Partai Politik Islam: Aspirasi Moral di Tengah Dinamika Kekuasaan
TATSQIF ONLINE – Agama dan politik ibarat dua saudara tua yang tak pernah benar-benar bisa berpisah. Keduanya saling membutuhkan, namun tak jarang juga saling menegur. Di Indonesia, hubungan agama dan negara menemukan bentuk khasnya: negara bukan negara agama, namun juga bukan negara sekuler; Pancasila menempati posisi tengah — memberi ruang bagi agama sebagai ruh moral, tanpa memaksanya menjadi aturan legal formal.
Di tengah ruang ini, tumbuhlah partai-partai politik Islam — sebagian membawa jargon syariat, sebagian lain menawarkan etika publik berbasis nilai-nilai Qur’ani. Namun pertanyaannya: apakah partai Islam hari ini sungguh menghadirkan akhlak, atau sekadar mengganti jargon tanpa mengubah tabiat?
Di sinilah peran agama diuji, bukan dalam spanduk kampanye, melainkan dalam watak para pelakunya.
Sejarah Perjumpaan Islam dan Politik di Indonesia
Sejak masa Sarekat Islam (1912), umat Islam telah menjadikan organisasi sebagai alat perjuangan. Masyumi di era kemerdekaan mengajarkan bagaimana Islam bisa berpikir modern dan konstitusional. Era Orde Baru memaksa partai-partai Islam menyatu dalam PPP, sedangkan era Reformasi kembali memberi ruang bagi diversifikasi: PKS, PKB, PAN, dan lainnya.
Namun dari sejarah panjang ini kita belajar satu hal: identitas Islam bukan jaminan kualitas politik. Ada masa ketika politisi Islam menjadi teladan, tetapi ada pula masa ketika simbol agama dipakai sebagai parfum moral untuk menutup bau kepentingan pribadi.
Fiqh Berpartai: Antara Hak Politik dan Amanah Syariah
Bagaimana pandangan fiqh terkait mendirikan partai politik? Mayoritas fuqaha kontemporer — seperti Yusuf al-Qaradhawi, Wahbah az-Zuhaili, dan Muhammad Imarah — membolehkan bahkan menganjurkan keterlibatan umat Islam dalam politik demokratis selama tujuannya untuk amar ma‘ruf nahi munkar dan menjaga maslahat umat.
Dasar Fiqhnya:
- QS. An-Nisa’: 59 “Taatilah Allah, Rasul, dan ulil amri di antara kalian.” → Ulil amri hanya bisa lahir melalui mekanisme politik yang sehat.
- QS. Ali Imran: 104 “Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan…” → Al-Qaradhawi menafsirkan ayat ini sebagai dalil bolehnya organisasi politik Islam.
- Kaedah Fikih:
“Ma laa yatimmul waajib illa bih fahuwa wajib”
(Sesuatu yang menjadi sarana bagi kewajiban, maka ia juga menjadi wajib.)
→ Jika menegakkan keadilan membutuhkan sistem politik, maka memperbaiki sistem politik menjadi bagian dari amal syar‘i.
Namun para ulama juga memberi peringatan keras:
“Politik tanpa akhlak adalah tipu daya, dan agama tanpa tanggung jawab sosial adalah pelarian.” – Buya Hamka
Artinya, berpolitik itu boleh, tapi jangan sampai agama dijadikan komoditas.
Tantangan Etika: Simbol Besar, Akhlak Kecil
Hari ini kita melihat fenomena yang memprihatinkan: banyak politisi mengutip ayat di mimbar kampanye, tetapi melupakannya ketika membagi proyek. Bahkan ada yang memakai surban di panggung, tapi memakainya hanya saat pemilu.
Lebih menyedihkan lagi ketika sebagian ulama turut hadir sebagai pemberi stempel moral. Mereka bukan lagi juru dakwah, melainkan juru tepuk tangan. Mereka membacakan doa bukan untuk keberkahan umat, tetapi untuk meresmikan ambisi pribadi seseorang.
Namun kita tak boleh sinis. Islam tidak boleh dihukum karena oknum.
Ulama dan Politisi: Penyeru Cahaya vs Penghias Kekuasaan
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Al-Ghazali membagi ulama menjadi dua:
- Ulama Akhirat, yang mengingatkan penguasa agar adil
- Ulama Suu’, yang mendekat pada penguasa agar dirinya dianggap mulia
Politik Islam butuh ulama yang berani menegur, bukan yang hanya memberi restu. Ulama bukan sekadar pengiring kekuasaan, melainkan kompas moralnya.
Refleksi: Bagaimana Seharusnya Muslim Berpolitik?
Politik dalam Islam bukanlah jalan menuju kedudukan, tapi ladang untuk menanam kebaikan. Maka ukuran keberhasilan partai Islam bukan banyaknya kursi, tetapi apakah masyarakat merasa lebih jujur, adil, dan peduli setelah mereka berkuasa?
Jika suatu hari partai Islam kalah dalam pemilu, tetapi masyarakat tetap percaya bahwa mereka bersih dan amanah, maka mereka telah menang di mata langit — meski kalah di hitungan suara bumi.
Penutup: Ketika Politik Menjadi Amal
Partai politik Islam tidak boleh hanya menjadi kendaraan menuju kekuasaan, tetapi jembatan menuju keridhaan Allah. Karena pada akhirnya, kekuasaan adalah sementara, tetapi kejujuran adalah warisan abadi. Semoga kelak kita tak sekadar bertanya “Siapa yang menang?”, tetapi juga “Siapa yang tetap jujur?”. Wallahu’alam.
Sukma Putri Pulungan (Mahasiswa Prodi HTN UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Apakah partai yang berbasis Islam masih bisa dianggap sebagai harapan masyarakat untuk menghadirkan politik yang jujur, meskipun beberapa anggotanya pernah terjerat dalam kasus korupsi?
Ketika salah satu parpol di Indonesia melakukan kesalahan akan tetapi di lain sisi si ketua parpol adalah ahli agama, yang menyebabkan anggotanya hanya diam karena terpengaruh doktrin, pertanyaannya adalah bagaimana fiqh memandang parpol yang melakukan kesalahan akan tetapi orang”di dalamnya yang paham agama akan tetapi hanya diam dan takut karena loyal terhadap pemimpin?
Apakah keberadaan partai politik Islam benar-benar mencerminkan aspirasi umat atau justru terjebak dalam pragmatisme politik?
Apakah keberadaan partai politik Islam benar-benar mencerminkan aspirasi umat atau justru terjebak dalam pragmatisme politik?