Relasi Agama dan Negara: Dari Pertarungan Menuju Kemitraan
TATSQIF ONLINE – Hubungan antara agama dan negara selalu menjadi percakapan panjang yang tak pernah selesai. Ada yang ingin keduanya disatukan penuh seperti air dengan gula, ada pula yang ingin mereka terpisah total seperti minyak dan air. Namun Indonesia memilih jalan tengah: kita bukan negara agama, bukan pula negara sekuler. Kita menyebutnya Negara Berketuhanan — suatu pola hubungan unik di mana agama tidak dijadikan sistem legal formal, tetapi menjadi ruh moral dari kebernegaraan.
Model ini bukan tanpa dasar. Pancasila menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama, bukan sebagai hiasan konstitusional, melainkan sebagai fondasi yang memberi ruh pada semua sila lainnya. Sebab keadilan tanpa ketuhanan bisa berubah menjadi kekerasan. Persatuan tanpa ketuhanan bisa berubah menjadi keseragaman yang menindas. Kerakyatan tanpa ketuhanan bisa berubah menjadi suara terbanyak yang menekan suara yang lemah. Karena itu, para pendiri bangsa tidak menempatkan agama sebagai alat kekuasaan, melainkan sebagai cahaya moral yang menerangi perjalanan negara.
Agama dan Negara: Dua Kekuatan yang Saling Membutuhkan
Agama memberi manusia kompas moral, tetapi tidak selalu menyediakan sistem teknis pengelolaan negara. Sebaliknya, negara mampu mengatur kehidupan sosial, tetapi mudah tergelincir dalam penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dikawal agama.
Negara yang lepas dari agama akan kehilangan rasa malu. Korupsi tumbuh subur ketika kebijakan hanya berbicara soal angka, bukan soal dosa. Kekuasaan bisa dijalankan dengan logika untung rugi, bukan lagi halal haram. Syed Naquib al-Attas pernah mengingatkan bahwa pemimpin tanpa agama hanyalah pejabat, bukan pemikul amanah. Mereka bisa cerdas, tetapi tidak bijak; kuat, tetapi tidak amanah.
Sebaliknya, agama tanpa pelukan negara akan mudah tercerai-berai. Tempat ibadah bisa berdiri, tetapi tidak ada jaminan keamanan. Dakwah bisa berjalan, tetapi bisa dimatikan oleh konflik sosial. Agama butuh negara sebagai penjaga ruang ibadah, negara butuh agama sebagai penjaga hati nurani.
Ibn Khaldun: Solidaritas Tak Akan Kuat Tanpa Agama
Jauh sebelum konsep negara bangsa modern lahir, Ibn Khaldun telah menyatakan bahwa agama adalah perekat sosial paling kuat. Dalam al-Muqaddimah, ia menyebut ‘aṣabiyyah (solidaritas) hanya akan bertahan jika memiliki arah moral. Tanpa agama, solidaritas berubah menjadi sekadar fanatisme kelompok. Dengan agama, solidaritas berubah menjadi kesediaan berjuang demi kebaikan bersama, bukan demi kepentingan golongan.
Agama membuat manusia bukan hanya takut pada polisi atau undang-undang, tetapi takut pada dosa. Dan masyarakat yang takut pada dosa jauh lebih mudah diatur daripada masyarakat yang hanya takut pada hukuman.
Belajar dari Turki dan Dunia Barat
Musthāfa Kemal Atatürk pernah mencoba meminggirkan agama dari negara. Masjid dijadikan museum, azan diubah bahasanya, pakaian ulama ditekan oleh undang-undang. Turki menjadi modern secara teknologi, tetapi kehilangan ruh spiritual. Sekularisme kaku justru menciptakan kekeringan jiwa. Kini, Turki perlahan kembali mencari format hubungan baru antara agama dan negara — bukan dengan kembali ke teokrasi, tetapi dengan memberi ruang agama sebagai identitas moral masyarakat.
Di Barat, banyak negara maju secara ekonomi, tetapi mengalami kekosongan makna hidup. Rumah ibadah kosong, tetapi klinik gangguan mental penuh. Mereka mulai sadar bahwa kemajuan tanpa arah bukanlah peradaban, melainkan percepatan menuju kehampaan.
Indonesia: Bukan Negara Agama, Bukan Negara Sekuler
Indonesia memilih jalan ketiga. Kita tidak menjadikan agama sebagai sistem hukum wajib bagi semua, tetapi juga tidak menyingkirkannya dari ruang publik. Kita menjadikan agama sebagai sumber inspirasi, bukan alat pemaksaan.
Contohnya jelas. Undang-undang kita melindungi semua rumah ibadah. Hari besar agama dijadikan libur nasional. Pemimpin negara tetap bersumpah atas nama Tuhan. Semua ini bukan simbol kosong — ini adalah cara bangsa ini berkata bahwa kami bernegara dengan kesadaran beragama.
Namun perlu diingat, ketika agama masuk ke ruang negara, ia harus tampil sebagai cahaya, bukan palu. Agama tidak boleh menjadi alat stempel kekuasaan. Di sinilah peran ulama, tokoh lintas agama, dan cendekiawan sangat penting — bukan untuk memaksa negara tunduk kepada kelompok tertentu, tetapi untuk mengingatkan bahwa kekuasaan tanpa moral adalah kehancuran yang terencana.
Menjaga Harmoni: Agama sebagai Cahaya, Negara sebagai Pelindung
Hubungan agama dan negara tidak boleh dipahami sebagai perebutan tahta, tetapi sebagai pembagian amanah. Negara memastikan rakyat bisa beribadah tanpa takut. Agama memastikan penguasa tidak menjadi tiran.
Agama tidak boleh dijadikan alasan untuk membenci sesama warga negara. Negara tidak boleh melarang agama hadir dalam ruang publik. Masing-masing memiliki batas sekaligus peran.
Dan jika keduanya berjalan seimbang, maka kita tidak akan lagi bertanya, “Apakah Indonesia menjadi negara agama atau negara sekuler?”—kita cukup menjawab:
“Indonesia adalah negara yang berjalan dengan cahaya Tuhan dan berpijak di atas tanah rakyatnya sendiri.”
Penutup: Menjadi Warga yang Berketuhanan
Akhirnya, relasi agama dan negara bukan hanya tanggung jawab pejabat atau ulama — tetapi tanggung jawab setiap warga. Menjadi bangsa berketuhanan bukan hanya berarti percaya kepada Tuhan, tetapi memastikan kehadiran Tuhan terasa dalam etika politik, kejujuran sosial, dan empati antar sesama.
Negara ini akan tetap utuh bukan hanya oleh kekuatan pasal-pasal hukum, tetapi oleh kekuatan hati yang masih mampu bergetar saat mendengar nama Tuhan.
Semoga kita menjadi bagian dari warga negara yang menjaga dua hal sekaligus: aturan negara dengan kesadaran hukum, dan ajaran agama dengan kesadaran iman. Wallahu’alam.
May Sarah (Mahasiswa Prodi HTN UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Bagaimana sistem hukum Indonesia menyeimbangkan antara norma agama dan prinsip-prinsip hak asasi manusia?
bagaimana jika konstitusi di negara” mayoritas muslim menerapkan prinsip -prinsip Islam sebagai dasar hukum dan mempengaruhi hak minoritas
Terkait tentang agama dan negara sebenarnya dua hal yang harus dipisahkan, ketika kita di berikan dua pilihan yaitu memilih pemimpin yang seakidah akan tetapi dia suka berdusta dan pemimpin satu lagi berbeda akidah dengan kita akan tetapi dia orang yang jujur, pertanyaannya adalah pemimpin yang mana yang layak di pilih?