Nasikh dan Mansukh: Konsep Hukum dalam Al-Qur’an dan Hadis
TATSQIF ONLINE – Al-Qur’an adalah kitab suci yang menjadi petunjuk hidup bagi umat Islam, berisi hukum-hukum, kisah-kisah, serta prinsip-prinsip yang relevan untuk kehidupan dunia dan akhirat. Namun, karena Al-Qur’an diturunkan secara bertahap selama 23 tahun, beberapa ayat yang awalnya memiliki ketentuan tertentu di kemudian hari mengalami pembaruan. Inilah yang melahirkan konsep nasikh dan mansukh dalam ilmu tafsir dan ushul fiqh.
Menurut Sulaeman dalam bukunya, “Ushul Fiqh: Pendalaman tentang Nasakh,” nasikh dan mansukh merujuk pada penggantian atau pembatalan hukum suatu ayat Al-Qur’an atau hadis oleh ayat atau hadis yang lain (Sulaeman, 2020). Tulisan ini akan membahas lebih dalam konsep nasikh dan mansukh, dalilnya dalam Al-Qur’an dan hadis, serta hikmah di balik penerapannya.
Definisi Nasikh dan Mansukh
Secara etimologis, kata nasikh berasal dari akar kata bahasa Arab naskh yang berarti menghapus, mengganti, atau memindahkan. Secara terminologi, nasikh adalah dalil yang menghapus atau mengganti dalil sebelumnya, sedangkan mansukh adalah dalil atau ketentuan hukum yang dihapus atau diganti. Al-Zarqani dalam karyanya Manahil al-Irfan menjelaskan bahwa nasikh adalah penghapusan hukum terdahulu oleh hukum yang baru demi kemaslahatan umat (Zarqani, 1997).
Menurut mayoritas ulama, nasikh dan mansukh berlaku dalam hukum-hukum yang terkait dengan amalan (‘amali) dan bukan pada akidah. Al-Qur’an sendiri menyebutkan bahwa setiap nasakh adalah bagian dari hikmah ilahi. Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 106:
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا ۗ أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: “Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
Tujuan dan Hikmah Nasikh dan Mansukh
Nasikh dan mansukh memberikan fleksibilitas dalam hukum Islam, terutama di masa Rasulullah SAW ketika umat Islam masih belajar dan menyesuaikan diri dengan syariat. Menurut Darmalaksana dalam buku “Hikmah Nasakh dalam Syariat,” konsep nasakh memudahkan masyarakat untuk menerima ajaran Islam secara bertahap dan relevan dengan konteks sosial dan budaya mereka (Darmalaksana, 2022).
Berikut adalah hikmah nasikh dan mansukh:
1. Memberikan Keringanan dan Kemudahan bagi Umat
Beberapa hukum syariat awal mungkin terlalu berat bagi umat saat itu. Dengan adanya nasikh, aturan yang lebih ringan diturunkan, contohnya seperti tahapan pelarangan khamar.
2. Mengatur Penghentian Hukum Sementara
Beberapa hukum hanya diterapkan pada kondisi tertentu, dan nasikh digunakan untuk mengakhiri masa berlaku hukum tersebut.
3. Menguji Keimanan dan Ketundukan Umat
Allah menguji ketaatan umat-Nya untuk menerima hukum baru dengan ikhlas dan tetap beriman kepada-Nya.
4. Menunjukkan Bahwa Syariat Islam Fleksibel dan Responsif
Pembatalan hukum sebelumnya menunjukkan bahwa syariat Islam selalu sesuai dengan perkembangan umat.
Syarat-Syarat Nasikh
Agar suatu ayat atau hukum dapat dinasakh, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi:
1. Hukum yang mansukh tidak memiliki batas waktu tertentu, karena jika terikat waktu, otomatis akan berakhir dengan sendirinya.
2. Nasikh harus datang dari Allah SWT atau Rasulullah SAW.
3. Nasikh harus lebih akhir diturunkan daripada mansukh.
4. Tidak ada kontradiksi antara dua ayat yang saling bertentangan tanpa ada kemungkinan kompromi.
Contoh-Contoh Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an
Berikut adalah beberapa contoh kasus nasikh dan mansukh dalam Al-Qur’an yang umum dikaji dalam ilmu tafsir.
1. Nasakh dalam Ketentuan Masa Iddah
Dalam Surah Al-Baqarah ayat 240, disebutkan bahwa istri yang ditinggal suami wafat harus menjalani masa iddah satu tahun penuh.
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ ۖ
Artinya: “Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri, hendaklah para istri itu menjalani masa iddah selama setahun penuh tanpa harus keluar.”
Ayat ini dinasakh oleh ayat yang turun kemudian, yaitu dalam Surah Al-Baqarah ayat 234 yang mengatur masa iddah menjadi empat bulan sepuluh hari:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Artinya: “Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan istri, hendaklah para istri itu menangguhkan diri (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari.”
2. Nasakh dalam Pelarangan Khamar
Pada tahap awal, khamar tidak dilarang secara mutlak. Dalam Surah An-Nisa ayat 43, Allah memperingatkan agar orang-orang tidak mendekati shalat dalam keadaan mabuk:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk.”
Kemudian dalam Surah Al-Maidah ayat 90, datanglah larangan mutlak terhadap khamar:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah agar kamu mendapat keberuntungan.”
Nasakh dalam Hadis
Nasikh dan mansukh juga diterapkan dalam hadis, di mana hukum pada hadis pertama diubah atau digantikan oleh hukum pada hadis yang turun belakangan. Contohnya adalah hukum terkait larangan ziarah kubur yang kemudian dibolehkan.
Dari Buraidah, Nabi Muhammad SAW bersabda:
كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا
Artinya: “Dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur, sekarang berziarahlah kalian, “(HR. Muslim)
Pembagian Nasikh
Para ulama membagi nasikh ke dalam empat kategori berdasarkan sumber hukum yang menggantikan:
1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an: Ini disepakati para ulama dan contoh yang umum adalah tentang iddah yang telah disebutkan di atas.
2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah: Sebagian ulama, seperti Malik dan Abu Hanifah, memperbolehkan, sedangkan sebagian lain menolaknya, seperti asy-Syafi’i.
3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an: Diperbolehkan oleh jumhur ulama, misalnya dalam kasus kiblat, dari menghadap Baitul Maqdis menjadi menghadap Ka’bah.
4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah: Ini mencakup perubahan hukum yang termuat dalam hadis, seperti contoh ziarah kubur yang sebelumnya dilarang dan kemudian diperbolehkan.
Pandangan Ulama Terhadap Nasikh dan Mansukh
Pendapat ulama mengenai konsep nasikh dan mansukh berbeda-beda, namun secara umum, para ulama menerima keberadaan nasikh dan mansukh sebagai bagian dari fleksibilitas syariat. Menurut Imam Syafi’i, nasikh adalah suatu keharusan dalam syariat karena beberapa hukum yang diterapkan pada masa tertentu perlu diperbarui atau disesuaikan untuk kepentingan umat.
Namun, ada ulama seperti Abu Muslim Al-Isfahani yang lebih skeptis terhadap konsep nasikh dalam Al-Qur’an, menganggap bahwa semua ayat dapat diselaraskan tanpa ada yang perlu dihapus atau digantikan.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa nasikh adalah tanda dari hikmah Allah yang selalu sesuai dengan perubahan zaman dan kondisi umat. Bagi beliau, nasikh merupakan manifestasi dari rahmat dan kemudahan yang diberikan Allah kepada manusia agar syariat dapat dilaksanakan dengan lebih baik.
Tantangan dalam Studi Nasikh dan Mansukh
Pengkajian nasikh dan mansukh memerlukan pemahaman mendalam terhadap konteks penurunan ayat serta tafsir dan sejarah turunnya hukum tersebut. Oleh karena itu, memahami ilmu asbabun nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) sangat penting, karena perbedaan konteks dapat mengubah pemahaman tentang ayat tersebut. Selain itu, diperlukan penguasaan ilmu hadis agar dapat mengidentifikasi mana hadis yang menjadi nasikh dan mana yang menjadi mansukh.
Selain tantangan metodologis, terdapat juga tantangan dari pemahaman modern yang kadang mempertanyakan konsep nasikh dan mansukh. Beberapa kalangan menilai bahwa konsep ini menimbulkan persepsi bahwa Al-Qur’an “berubah” atau tidak konsisten. Namun, pandangan semacam ini biasanya muncul dari kurangnya pemahaman terhadap hikmah di balik nasikh dan mansukh serta proses pewahyuan Al-Qur’an yang bertahap sesuai kebutuhan saat itu.
Kesimpulan
Nasikh dan mansukh adalah konsep yang sangat penting dalam memahami hukum-hukum syariat dan fleksibilitas yang terdapat dalam Islam. Konsep ini menunjukkan bahwa syariat Islam bersifat dinamis dan mampu beradaptasi dengan kondisi masyarakat. Nasikh merupakan penggantian hukum yang bertujuan untuk meringankan beban umat, menyelaraskan aturan dengan kondisi yang ada, dan memberikan kemudahan dalam melaksanakan syariat.
Allah menegaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 106 bahwa segala penggantian hukum dalam Al-Qur’an memiliki tujuan yang lebih baik bagi umat manusia. Oleh karena itu, mempelajari nasikh dan mansukh bukan sekadar kajian akademis, melainkan bagian dari upaya memahami kebijaksanaan Allah dalam menetapkan hukum.
Pada akhirnya, nasikh dan mansukh mengajarkan bahwa Islam bukanlah agama yang kaku, tetapi agama yang merespons kebutuhan umatnya. Hukum yang berlaku pada masa tertentu dapat diubah untuk kemaslahatan umat pada masa selanjutnya. Memahami konsep ini membantu umat Islam dalam menjalankan agama dengan lebih fleksibel dan penuh kesadaran akan hikmah di balik setiap hukum yang ditetapkan oleh Allah. Wallahua’lam.
Sufina Siregar & Tiara Hennisa Dasopang (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Hikmah apa yang kita dapat, jika kita mempelajari nasikh dan mansukh?
Bagaimana cara mengetahui ayat mana yang bersifat nasikh dan mana yang mansukh?
Bagaimana proses penentuan suatu ayat sebagai Nasikh dan Mansukh di lakukan oleh para ulama
Bagaimana cara mengetahui adanya nasikh dan mansukh dalam alquran dengan mudah?
Siapa sajakah ulama yang menolak adanya nasikh wal mansukh antara ayat-ayat Alquran?
Bagaimana pendekatan modern terhadap konsep nasikh dan mansukh dalam memahami dinamika hukum islam
Mengapa para ulama berbeda pendapat mengenai Nasikh dan mansukh terhadap ayat ayat hukum
Bagaimana hubungan antara Nasikh dan Mansukh dengan konsep Ijtihad dalam penafsiran hukum Islam?
Apa hikmah dari adanya nasikh mansukh dalam Alquran bagi umat Islam?
Bagaimana pengaruh Nasikh dan Mansukh terhadap praktik ibadah, seperti dalam hal kewajiban shalat atau puasa, dan bagaimana perubahan hukum ini dipahami dalam sejarah Islam?
Bagaimana proses penentuan ayat atau hadis yang dianggap nasikh dan yang dianggap mansukh?
Bagaimana konsep nasikh dan mansukh mempengaruhi perkembangan hukum Islam?
Bagaimana hukum-hukum yang bersifat nasikh berlaku untuk umat Muslim di era modern ini?