dan pemelihara bagi umat yang buta. Engkau adalah hamba-Ku dan Rasul-Ku. Namamu diagungkan, engkau tidak kasar dan tidak keras. Allah tidak akan mencabut nyawa seorang pun sebelum agama Islam tegak dengan tegaknya, yaitu dengan mengucapkan: ‘Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.’ Dengan kalimat itu, Allah membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli, dan mata yang buta.” Aku juga bertemu dengan Ka’ab dan menanyakan hal yang sama kepadanya. Tidak ada perbedaan dalam penjelasannya, kecuali bahwa Ka’ab menambahkan, ‘Allah telah menyampaikan kepadaku: hati yang tertutup, telinga yang tuli, dan mata yang buta.'””

Contoh kisah Israiliyyat yang dha’if adalah cerita yang diriwayatkan oleh Abu Muhammad ibn Abd al-Rahman dari Abu Hatim al-Razi, yang kemudian dikutip oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Ibnu Katsir menyebutkan bahwa cerita ini adalah cerita yang aneh dan tidak sahih, dianggap sebagai khurafat Bani Israil.

“Ibnu Abu Hatim berkata, telah berkata ayahku, ia berkata: “Aku mendapat cerita dari Muhammad ibn Ismail al-Makzumi, yang menceritakan kepadaku Lays ibn Sulaim dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Allah SWT telah menjelaskan tentang gunung yang melingkupinya di dasar laut. Gunung tersebut adalah Gunung Qaf. Langit dunia didirikan di atasnya. Di bawah Gunung Qaf itu, Allah SWT menciptakan tujuh lapis bumi seperti bumi ini. Kemudian di bawahnya, Dia menciptakan laut yang melingkupinya. Di bawahnya lagi, Dia menciptakan laut lain yang melingkupinya. Di bawahnya lagi, Dia menciptakan laut yang melingkupinya. Dan di bawahnya lagi, Dia menciptakan gunung lain yang juga disebut Gunung Qaf. Langit jenis kedua didirikan di atasnya. Jadi, secara keseluruhan, terdapat tujuh lapis bumi, tujuh lautan, tujuh gunung, dan tujuh lapis langit.” Ibn Abu Hatim kemudian menyatakan bahwa uraian ini adalah maksud dari firman Allah SWT dalam Surah Luqman ayat 27.”

وَلَوْ أَنَّمَا فِى ٱلْأَرْضِ مِن شَجَرَةٍ أَقْلَٰمٌ وَٱلْبَحْرُ يَمُدُّهُۥ مِنۢ بَعْدِهِۦ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ مَّا نَفِدَتْ كَلِمَٰتُ ٱللَّهِ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Artinya: “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Namun, cerita ini dianggap tidak benar karena terkesan dibuat-buat, dan tidak ada bukti yang mendukung kebenarannya. Kisah semacam ini sering kali disebarkan oleh ahli kitab dengan maksud untuk membingungkan ajaran agama Islam.

Mengutip dari kitab Tafsir Ibnu Katsir, ayat tersebut menunjukkan tentang keagungan dan kemuliaan Allah SWT yang tidak terhingga. Allah berfirman bahwa jika semua pepohonan di bumi dijadikan pena dan semua lautan dijadikan tinta, ditambahkan dengan tujuh lautan yang serupa, untuk menuliskan kalimat-kalimat-Nya yang mencerminkan keagungan, sifat-sifatNya, dan keluhuranNya, maka walaupun demikian pena-pena itu akan patah dan lautan-lautan itu akan kering sebelum habisnya menuliskan kalimat-kalimat Allah.

Hal ini menegaskan bahwa kalimat-kalimat Allah tidak terbatas dan tidak dapat diukur oleh makhluk-Nya. Penyebutan tujuh lautan dalam ayat ini adalah hiperbola untuk menunjukkan ketiadaan batasan dan kebesaran kalimat-kalimat Allah, bukan untuk menunjukkan adanya tujuh lautan secara harfiah di dunia ini. Ayat ini juga menegaskan bahwa Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana dalam segala penciptaan dan keputusan-Nya, serta Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui atas segala yang ada.

BACA JUGA: Ayat Muhkam: Pondasi Ajaran Islam yang Jelas dan Tegas, Simak

Seperti kisah tentang bumi pada hari kiamat yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Kisah ini tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dan dapat digunakan sebagai tambahan pengetahuan.

“Telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukhari, ia berkata: telah menceritakan kepada kami Yahya ibn Bukhari, dari Lais dari Khalid, dari Sa’id al-Khudri, ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Pada hari kiamat, bumi itu akan menjadi seperti segenggam roti di tangan Allah, Dia memegangnya dengan kekuasaan-Nya sebagaimana seseorang menggenggam sebuah roti di perjalanan. Bumi itu akan menjadi tempat bagi ahli surga.” Kemudian datanglah seorang laki-laki dari kalangan Yahudi dan berkata kepada Rasulullah, “Semoga Allah memuliakanmu, hai Abal Qasim. Bukankah aku telah memberitahumu tentang tempat ahli surga pada hari kiamat?” Rasulullah menjawab, “Tentu saja.” Laki-laki tersebut menyatakan bahwa bumi akan seperti segenggam roti, sesuai dengan yang telah dinyatakan oleh Nabi. Rasulullah kemudian melihat kepada mereka semua, lalu tersenyum sampai terlihat geraham giginya.”

Isi kisah ini sesuai dengan syariat Islam dan dapat dijadikan dalil atau pegangan bagi umat Islam. Oleh karena itu, umat Islam diperbolehkan untuk menyebarkan kisah ini, baik untuk pengetahuan maupun keperluan lainnya.

Bagian ini mengandung unsur-unsur yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sahih. Sebagai contoh, dalam tafsir at-Thabari pada surah Az-Zumar ayat 67:

وَمَا قَدَرُوا اللّٰهَ حَقَّ قَدْرِهٖۖ وَالْاَرْضُ جَمِيْعًا قَبْضَتُهٗ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَالسَّمٰوٰتُ مَطْوِيّٰتٌۢ بِيَمِيْنِهٖ ۗسُبْحٰنَهٗ وَتَعٰلٰى عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Artinya: “Dan mereka tidak mengagungkan Allah sebagaimana mestinya padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci Dia dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan.”

Terdapat riwayat Israiliyat yang berbicara tentang penciptaan alam semesta dan kejadian awal dunia. Salah satu riwayat tersebut mengutip bahwa seorang Yahudi datang kepada Nabi Muhammad SAW dan mengklaim bahwa langit dan makhluk lainnya diciptakan di atas sebuah jari, serta mengatakan, “Kami adalah Raja.” Nabi Muhammad SAW merespons dengan tertawa karena takjub, yang menjadikan gerahamnya terlihat.

Riwayat ini isinya tidak sejalan dengan ajaran Islam yang mengajarkan tentang keesaan Allah dan kebesaran-Nya, yang tidak dapat dibatasi oleh konsep seperti itu.

Bagian ini mengacu pada kisah-kisah yang tidak memiliki pendukung yang kuat (sanad) atau yang tidak jelas kebenarannya. Kisah-kisah ini tidak dianggap mendasar dalam penafsiran Islam dan sering kali tidak dipertimbangkan dalam hal keputusan hukum atau keyakinan.

Israiliyat yang mauquf sering dijelaskan dalam kisah ashabul Kahfi, yang umumnya diambil dari riwayat Ibnu Ishaq, Wahhad bin Munabbih, Ibnu Abbas, dan Mujahid. At-Thabari mengemukakan riwayat ini dalam tafsirnya dengan panjang sekitar tiga lembar. Riwayat-riwayat ini secara khusus membahas detail seperti nama-nama ashabul Kahfi, zaman, tempat, serta detail tentang anjing mereka seperti nama (Qitmir atau lainnya) dan warnanya (merah atau kuning).

At-Thabari tidak memberikan komentar yang jelas terhadap sanad atau matan riwayat-riwayat ini. Namun, menurut Ibnu Katsir, cerita-cerita yang melibatkan detail-detail semacam ini sering berasal dari sumber-sumber non-Islam, dan perlu dikaji ulang keakuratannya dalam konteks Islam.

BACA JUGA: Klasifikasi dan Keutamaan Surat Makkiyah dalam Al-Qur’an, Simak

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 49, Allah SWT menggambarkan salah satu momen penting dalam sejarah Bani Israil, yaitu pembebasan mereka dari kekejaman Fir’aun. Ayat ini berbunyi:

وَإِذْ نَجَّيْنَـٰكُم مِّنْ ءَالِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوٓءَ ٱلْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَآءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَآءَكُمْ ۚ وَفِى ذَٰلِكُم بَلَآءٌۭ مِّن رَّبِّكُمْ عَظِيمٌۭ

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir´aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu.”

Fir‘aun adalah gelar bagi raja-raja Mesir kuno yang terkenal karena kekejamannya, termasuk membunuh anak-anak laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Fir‘aun juga menganggap dirinya sebagai Tuhan. Dia memerintahkan Haman, pembantunya yang setia, untuk membangun menara tinggi agar bisa melihat Tuhan yang disembah oleh Nabi Musa AS.

Dalam upaya menyelamatkan Bani Israil dari kekejaman Fir‘aun, Nabi Musa memimpin mereka keluar dari Mesir. Ketika mereka terdesak di tepi Laut Merah, Allah memerintahkan Nabi Musa untuk memukulkan tongkatnya ke laut, sehingga laut terbelah dan mereka bisa menyeberang dengan selamat. Fir‘aun dan pasukannya yang mengejar mereka kemudian tenggelam ketika laut kembali menyatu.

Di saat-saat terakhir hidupnya, Fir‘aun mencoba menyatakan imannya, namun Allah menolak pengakuannya karena sebelumnya dia sangat durhaka dan merusak. Allah mengekalkan tubuh Fir‘aun sebagai bukti kuasa-Nya dan sebagai pelajaran bagi generasi berikutnya bahwa kesombongan dan kedurhakaan akan berakhir dengan tragis.

Allah SWT mengisahkan peristiwa ketika Bani Israel mengalami masa tersesat selama empat puluh tahun di padang pasir setelah menolak perintah Allah untuk memasuki Tanah Suci (Palestina). Sebagaimana termaktub dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 20-26:

وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَآتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ (20) يَا قَوْمِ ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ (21) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ (22) قَالَ رَجُلَانِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذَا دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (23) قَالُوا يَا مُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ (24) قَالَ رَبِّ إِنِّي لَا أَمْلِكُ إِلَّا نَفْسِي وَأَخِي فَافْرُقْ بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (25) قَالَ فَإِنَّهَا مُحَرَّمَةٌ عَلَيْهِمْ أَرْبَعِينَ سَنَةً يَتِيهُونَ فِي الْأَرْضِ فَلَا تَأْسَ عَلَى الْقَوْمِ الْفَاسِقِينَ (26)

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kalian ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antara kalian, dijadikan-Nya kalian orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepada kalian apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorang pun di antara umat-umat lain. Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagi kalian, dan janganlah kalian lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kalian menjadi orang-orang yang merugi.” Mereka berkata.”Hai Musa, sesungguhnya di dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar darinya. Jika mereka telah keluar darinya, pasti kami akan memasukinya.” Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang keduanya telah diberi nikmat oleh Allah, “Serbulah mereka melalui pintu gerbang (kota) itu! Bila kalian memasukinya, niscaya kalian akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar orang yang beriman.” Mereka berkata, “Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya. Karena itu, pergilah kamu bersama Tuhanmu; dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja!” Berkata Musa, “Ya Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu, pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” Allah berfirman, “(Jika demikian), maka sesungguhnya negeri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasik itu.”

Allah menyelamatkan Bani Israil dari Fir’aun dan membawa mereka keluar dari gurun Sinai di bawah pimpinan Nabi Musa AS. Di sana, Allah memberi mereka nikmat besar, termasuk dua belas mata air yang memancar dari batu dan naungan awan putih, serta makanan manna dan salwa. Musa memerintahkan mereka untuk memasuki tanah suci dan berjuang melawan orang-orang kafir di sana, dengan jaminan pertolongan Allah. Namun, Bani Israil, yang penakut, menolak perintah Musa, khawatir menghadapi orang-orang yang perkasa di negeri itu.

Dua pria pemberani dari Bani Israil mencoba menyusun strategi dan memberi semangat kepada kaumnya untuk menyerbu melalui pintu gerbang, menjamin kemenangan dengan bertawakal kepada Allah. Namun, Bani Israil tetap menolak dan meminta Musa serta Tuhannya untuk berperang sendiri, sementara mereka duduk menunggu.

Musa menghadap Allah, meminta pemisahan dari orang-orang fasik itu. Allah menghukum Bani Israil dengan mengharamkan mereka memasuki tanah suci selama empat puluh tahun, sehingga mereka berputar-putar di gurun Sinai sampai generasi pengecut itu punah dan digantikan oleh generasi baru yang lebih kuat dan berani.

Kisah ini mengingatkan kita untuk selalu taat kepada Allah dan percaya pada pertolongan-Nya, serta bahwa Allah akan mengganti generasi yang lemah dan tidak patuh dengan yang lebih kuat dan beriman. Wallahu’alam

Wiranda Hasibuan & Nurmaida Sitanggang (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

15 komentar pada “Israiliyyat: Pengaruh Tradisi Bani Israil dalam Penafsiran Alquran

  • Nuraisyah siregar

    Bagaimana cara membedakan riwayat israiliyah yang shahih dan yang dhaif ?

    Balas
  • Emmi Atikah

    Bagaimana pendekatan kritis terhadap Israiliyyat dapat membantu dalam menghasilkan penafsiran yang lebih autentik dan sesuai dengan konteks Al-Qur’an?

    Balas
  • Nurdi Juliana dalimunthe

    Apa perbedaan antara israiliyyat yang berkaitan dengan akidah dan hukum?

    Balas
  • Anjely rosida

    Bagaimana para ulama membedakan israhililyat yg shohih dan tidak shohih

    Balas
    • Yuningsih Pohan

      Apakah banyak pertentangan tentang ayat israiliyyat?

      Balas
  • Hifny Mardiyah Nasution

    Bagaimana Israiliyat mempengaruhi tafsir Al-Qur’an

    Balas
  • Nur Hamidah

    Bagaimana pengaruh Israiliyyat dapat memengaruhi pemahaman kita terhadap ajaran-ajaran Alquran dan bagaimana cara menghindari kesalahan penafsiran yang mungkin timbul?

    Balas
  • Bagaimana interaksi antara tradisi Bani Israil dan sumber-sumber Islam lainnya dalam penafsiran Alquran?

    Balas
  • Resti Fauzia Harahap

    Bagaimana pandangan ulama kontemporer terhadap kisah israiliyat dalam tafsir Al-Quran?

    Balas
  • Fitri ayu rambe

    Berapa kali Bani Israil disebut dalam Al Qur an?

    Balas
  • Mengapa penting untuk memahami kehadiran ayat israiliyat dalam kajian Islam?

    Balas
  • Rini Agustina Hasibuan

    Apakah sama bani Israel dan israel sekarang yang menjajah Palestina?

    Balas
  • Wardhiyah Nadzifah

    Bagaimana israiliyat dapat masuk dalam tafsiran al quran dan apa catatan israiliyat dalam yahudi

    Balas
  • Tia Nurmala Hasibuan

     Mengapa penting untuk memahami tradisi Bani Israil dalam konteks penafsiran Alquran? Jelaskan dengan memberikan argumen yang mendukung.

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk