Pengertian dan Urgensi Ilmu Gharibul Qur’an dalam Penafsiran
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad shallalahu ‘alaihi wa sallam dengan memakai bahasa Arab. Sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan wahyu Allah Subhanahu wa ta’ala, beliau setelah menerimanya langsung menyampaikannya kepada para sahabat.
Nabi SAW kemudian menjelaskan kandungan ayat-ayat tersebut dengan sabda-sabda beliau atau dengan perbuatan-perbuatan atau ketetapan-ketetapannya, sesuai dengan firman-Nya dalam Alquran Surah An-Nahl ayat 44:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Imam Az-Zarqani dalam kitab Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Qur’an, menyebutkan bahwa para sahabat pada waktu itu terdiri dari orang-orang Arab murni yang banyak memiliki keistimewaan. Mereka mempunyai kekuatan daya menghafal, kecerdasan otak, kepandaian merangkum keterangan, serta kemahiran mengetahui ungkapan-ungkapan bahasa, sehingga mereka sudah pandai dalam beberapa ilmu Al-Qur’an dan kemu’jizatannya.
Namun, meskipun demikian, tentu saja para sahabat berbeda dalam kepandaian dan kecerdasan otaknya, begitu pula mengenai dekat dan jauhnya dari Rasulullah SAW. Karena itu, apabila di antara mereka menemui kesulitan, maka mereka menanyakannya kepada beliau dan beliau pun menerangkannya dengan jelas sampai mereka mengerti dan puas.
Seperti kisah ‘Addi bin Hatim, ia berkata:
“Tatkala turun ayat (حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ) yang artinya: ‘hingga nyata benang putih dan benang hitam berupa fajar,’ saya mengambil seutas tali hitam dan seutas tali putih, lalu saya letakkan di bawah bantal. Di waktu malam, tali tersebut saya amati ternyata saya tidak dapat membedakannya. Pagi-pagi saya menemui Rasulullah saw. dan menceritakan hal itu kepada beliau.”
Lalu, Rasululah SAW bersabda:
إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
Artinya: “Maksudnya ialah gelapnya malam dan terangnya siang.”
Juga seperti diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, setelah diturunkannya Alquran Surat Al-An’am ayat 82:
الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُوْلَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Para sahabat bertanya kepada Nabi: “Siapakah di antara kami yang tidak menganiaya dirinya?” Maka Nabi saw. menafsirkan arti بظلمٍ (dalam ayat itu) dengan arti syirik, dengan berdalil firman Allah dalam Alquran Surah Luqman ayat 13:
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya: “Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
BACA JUGA: Ilmu Tafsir: Memahami Pesan dan Makna Tersirat dalam Al-Qur’an
Pengertian Ghoribul Quran
Pengertian Menurut Bahasa:
Kata gharib (غَرِيب) berasal dari fi’il madhi gharuba (غَرُبَ), mengikuti wazan fa’ula (فَعُلَ) dengan ‘ain fi’il yang dibaca dhammah (u), sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Malik dalam bait syairnya:
كَالنَّجْم وَالْجَمِيْل وَالْفِعْلُ جَمُلَ وَفَصْلُ أَوْلَى وَقَعِي بِفَصْلٍ
وَنَوَى الفَاعِلُ قَدْ يَعْنِي فَعُلَ وَأَفْعَل فِيْهِ قَلِيْلٌ وَفَعَلَ
Artinya: “Adapun isim fa’il wazan fa’ūlun (فَعُول) dan fa’ilun (فَعِيل) lebih baik untuk fi’il mādi wazan fa’ula (فَعُلَ) seperti: fi’il jamula (جَمُلَ) dan fa’ula (فَعُلَ). Adapun wazan af’ala (أَفْعَلَ) dan fa’ala (فَعَلَ) bagi fi’il mādi wazan fa’ula (فَعُلَ) adalah sedikit/ jarang. Dan kadang-kadang digunakan untuk fi’il madi wazan fa’ala (فَعَلَ) dengan isim fa’il selain wazan fa’ilun (فَاعِل).”
Dalam kitab Al Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam karya Luis Ma’luf, secara bahasa, gharib (غَرِيب) berarti tersembunyi atau samar, seperti dalam kata gharuba (غَرُبَ) yang artinya sesuatu yang tidak dikenal atau tidak umum.
Al-Farbawi menyebutkan dalam Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i, kata gharib sendiri dapat berarti “yang berdagang diri,” “orang asing,” “jelih yang tidak kelaziman,” dan “yang ajaib”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, Poerwadarminta menyebutkan bahwa gharib berasal dari bahasa Arab yang berarti “asing,” “jarang ditemukan,” “aneh,” “ganjil,” atau “luar biasa”.
Pengertian gharib yang dimaksud di sini adalah istilah yang menggambarkan lafaz-lafaz yang pelik, jarang ada, atau sukar ditemukan dalam Al-Qur’an. Ini bukan berarti kata-kata yang bersifat “berdagang diri,” “orang asing,” atau “ajaib.”
Pengertian Menurut Istilah:
Berbagai ulama dan sarjana memberikan definisi yang hampir sama mengenai gharib dalam Al-Qur’an. Ar-Rafi’i dalam kitabnya I’jazul Qur’an memberikan definisi sebagai berikut:
وَإِنَّمَا اللَّفْظَةُ الْغَرِيبَةُ هَاهُنَا هِيَ الَّتِي تَكُونُ حَسَنَةً مُسْتَغْرِبَةً فِي التَّأْوِيلِ بِحَيْثُ لَا يَتَسَاوى فِي الْعِلْمِ بِهَا أَهْلُهَا وَسَائِرُ النَّاسِ
Artinya: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan lafaz gharib di sini adalah lafaz yang indah tetapi penjelasannya masih dianggap asing sehingga pengetahuan tentangnya tidak sama antara ahli ilmu dan orang awam.”
Menurut Imam Abu Sulaiman Hamd bin Muhammad Al-Khattabi, gharib memiliki dua makna:
وَالغَرِيبُ مِنَ الْكَلَامِ يُقَالُ بِهِ عَلَى وَجْهَيْنِ: أَحَدُهُمَا أَنْ يُرَادَ بِهِ أَنَّهُ بَعِيدُ الْمَعْنَى غَامِضُهُ لَا يَتَنَاوَلُهُ الْفَهْمُ إِلَّا عَنْ بُعْدٍ وَمُعَانَةٍ فِكْرٍ، وَالْوَجْهُ الْآخَرُ أَنْ يُرَادَ بِهِ كَلَامُ مَنْ بَعُدَتْ بِهِ الدَّارُ مِنْ مَوَادِ قَبَائِلِ الْعَرَبِ فَإِذَا وَقَعَتْ إِلَيْنَا الْكَلِمَةُ مِنْ لُغَاتِهِمْ اسْتَغْرَبْنَاهَا
Artinya: “Gharib dalam kalam (kata) dapat diartikan dengan dua cara: Pertama, makna yang jauh dan samar yang tidak bisa dipahami kecuali dengan usaha dan pemikiran yang mendalam. Kedua, perkataan seseorang dari tempat yang jauh dari kelompok besar kabilah-kabilah Arab; ketika kita mendengar bahasa mereka, kita menganggapnya sebagai bahasa yang janggal.”
Kedua makna ini yang dimaksud dengan gharib dalam konteks Al-Qur’an, dan bukan kata-kata liar yang mencela kefasihan, karena Al-Qur’an adalah kitab yang paling fasih dan paling tinggi tingkatannya.
Secara umum,gharib adalah bahasa Arab yang sulit dan berasal dari orang yang tinggal jauh dari kelompok besar kabilah-kabilah Arab yang maknanya dianggap janggal. Al-Qur’an mengandung banyak kata yang halus, tinggi, dan pelik sehingga bangsa Arab sendiri tidak semuanya memahami maknanya dengan sama.
Dalam kitab-kitab Balagah, istilah gharib tidak digunakan untuk kata-kata yang maknanya tidak jelas dan tidak umum di kalangan orang Arab fasih; istilah yang digunakan adalah ghurabah (غُرَابَة) (masdar dari lafaz gharuba (غَرُبَ)).
Al-Jurjani dalam kitabnya At-Ta’rifat mengatakan:
غُرَابَة هِيَ: وُجُودُ الْكَلِمَةِ غَرِيبَةً غَيْرَ وَاضِحَةِ الْمَعْنَى وَلَا تُسْتَحَبُّ فِي اسْتِعْمَالِهَا
Artinya: “Gharabah adalah adanya kalimat yang liar, tidak jelas artinya, dan tidak disukai dalam penggunaannya.”
Yang dimaksud dengan “tidak disukai penggunaannya” adalah pemakaian di kalangan bangsa Arab asli. Oleh karena itu, kata-kata gharib dalam Al-Qur’an dan Hadis tidak termasuk dalam kategori ini karena bahasa keduanya sering digunakan. Gharib dalam konteks ini mengacu pada kata-kata yang ganjil atau sukar ditemukan dalam kitab-kitab biasa atau tidak ada dalam percakapan sehari-hari.
Tokoh-tokoh Ilmu Gharib al-Qur’an
Al Yazidi menyebutkan dalam kitab Gharibul Qur’an wa Taisiruhu, ulama yang pertama kali membahas dan mendokumentasikan makna lafaz-lafaz gharib (sulit atau jarang ditemukan) dalam Al-Qur’an adalah Aban bin Taglab bin Rabah (wafat 141 Hijriah/758 Masehi) dan Abu Ubaidah bin Mu’ammar bin al-Musanna at-Taimi (wafat 210 Hijriah/825 Masehi) .
Meskipun banyak ulama yang menyusun karya tentang lafaz-lafaz ini, nama kitab mereka tidak selalu mencerminkan istilah Gharib al-Qur’an. Beberapa dari mereka menamai kitabnya dengan Ma’ani al-Qur’an, Majazul Qur’an, Lughat al-Qur’an, dan Tuhfat al-Arib bima fil Qur’ani minal Gharib.
Berikut adalah beberapa tokoh penting dalam ilmu Gharib al-Qur’an: Aban bin Taglab bin Rabah (w. 141 H/758 M), Mu’arrej bin ‘Umar an-Nahwi as-Sadusi al-Basri (w. 174 H/790 M), Abu Payd Marsad bin al-Harits bin Saur bin ‘Alaman bin Umar bin Sadūs (w. 195 H/810 M), Amr bin Shamil al-Basri (w. 203 H/818 M), Abu Ubaidah Mu’ammar bin al-Musanna at-Taimi (w. 210 H/825 M), Abu al-Hasan Sa’id bin Mas’adah al-Akhfasy al-Awsat (w. 212 H/835 M), Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam al-Hariri al-Kufi (w. 224 H/838 M), Abu Muhammad Abdullah bin Muslim bin Qutaibah (w. 266 H/879 M), Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan (dikenal sebagai Ibnu Duraid al-Lugawi) (w. 321 H/933 M), Muhammad bin ‘Ujaiz as-Sijistani (w. 330 H/941 M), yang menulis Nuzhatul Qulub.
Tokoh-tokoh ini berperan besar dalam mengembangkan pemahaman terhadap istilah-istilah sulit dalam Al-Qur’an melalui berbagai karya mereka yang masih menjadi rujukan hingga kini.
BACA JUGA: Lafazh ‘Amm dan Khas dalam Alquran: Pengaruhnya pada Hukum
Urgensi Ilmu Gharibul Qur’an
Mengetahui makna-makna yang pelik dalam al-Qur’an merupakan kebutuhan mendasar bagi setiap mufassir. Tanpa pemahaman ini, seseorang tidak diperbolehkan untuk memberanikan diri menafsirkan al-Qur’an.
Dalam kitab Al-Burhan fi ‘Ulum Al-Quran karya Imam Az-Zarkasyi, bahwa Yahya bin Nadlah al-Madini mengatakan:
سَمِعْتُ مَالِكَ بْنَ أَنَسٍ يَقُولُ: لَا أُوْتَى بِرَجُلٍ يُفَسِّرُ كِتَابَ اللهِ غَيْرَ عَالِمٍ بِلُغَةِ الْعَرَبِ إِلَّا جَعَلْتُهُ تَكَالًا
Artinya: “Aku mendengar Malik bin Anas berkata, “Aku tidak mengizinkan seorang pun untuk menafsirkan kitab Allah kecuali dia adalah ahli dalam bahasa Arab; selain itu, aku menjadikannya sebagai kesalahan (taklid).”
Mujahid berkata:
لا يَحِلُّ لأَحَدٍ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ أَنْ يَتَكَلَّمَ فِي كِتَابِ اللهِ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَالِمًا بِلُغَاتِ الْعَرَبِ.
Artinya: “Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berbicara tentang Kitab Allah jika ia tidak berpengetahuan tentang bahasa Arab.”
Para ulama mewajibkan bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur’an untuk memenuhi syarat-syarat tertentu. Tidak semua orang memiliki izin untuk menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, hanya mereka yang telah ahli dalam bidangnya yang diperbolehkan melakukannya.
Salah satu syarat tersebut adalah penguasaan bahasa Arab dalam segala aspeknya. Penguasaan ini merupakan modal utama bagi seorang mufassir untuk memahami maksud-maksud Allah yang terkandung dalam firman-Nya: al-Qur’an.
Penguasaan bahasa Arab sangat penting tidak hanya karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tetapi juga karena memuat ungkapan-ungkapan yang khas, yang nilainya jauh berbeda dengan bahasa Arab sehari-hari. Bahasa al-Qur’an mengandung kedalaman makna dan kekayaan struktur yang memerlukan pemahaman mendalam untuk menggali pesan-pesan ilahi yang terkandung di dalamnya.
Kemukjizatan al-Qur’an mencakup keunggulan bahasa yang tinggi yang tidak dapat disamai oleh karya-karya manusia atau ciptaan lainnya. Al-Qur’an bukanlah hasil dari usaha manusia, melainkan adalah kalamullah yang mulia, yang diturunkan secara langsung kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril.
Penegasan akan hal ini terdapat dalam Surah Asy-Syu’ara ayat 192-195:
وَإِنَّهُ لَتَنزيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ (192) نزلَ بِهِ الرُّوحُ الأمِينُ (193) عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنْذِرِينَ (194) بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (195)
Artinya: “Dan sesungguhnya Al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruhul Amin (Jibril) ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.”
Kedudukan Ilmu Gharibul Quran
Ilmu Gharibul Qur’an memiliki kedudukan yang sangat penting dalam eksistensinya yang erat hubungannya dengan al-Qur’anul Karim. Fokus utama ilmu ini adalah untuk memahami dan menafsirkan lafaz-lafaz al-Qur’an yang perlu diketahui dan dipahami oleh para mufassir sebagai langkah awal untuk memahami keseluruhan isi al-Qur’an.
Obyek utama pembahasan dalam ilmu ini adalah al-Qur’an sendiri, terutama mengenai makna-makna lafaz-lafaz yang jarang dan unik. Ilmu ini juga membahas sebab-sebab kegariban, metode untuk memahami makna-maknanya, serta berbagai pandangan ulama dalam menetapkan makna lafaz-lafaz yang gharib.
Dari segi pengajaran, pengajaran ilmu Gharibul Qur’an mencakup proses belajar-mengajar yang melibatkan bahan-bahan materi terkait ilmu Gharibul Qur’an. Dalam proses pengajaran ini, dibahas berbagai teori dan pengetahuan yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan pemahaman terhadap lafaz-lafaz yang gharib, dengan berbagai panduan dan aturan untuk memahaminya.
Mutiasarah Viona & Zahra Ramadhani (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Bagaimana cara memahami ilmu gharib dalam konteks penafsiran Al-Qur’an?
Bagaimana cara mempelajari ilmu gharib dengan efektif ?
Bagaimana peran Ilmu Gharibul Qur’an dalam mengatasi perbedaan penafsiran ayat-ayat yang mengandung kata-kata asing atau langka?
Bagaimana ilmu gharibul Qur’an berperan dalam memahami makna khusus dalam Al Qur’an?
Bagaimana urgensi kaidah tafsir dalam penafsiran Al Qur an?
Di dalam membaca Alquran kita menjumpai bacaan Gharib Jelaskan apa yang dimaksud Gharib dalam hukum membaca Alquran?
Apa hubungan antara ilmu gharibul qur”an dan lingustik al qur an
Apa sajakah Bacaan-Bacaan Gharib dalam Al Qur an menurut Imam Ashim riwayat Hafs yang mengalami perubahan bunyi?
Bagaimana ilmu gharib membantu dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang sulit dipahami?
Adakah contoh kata-kata Gharibul Qur’an dan maknanya?
Sejauh mana ilmu Gharibul Qur’an dapat mempengaruhi interpretasi dan aplikasi hukum dalam Alquran?
Apa saja kendala dalam memahami ilmu ghorib?
Berikan contoh konkret bagaimana pemahaman terhadap kata-kata yang termasuk dalam ilmu Gharibul Qur’an dapat memperkaya interpretasi terhadap ayat-ayat Alquran yang sulit dipahami.