Fiqh & Ushul Fiqh

Hukum Waris dalam Kasus Pembunuhan Menurut Mazhab Fiqih

TATSQIF ONLINEDalam hukum Islam, hak waris dan wasiat adalah bagian penting yang diatur dengan detail, termasuk ketentuan tentang penghalang warisan dan wasiat bagi pelaku pembunuhan. Para ulama mazhab memiliki pandangan yang berbeda tentang bagaimana kedudukan pembunuh dalam hal menerima warisan atau wasiat.

Untuk menggali lebih dalam mengenai topik ini, kita akan mengkaji karya Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqh al-Jinayat wal Hudud. Buku ini merupakan referensi utama dalam mata kuliah Qiraatul Kutub di Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).

Teks Asli Buku

الحرمان من الميراث

ذهب الحنفية والشافعية إلى أن القتل الخطأ يعد سبباً من أسباب الحرمان من الميراث، استناداً إلى قول النبي صلى الله عليه وسلم: «القاتل لا يرث»، ولأن القتل يقطع الموالاة التي تعد سبباً للإرث. أما المالكية، فقد ذهبوا إلى أن من قتل مورثه خطأً فإنه يرث من المال ولا يرث من الدية. وذهب الحنابلة إلى أن القتل المضمون بقصاص أو دية أو كفارة لا إرث فيه، أما إذا كان القتل غير مضمون، كأن يكون نتيجة فعل مأذون فيه كإعطاء دواء أو ربط جرح، فيرث القاتل في هذه الحالة، وهذا ما ذهب إليه الموفق. وقد قال البهوتي: ولعل هذا أصوب لموافقته للقواعد

الحرمان من الوصية

اختلف الفقهاء في جواز الوصية للقاتل، ولا فرق في هذا بين القتل العمد والخطأ. فذهب الشافعية في الأظهر، وابن حامد من الحنابلة، وأيضاً أبو ثور وابن المنذر، إلى جواز الوصية للقاتل، لكون الهبة له تصح، فتصح الوصية له كالذمي. ويرى الحنفية وأبو بكر من الحنابلة عدم جواز الوصية له، لأن القتل يمنع الميراث الذي هو أَكْدَر من الوصية، فكانت الوصية أولى بالمنع، ولأن الوصية تعتبر كالميراث، فيمنعها ما يمنع الميراث، وهو ما قال به الثوري أيضاً

وقد فرق أبو الخطاب من الحنابلة بين الوصية بعد الجرح والوصية قبله، فقال: إن أوصى له بعد جرحه صحّت الوصية، وإن أوصى له قبله ثم طرأ القتل على الوصية أبطلها، وهذا هو قول الحسن بن صالح وهو المذهب. قال ابن قدامة: هذا قول حسن، لأن الوصية بعد الجرح صدرت من أهلها في محلها، ولم يطرأ عليها ما يبطلها، بخلاف ما إذا تقدمت الوصية ثم طرأ عليها القتل فأبطلها، لأن القتل يبطل ما هو أَكْدَر منها

أما المالكية، فإن علم الموصي بأن الموصى له هو الذي ضربه عمداً أو خطأ، صحت الوصية منه، وتكون الوصية في الخطأ في المال والدية، وفي العمد في المال فقط. أما إذا لم يعلم الموصي، فهناك تأويلان في صحة وصيته وعدمه

Teks dengan Tambahan Harakat

الْحِرْمَانُ مِنَ الْمِيرَاثِ

ذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّ الْقَتْلَ الْخَطَأَ سَبَبٌ مِنْ أَسْبَابِ الْحِرْمَانِ مِنَ الْمِيرَاثِ، اِسْتِنَادًا إِلَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «الْقَاتِلُ لَا يَرِثُ»، وَلِأَنَّ الْقَتْلَ قَطَعَ الْمُوَالَاةَ وَهِيَ سَبَبٌ لِلْإِرْثِ. أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ، فَقَدْ ذَهَبُوا إِلَى أَنَّ مَنْ قَتَلَ مُوَرِّثَهُ خَطَأً فَإِنَّهُ يَرِثُ مِنَ الْمَالِ وَلَا يَرِثُ مِنَ الدِّيَةِ. وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إِلَى أَنَّ الْقَتْلَ الْمَضْمُونَ بِقِصَاصٍ أَوْ دِيَةٍ أَوْ كَفَّارَةٍ لَا إِرْثَ فِيهِ، أَمَّا إِذَا كَانَ الْقَتْلُ غَيْرَ مَضْمُونٍ، كَأَنْ يَكُونَ نَتِيجَةَ فِعْلٍ مَأْذُونٍ فِيهِ كَإِعْطَاءِ دَوَاءٍ أَوْ رَبْطِ جُرْحٍ، فَيَرِثُ الْقَاتِلُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ، وَهَذَا مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ الْمُوَفَّقُ. وَقَدْ قَالَ الْبُهُوتِيُّ: وَلَعَلَّ هَذَا أَصْوَبُ لِمُوَافَقَتِهِ لِلْقَوَاعِدِ

الْحِرْمَانُ مِنَ الْوَصِيَّةِ

اِخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِي جَوَازِ الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ، وَلَا فَرْقَ فِي هَذَا بَيْنَ الْقَتْلِ الْعَمْدِ وَالْخَطَإِ. فَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ فِي الْأَظْهَرِ، وَابْنُ حَامِدٍ مِنَ الْحَنَابِلَةِ، وَأَيْضًا أَبُو ثَوْرٍ وَابْنُ الْمُنْذِرِ، إِلَى جَوَازِ الْوَصِيَّةِ لِلْقَاتِلِ، لِكَوْنِ الْهِبَةِ لَهُ تَصِحُّ، فَتَصِحُّ الْوَصِيَّةُ لَهُ كَالذِّمِّيِّ. وَيَرَى الْحَنَفِيَّةُ وَأَبُو بَكْرٍ مِنَ الْحَنَابِلَةِ عَدَمَ جَوَازِ الْوَصِيَّةِ لَهُ، لِأَنَّ الْقَتْلَ يَمْنَعُ الْمِيرَاثَ الَّذِي هُوَ أَكْدَرُ مِنَ الْوَصِيَّةِ، فَكَانَتِ الْوَصِيَّةُ أَوْلَى بِالْمَنْعِ، وَلِأَنَّ الْوَصِيَّةَ تُعْتَبَرُ كَالْمِيرَاثِ، فَيَمْنَعُهَا مَا يَمْنَعُ الْمِيرَاثَ، وَهُوَ مَا قَالَ بِهِ الثَّوْرِيُّ أَيْضًا

وَقَدْ فَرَّقَ أَبُو الْخَطَّابِ مِنَ الْحَنَابِلَةِ بَيْنَ الْوَصِيَّةِ بَعْدَ الْجُرْحِ وَالْوَصِيَّةِ قَبْلَهُ، فَقَالَ: إِنْ أَوْصَى لَهُ بَعْدَ جُرْحِهِ صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ، وَإِنْ أَوْصَى لَهُ قَبْلَهُ ثُمَّ طَرَأَ الْقَتْلُ عَلَى الْوَصِيَّةِ أَبْطَلَهَا، وَهَذَا هُوَ قَوْلُ الْحَسَنِ بْنِ صَالِحٍ وَهُوَ الْمَذْهَبُ. قَالَ ابْنُ قُدَامَةَ: هَذَا قَوْلٌ حَسَنٌ، لِأَنَّ الْوَصِيَّةَ بَعْدَ الْجُرْحِ صَدَرَتْ مِنْ أَهْلِهَا فِي مَحَلِّهَا، وَلَمْ يَطْرَأْ عَلَيْهَا مَا يُبْطِلُهَا، بِخِلَافِ مَا إِذَا تَقَدَّمَتِ الْوَصِيَّةُ ثُمَّ طَرَأَ عَلَيْهَا الْقَتْلُ فَأَبْطَلَهَا، لِأَنَّ الْقَتْلَ يُبْطِلُ مَا هُوَ أَكْدَرُ مِنْهَا

أَمَّا الْمَالِكِيَّةُ، فَإِنْ عَلِمَ الْمُوصِي بِأَنَّ الْمُوصَى لَهُ هُوَ الَّذِي ضَرَبَهُ عَمْدًا أَوْ خَطَأً، صَحَّتِ الْوَصِيَّةُ مِنْهُ، وَتَكُونُ الْوَصِيَّةُ فِي الْخَطَأِ فِي الْمَالِ وَالدِّيَةِ، وَفِي الْعَمْدِ فِي الْمَالِ فَقَطْ. أَمَّا إِذَا لَمْ يَعْلَمِ الْمُوصِي، فَهُنَاكَ تَأْوِيلَانِ فِي صِحَّةِ وَصِيَّتِهِ وَعَدَمِهَا

Terjemah:
Penghalangan dari Warisan:

Para ulama dari mazhab Hanafi dan Syafi’i berpendapat bahwa pembunuhan karena kesalahan menjadi salah satu penyebab penghalangan dari warisan, berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW, “Pembunuh tidak berhak mewarisi.” Hal ini juga dikarenakan pembunuhan memutuskan hubungan kekeluargaan, yang merupakan sebab dalam pewarisan.

Mazhab Maliki berpendapat bahwa jika seseorang membunuh ahli warisnya karena kesalahan, maka ia tetap berhak mewarisi harta tetapi tidak berhak atas diyat (ganti rugi). Sedangkan menurut mazhab Hanbali, pembunuhan yang mewajibkan qisas (hukuman setimpal), diyat, atau kafarat (tebusan) tidak menyebabkan hak waris, tetapi jika pembunuhan itu tidak mengakibatkan kewajiban apa pun, misalnya dengan tindakan yang diizinkan seperti memberi obat atau merawat luka sehingga mengakibatkan kematian, maka ahli waris tetap berhak mewarisi. Pendapat ini juga dipegang oleh al-Muwaffaq. Al-Buhuti mengatakan bahwa pendapat ini mungkin lebih tepat karena sesuai dengan kaidah-kaidah hukum.

Penghalangan dari Wasiat:

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan wasiat untuk pembunuh, baik dalam pembunuhan yang disengaja maupun tidak disengaja. Mazhab Syafi’i dalam pendapat yang lebih kuat dan Ibn Hamid dari Hanbali serta Abu Thaur dan Ibn al-Mundzir memperbolehkan wasiat untuk pembunuh, dengan alasan bahwa pemberian hibah (hadiah) untuknya sah, sehingga wasiat pun sah seperti pada orang non-Muslim.

Mazhab Hanafi dan Abu Bakr dari Hanbali, serta ats-Tsauri, melarang pemberian wasiat untuk pembunuh karena pembunuhan menghalangi hak waris, yang lebih kuat dari wasiat, sehingga larangan wasiat lebih utama. Wasiat dianggap setara dengan warisan sehingga apa yang menghalangi warisan juga menghalangi wasiat.

Abu al-Khattab dari mazhab Hanbali membedakan antara wasiat setelah terjadi luka dan wasiat sebelum itu. Ia berpendapat bahwa jika wasiat dibuat setelah melukai, maka wasiat tersebut sah; tetapi jika wasiat dibuat sebelumnya dan kemudian terjadi pembunuhan, maka wasiat tersebut batal. Ini juga merupakan pendapat Hasan bin Shalih dan menjadi pendapat mazhab. Ibn Qudamah menyebut pendapat ini baik karena wasiat yang dibuat setelah luka dianggap sah dan tidak ada yang membatalkannya, berbeda dengan wasiat yang dibuat sebelumnya, yang menjadi batal karena ada pembunuhan, yang membatalkan sesuatu yang lebih kuat darinya.

Sedangkan menurut mazhab Maliki, jika pewasiat mengetahui bahwa penerima wasiat adalah yang melukai dirinya, baik disengaja maupun tidak, maka wasiat itu sah. Wasiat untuk kesalahan berlaku pada harta dan diyat, sedangkan untuk tindakan sengaja hanya berlaku pada harta. Jika pewasiat tidak mengetahui hal tersebut, terdapat dua pendapat tentang sah atau tidaknya wasiat.

Kosa Kata Pilihan

الحرمان (Al-Ḥirmān): Penghalangan atau peniadaan (dari sesuatu yang seharusnya diterima, seperti warisan).

مورّث (Muwarrith): Pewaris (orang yang memberikan warisan).

الضمان (Aḍ-Ḍamān): Jaminan atau tanggungan (dalam konteks hukum, bisa berarti kewajiban membayar ganti rugi atau kompensasi).

الكفّارة (Al-Kaffārah): Kafarat (tebusan atau denda dalam bentuk amal tertentu untuk menebus dosa).

مواليه (Mawālih): Orang-orang yang dekat dengannya atau memiliki hubungan kekeluargaan.

وصيّة (Waṣiyyah): Wasiat (pesan terakhir atau pemberian harta tertentu setelah kematian).

تأويلان (Ta’wīlān): Dua penafsiran atau dua pendapat dalam memahami sesuatu.

صدرت (Ṣudirat): Terbit atau dikeluarkan (umumnya dalam konteks putusan atau keputusan).

طرأ (Ṭara’a): Muncul atau terjadi secara tiba-tiba (biasanya berkaitan dengan perubahan kondisi atau peristiwa baru).

    Kaidah Bahasa: Kalimat Huruf

    Dalam ilmu nahwu, kalimat huruf merujuk pada kata-kata yang tidak memiliki makna penuh secara mandiri, namun memberikan arti ketika bergabung dengan kata lain. Huruf dalam bahasa Arab merupakan salah satu unsur penting dalam membentuk kalimat yang terdiri dari tiga bagian utama, yaitu isim (kata benda), fi’il (kata kerja), dan huruf (kata sambung atau kata tugas). Huruf berfungsi sebagai penghubung, pengubah makna, atau penegas dalam suatu kalimat, yang tidak bisa berdiri sendiri tanpa adanya kata lain.

    Klasifikasi Huruf dalam Ilmu Nahwu

    Huruf dalam bahasa Arab dibagi menjadi beberapa kategori berdasarkan fungsinya dalam kalimat. Berikut adalah klasifikasi utama huruf dalam ilmu nahwu:

    1. Huruf Jar (حروف الجرّ)

    Huruf jar adalah huruf yang digunakan untuk menghubungkan kata benda dengan kata benda lainnya, sehingga kata benda yang mengikutinya menjadi majrur (berharakat kasrah). Huruf jar berfungsi untuk menunjukkan hubungan tempat, waktu, atau alasan di antara kata-kata dalam kalimat.

    Contoh Huruf Jar:

    من (min) yang berarti “dari” atau “sejak”.
    Contoh kalimat: “من المسجدِ” (dari masjid).

    في (fi) yang berarti “di” atau “pada”.
    Contoh kalimat: “في الكتابِ” (di dalam kitab).

    إلى (ila) yang berarti “ke” atau “menuju”.
    Contoh kalimat: “إلى المدرسةِ” (ke sekolah).

    2. Huruf Nida (حروف النداء)

    Huruf nida digunakan untuk memanggil atau menyapa seseorang atau sesuatu. Biasanya huruf nida diikuti oleh isim yang dipanggil.

    Contoh Huruf Nida:

    يا (ya) yang berarti “wahai” atau “hai”.
    Contoh kalimat: “يا محمدُ” (wahai Muhammad).

    أي (ay) yang berarti “hai” atau “wahai”.
    Contoh kalimat: “أيها الناسُ” (hai manusia).

    3. Huruf Jazm (حروف الجزم)

    Huruf jazm berfungsi untuk menjazmkan fi’il mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan waktu sekarang atau akan datang). Penggunaan huruf jazm menyebabkan fi’il mudhari’ berharakat sukun (tanpa harakat).

    Contoh Huruf Jazm:

    لم (lam) yang berarti “tidak” dalam bentuk lampau.
    Contoh kalimat: “لم يذهبْ” (dia tidak pergi).

    لا الناهية (la an-nahiyah) yang berarti “jangan”.
    Contoh kalimat: “لا تذهبْ” (jangan pergi).

    4. Huruf Nasb (حروف النصب)

    Huruf nasb digunakan untuk menashabkan (memberikan harakat fathah pada akhir fi’il mudhari’) kata kerja. Huruf nasb sering digunakan untuk menunjukkan harapan, keinginan, atau keperluan.

    Contoh Huruf Nasb:

    أن (an) yang berarti “untuk” atau “bahwa”.
    Contoh kalimat: “أريد أن أدرسَ” (saya ingin belajar).

    كي (kay) yang berarti “supaya”.
    Contoh kalimat: “جئت كي أتعلمَ” (saya datang supaya belajar).

    5. Huruf Istifham (حروف الاستفهام)

    Huruf istifham digunakan untuk membentuk kalimat tanya. Huruf-huruf ini menandai bahwa kalimat yang dibentuk adalah sebuah pertanyaan.

    Contoh Huruf Istifham:

    هل (hal) yang berarti “apakah”.
    Contoh kalimat: “هل أنت طالب؟” (Apakah kamu seorang siswa?).

    ما (ma) yang berarti “apa”.
    Contoh kalimat: “ما اسمك؟” (Apa namamu?).

    6. Huruf Atf (حروف العطف)

    Huruf atf digunakan untuk menghubungkan dua kata atau dua kalimat yang menunjukkan hubungan kesetaraan atau korespondensi antara satu dengan yang lain. Huruf ini mirip dengan kata sambung dalam bahasa Indonesia seperti “dan”, “atau”, dll.

    Contoh Huruf Atf:

    و (wa) yang berarti “dan”.
    Contoh kalimat: “محمد وعلي” (Muhammad dan Ali).

    أو (aw) yang berarti “atau”.
    Contoh kalimat: “كتاب أو قلم” (buku atau pena).

    7. Huruf Taukid (حروف التوكيد)

    Huruf taukid digunakan untuk memberikan penegasan pada kata yang diikutinya, memastikan bahwa pernyataan yang dibuat adalah benar atau pasti.

    Contoh Huruf Taukid:

    إن (inna) yang berarti “sesungguhnya” atau “benar-benar”.

    Contoh kalimat: “إن الله مع الصابرين” (Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar).

    8. Huruf Syarth (حروف الشرط)

    Huruf syarth digunakan dalam kalimat syarat, yaitu kalimat yang menunjukkan kondisi atau syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk suatu kejadian.

    Contoh Huruf Syarth:

    إذا (idza) yang berarti “jika”.
    Contoh kalimat: “إذا درستَ تنجحُ” (Jika kamu belajar, kamu akan lulus).

    إن (in) yang berarti “apabila” atau “jika”.
    Contoh kalimat: “إن جئتَ سأكون سعيدًا” (Apabila kamu datang, saya akan senang).

    Kesimpulan

    Huruf dalam ilmu nahwu memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk struktur kalimat dan mempengaruhi makna yang terkandung dalam kalimat tersebut. Setiap jenis huruf memiliki fungsi spesifik yang menghubungkan atau memberi penekanan pada kata-kata lain dalam kalimat.

    Huruf jar menghubungkan kata benda dengan makna tertentu, huruf nida digunakan untuk memanggil, huruf jazm menjazmkan fi’il, huruf nasb menashabkan fi’il, dan huruf istifham digunakan untuk menanyakan sesuatu. Selain itu, huruf atf, taukid, dan syarth memperkenalkan hubungan kesetaraan, penegasan, serta syarat dalam kalimat.

    Semua ini menunjukkan betapa pentingnya huruf dalam membangun kalimat yang jelas dan bermakna dalam bahasa Arab. Wallahua’lam.

    Fitri Yani (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)

    Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

    Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

    4 komentar pada “Hukum Waris dalam Kasus Pembunuhan Menurut Mazhab Fiqih

    • Astria astuti

      Coba pemakalah buat contoh harfu zar, harfu nida,harfu jazm, harfu nasb, yang ada di dalam teks pemakalah?

      Balas
    • Maysarah Batubara

      coba jelaskan bagaimana penggunaan Huruf Syarth (حروف الشرط)

      Balas
    • Maya harahap

      Coba pemakalah jelaskan bagaimana cara menghubungkan kata benda dgn kata benda lainnya, sehingga kata benda yg mengikutinya mnjadi majrur ! jelaskan ?

      Balas
    • Ayub harahap

      Bagaimana cara mengatasi penghalang-penghalang dalam pembagian warisan dan apa pengaruh dalam penghalang penghalang warisan tersebut? Jelaskan

      Balas

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    × Chat Kami Yuk