Antara Ulama Rabbani dan Ulama Suu’ di Era Demokrasi, Simak
TATSQIF ONLINE – Dalam sejarah panjang umat Islam, ulama selalu berdiri di posisi paling unik sekaligus paling rawan. Mereka tidak sepenuhnya berada di singgasana kekuasaan, namun juga tidak hanya menjadi penonton di balik mimbar. Mereka adalah jembatan nurani, penghubung antara rakyat yang mencari keadilan dan penguasa yang memikul amanah. Di sinilah kedudukan ulama diuji: apakah mereka akan menjadi “penjilat kekuasaan” atau “penjaga nurani”?
Di era modern, tata kelola negara menjadi semakin rumit. Demokrasi melahirkan kebebasan, tetapi sekaligus melahirkan kebingungan moral. Di media sosial, dalil agama bisa berubah menjadi slogan politik. Di ruang kekuasaan, ayat-ayat suci kadang dipakai bukan untuk menegakkan kebenaran, tetapi untuk membungkus ambisi. Dalam suasana seperti ini, umat bertanya-tanya: kepada siapa kami bertanya tentang kebenaran?
Maka pandangan pun tertuju kepada ulama. Bukan sebagai penguasa, bukan pula sebagai politisi, tetapi sebagai suara pengingat. Sebagaimana firman Allah:
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang beriman.” (QS. al-Dzāriyāt: 55)
Tugas ulama bukan membungkam umat agar pasrah, bukan pula meledakkan amarah agar negara hancur. Tugas mereka adalah mengingatkan, agar umat tidak hanyut dalam nafsu politik yang membutakan, dan agar penguasa tidak lupa bahwa rakyat bukanlah angka, melainkan amanah.
Ketika Fatwa Menjadi Kompas Moral
Dalam dunia politik, hukum saja tidak cukup. Undang-undang bisa kaku, tetapi hati nurani butuh cahaya. Di sinilah fatwa politik hadir—bukan untuk memaksa, melainkan untuk mencerahkan jalan. Al-Qaradawi (2000) menyebut fatwa sebagai “jawaban syariat terhadap pertanyaan zaman.” Maka politik pun berhak mendapatkan jawaban.
Bolehkan memilih pemimpin non-Muslim? Bolehkah menerima uang politik? Wajibkah menaati pemerintah yang zalim? Pertanyaan-pertanyaan ini tidak cukup dijawab dengan logika demokrasi saja; ia butuh suara wahyu dan hikmah.
Namun di sinilah dilema muncul. Ada dua jenis ulama dalam sejarah:
- Ulama Rabbani — mereka yang berkata “Benar itu benar, meski pahit. Salah itu salah, meski menguntungkan.”
- Ulama Suu’ — mereka yang merendahkan martabat ilmu demi kedudukan. Dalam Al-Qur’an, mereka disebut:
فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
Artinya: “Maka celakalah bagi mereka yang menulis kitab dengan tangan mereka lalu berkata: ‘Ini dari Allah’, untuk memperoleh keuntungan yang sedikit.” (QS. al-Baqarah: 79)
Ayat ini bukan hanya tentang kitab Taurat yang diselewengkan. Ia adalah cermin bagi ulama masa kini yang menjual fatwanya demi kekuasaan. Mereka tidak lagi menjadi pengingat, tetapi menjadi pengeras suara bagi penguasa.
Ulama Dalam Pusaran Kekuasaan: Antara Godaan dan Amanah
Dalam politik modern, godaan bagi ulama semakin besar. Panggung televisi memuliakan mereka, undangan ke istana membuat mereka dihormati, dan janji jabatan bisa membungkam petuah paling tajam. Banyak yang awalnya lantang menasihati penguasa, namun setelah berada di barisan depan, tiba-tiba menjadi sunyi.
Padahal Rasulullah ﷺ telah mengingatkan:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
Artinya: “Yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang munafik yang pandai berbicara.” (HR. Ahmad)
Ada orang bodoh yang jujur, itu masih bisa diarahkan. Tetapi ada orang cerdas yang licik, itu adalah bahaya laten bagi umat. Ulama suu’ tidak merusak dengan pedang, tetapi dengan kata-kata yang dibungkus dalil.
Namun kita tidak boleh berhenti pada kritik. Karena di balik itu, sejarah Islam juga penuh dengan ulama pengingat sejati.
Ulama yang Tegak di Tengah Kekuasaan
Kita ingat Imam Malik yang menolak memberi fatwa untuk melegitimasi penguasa zalim. Kita ingat Imam Nawawi yang menolak hadiah dari Sultan. Kita ingat Imam Abu Hanifah yang lebih memilih penjara daripada menjadi hakim boneka pemerintah. Mereka tidak membakar istana. Mereka tidak memimpin pemberontakan. Mereka hanya menolak diam — dan itu lebih berani dari perang.
Di Indonesia, kita juga punya kisah indah: KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan tidak mengkudeta pemerintah, tetapi mereka mengingatkan penguasa dengan pendidikan. KH. Maimoen Zubair mengajarkan bahwa ulama boleh menasihati presiden, tetapi tak boleh menjadi “penghias kekuasaan”.
Penutup: Menjadi Umat yang Tidak Membiarkan Ulama Diam
Rasulullah ﷺ bersabda:
الدين النصيحة
Artinya: “Agama itu nasihat.” (HR. Muslim)
Nasihat bukan hanya tugas ulama kepada penguasa. Ia juga tugas umat kepada ulama. Jika ulama benar, kita dukung. Jika ulama lupa, kita ingatkan. Jika ulama tergelincir, kita doakan. Karena yang paling berbahaya bukan hanya ulama yang salah, tetapi umat yang membiarkan kesalahan itu menjadi kebenaran baru. Wallahu’alam.
Ulpa Amanda Dalimunthe (Mahasiswa Prodi HTN UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

Bagaimana menghadapi tantangan dalam fatwa politik tersebut
Bagaimana menghadapi tantangan dalam fatwa politik tersebut
Di era modern khususnya di Indonesia kita banyak menemukan kasus penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang menyebabkan ketidak Adilan merajalela, pertanyaannya bagaimana peran ulama untuk menegakkan keadilan ketika penguasa menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingannya?