Fiqh & Ushul FiqhGaya HidupMuslimah

Puasa Ramadhan: Ketentuan bagi Perempuan Haid dan Nifas

TATSQIF ONLINE Salah satu kewajiban bagi umat Islam adalah menjalankan puasa selama bulan Ramadhan. Puasa ini memiliki aturan-aturan khusus yang harus dipatuhi, terutama bagi perempuan.

Selain memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun puasa, perempuan juga harus memperhatikan hal-hal yang dapat membatalkan puasa (‘udzur), terutama bagi yang baru melahirkan, menyusui, atau sedang mengalami haid.

Bagi perempuan yang masih mengalami darah nifas setelah melahirkan, maka tidak diperbolehkan baginya untuk berpuasa selama bulan Ramadhan. Karena salah satu syarat sah puasa adalah suci dari darah nifas.

Namun, jika darah nifas berhenti dan masih dalam bulan Ramadhan, maka dia wajib untuk kembali menjalankan puasa. Hal ini juga berlaku jika darah nifas berhenti sebelum waktu Subuh, dan dia mandi setelah waktu Subuh, maka puasanya dianggap sah.

Perempuan yang tidak berpuasa karena darah nifas, diwajibkan untuk menggantinya dengan melakukan qadha puasa di hari-hari lain setelah bulan Ramadan berakhir, bukan dengan membayar fidyah. Hukum ini juga berlaku bagi perempuan yang sedang mengalami haid.

BACA JUGA: Khadijah binti Khuwailid: Wanita Inspiratif dalam Sejarah Islam

Syaikh Abdurrahman Al-Juzairi, dalam Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah yang diterjemahkan oleh Shofa’u Qolbi Djabir, menyatakan bahwa wanita yang sedang mengalami haid atau nifas haram melaksanakan beberapa ibadah seperti shalat, membaca Alquran, dan berpuasa (baik yang wajib maupun sunnah).

Al Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari’, menjelaskan bahwa larangan sholat dan puasa bagi perempuan yang sedang haid dan nifas bukanlah semata-mata aturan syariat yang telah ditetapkan. Melainkan, larangan tersebut adalah bentuk rahmat Allah SWT kepada mereka.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, haid dan nifas merupakan salah satu pembatal puasa. Sebagai contoh, jika seseorang telah berpuasa sejak fajar, namun mengalami menstruasi pada sore hari, bahkan saat waktu berbuka yang tersisa hanya beberapa menit atau detik, maka puasanya menjadi batal dan dia harus menggantinya di luar bulan Ramadhan.

Perempuan yang sedang mengalami haid atau nifas diwajibkan untuk mengganti puasa Ramadhan yang tertinggal, berbeda dengan shalat yang memiliki ketentuan lain. Hal ini sesuai dengan penjelasan yang terdapat dalam hadis Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

فَقُلْتُ: مَا بَالُ الْحَائِضِ، تَقْضِي الصَّوْمَ، وَلَا تَقْضِي الصَّلَاةَ؟ فَقَالَتْ: أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ؟ قُلْتُ: لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ، وَلَكِنِّي أَسْأَلُ، قَالَتْ: كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ، وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ

Artinya: “Dan telah menceritakan kepada kami ‘Abd ibn Humaid, telah mengabarkan kepada kami, ‘Abdurrazzaq, telah mengabarkan kepada kami Ma’mar dari ‘Ashim dari Mu’adzah dia berkata: Saya bertanya kepada ‘Aisyah seraya berkata: “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ shalat?” Maka Aisyah menjawab: “Apakah kamu dari golongan Haruriyah ? ” Aku menjawab: “Aku bukan Haruriyah, akan tetapi aku hanya bertanya.” Dia menjawab,: “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat,” (HR Muslim).

Hadis ini mencatat percakapan antara Ma’mar dan ‘Aisyah tentang meng-qadha puasa dan shalat bagi wanita yang haid. ‘Aisyah menegaskan bahwa wanita yang haid hanya diwajibkan meng-qadha puasa yang terlewatkan, bukan shalat. Ini adalah tuntunan yang diberikan kepada mereka pada zaman Nabi Muhammad SAW.

Hal ini juga dijelaskan dalam kitab Mughnil Muhtaaj Ilaa Ma’rifati alfaazhil Minhaaj karya Syaikh Muhammad bin Muhammad Al-Khatib As-Syarbini sebagai berikut:

وَيَجِبُ قَضَاؤُهُ بِخِلَافِ الصَّلَاةِ ) لِقَوْلِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا كَانَ يُصِيْبَنَا ذَلِكَ أَيِ الْحَيْضُ فَنُؤمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلَا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلَاةِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ وَانْعَقَدَ الْإِجْمَاعُ عَلَى ذَلِكَ وَفِيْهِ مِنَ الْمَعْنَى أَنَّ الصَّلَاةَ تَكْثُرُ فَيَشَقُّ قَضَاؤُهَا بِخِلَافِ الصَّوْمِ

Artinya: “Dan wajib mengqadha puasa tidak wajib menqadha shalat, berdasarkan perkataan ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anhu: “Kami mengalami haid. Kami diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. Dan terjadi kesepakatan ulama dalam masalah tersebut. Makna yang terkandung dalam riwayat di atas bahwa shalat itu banyak sehingga berat mengqadha’nya, berbeda dengan puasa.”

Imam An-Nawawi juga menyebutkan ketentunan ini dalam kitabnya Majmu’ syarah kitab Al-Muhadzzab

وَأَجْمَعَتِ الْأُمَّةِ أَيْضًا عَلَى وُجُوْبِ قَضَاءِ صَوْمِ رَمَضَانَ عَلَيْهَا ، نَقَلَ الْإِجْمَاعَ فِيْهِ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَابْنُ جَرِيْرٍ وَأَصْحَابُنَا وَغَيْرُهُمْ

Artinya: “Ulama juga telah sepakat atas wajibnya mengqadha puasa Ramadhan atas wanita haid dan wanita nifas. Imam Tirmidzi, Ibnul Mundzir, Ibn Jarir, dan yang lainnya menukil kesepakatan tersebut.”

Berdasarkan ringkasan dari buku Fiqih Praktis Sehari-Hari karya Farid Nu’man Hasan, menunda penggantian puasa Ramadan hingga bertemu bulan Sya’ban berikutnya tidaklah menjadi masalah atau diperbolehkan. Ini didasarkan pada hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha yang menyatakan:

كَانَ يَكُونُ عَلَىَّ الصَّوْمُ مِنْ رَمَضَانَ ، فَمَا أَسْتَطِيعُ أَنْ أَقْضِىَ إِلاَّ فِى شَعْبَانَ

Artinya: “Aku dahulu punya kewajiban puasa. Aku tidaklah bisa membayar utang puasa tersebut kecuali pada bulan Sya’ban,”  (HR Bukhari dan Muslim).

Berdasarkan hadis tersebut, dapat disimpulkan bahwa Aisyah RA meng-qadha puasa Ramadan pada bulan Sya’ban berikutnya. Ini menunjukkan bahwa hal tersebut diperbolehkan.

Bahkan, sebagian ulama memperbolehkan penggantian puasa Ramadan kapan pun, tanpa batasan waktu tertentu, sesuai dengan firman Allah subhanahu wa ta’ala  dalam surah Al-Baqarah ayat 184 berikut ini:

اَيَّامًا مَّعۡدُوۡدٰتٍؕ فَمَنۡ كَانَ مِنۡكُمۡ مَّرِيۡضًا اَوۡ عَلٰى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ اَيَّامٍ اُخَرَؕ وَعَلَى الَّذِيۡنَ يُطِيۡقُوۡنَهٗ فِدۡيَةٌ طَعَامُ مِسۡكِيۡنٍؕ فَمَنۡ تَطَوَّعَ خَيۡرًا فَهُوَ خَيۡرٌ لَّهٗؕ وَاَنۡ تَصُوۡمُوۡا خَيۡرٌ لَّـکُمۡ اِنۡ كُنۡتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ‏

Artinya: “(Yaitu) beberapa hari tertentu. Maka barang siapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa), maka (wajib mengganti) sebanyak hari (yang dia tidak berpuasa itu) pada hari-hari yang lain. Dan bagi orang yang berat menjalankannya, wajib membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin. Tetapi barang siapa dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan,maka itu lebih baik baginya, dan puasamu itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”

Syekh Sayyid Sabiq rahimahullah dalam kitabnya Fiqhus Sunnah, menyatakan bahwa meng-qadha puasa Ramadhan tidak harus segera dilakukan. Ini merupakan kewajiban dengan waktu yang fleksibel, bisa dilakukan kapan saja, begitu juga dengan kafaratnya.

Hal ini telah disampaikan secara sahih dari Aisyah, bahwa dia mengqadha puasa Ramadhan pada bulan Sya’ban. Dia tidak terburu-buru melakukannya, meskipun dia mampu untuk melakukannya.

Mayoritas ulama menyatakan bahwa jika seseorang menunda meng-qadha puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i seperti sakit, hamil, atau menyusui, melainkan karena menunda-nunda dengan sengaja, maka dia tidak hanya wajib meng-qadha puasanya tetapi juga membayar fidyah. Namun, lebih baik untuk tidak menunda-nunda meng-qadha puasa Ramadan.

Menurut kitab Fiqhul Islami wa’Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az Zuhaili, jika seseorang menunda meng-qadha puasanya hingga Ramadhan berikutnya, mayoritas ulama menyatakan bahwa dia wajib melakukan qadha dan juga membayar fidyah setelah berpuasa Ramadhan. Namun, pendapat Hanafiyah menyatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar fidyah, baik seseorang menunda-nunda karena ada alasan ‘udzur maupun tidak.

Wallahu A’lam
Oleh Suningsih (Mahasiswa UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)

  • Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    Lihat semua pos Lecturer
  • Penulis: Suningsih

    Mahasiswa yang aktif di bidang kepenulisan, kreatif, dan selalu semangat untuk menggali potensi diri.

    Lihat semua pos

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

2 komentar pada “Puasa Ramadhan: Ketentuan bagi Perempuan Haid dan Nifas

  • Hikma Anisa siregar

    Di malam Lailatul Qadar boleh kah orang haid melakukan amalan di malam Lailatul Qadar buk

    Balas
    • Tentunya sudah pasti boleh, walaupun wanita sedang haid, dia tetap boleh melakukan berbagai macam amalan saat bulan Ramadhan, termasuk pada malam Lailatul Qadar, yang merupakan malam yang lebih mulia dari seribu bulan. Amalan yang dilakukan seperti berdzikir, bedo’a kepada Allah SWT, memperbanyak shalawat, mendengarkan lantunan ayat suci Alquran, dan membaca Alquran, tetapi dengan cara membaca surat-surat pendek atau surat-surat yang sudah masyhur (hafal), ini dapat dilakukan tanpa menyentuh mushaf atau memegangnya. Itulah amalan-amalan yang dapat dilakukan oleh wanita haid.

      Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk