Jejak Pemikiran Mazhab Fiqih Sunni: Al-Auza’i hingga Azh-Zhahiri
TATSQIF ONLINE – Fikih Sunni, atau yang lebih dikenal dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, merupakan cabang utama dalam hukum Islam yang berakar kuat pada Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Dalam perkembangan sejarah, banyak muncul tokoh-tokoh besar dengan pemikiran yang beragam yang masing-masing menafsirkan hukum Islam melalui perspektif yang berbeda.
Mazhab-mazhab ini mendasarkan metodenya pada interpretasi ayat Al-Qur’an, hadits, dan berbagai prinsip istinbath hukum, yang kemudian berpengaruh terhadap praktik hukum umat Islam di seluruh dunia. Dalam artikel ini, kita akan mengenal lebih dekat beberapa tokoh besar dalam sejarah mazhab-mazhab Sunni.
1. Mazhab Al-Auza’i
Mazhab al-Auza’i didirikan oleh Imam Abdurrahman al-Auza’i (706-774 M), seorang ulama dari Baalbek, Suriah. Pemikiran Al-Auza’i menekankan pada pentingnya Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan utama hukum, dengan penolakan terhadap penggunaan qiyas (analogi). Bagi Al-Auza’i, seluruh keputusan hukum harus bersumber langsung dari nash atau teks yang otoritatif, mengesampingkan logika pribadi. Ia percaya bahwa hanya ilmu dari sahabat Rasulullah SAW yang menjadi sumber hukum yang sah (Junaidi, Ahmad dkk, Al Hakim: Fiqh XII).
Contoh pemikiran Al-Auza’i adalah saat ia menyatakan bahwa jika ada ketetapan dari Sunnah Rasulullah SAW, maka hal itu harus diikuti secara mutlak, bahkan jika bertentangan dengan opini logis lainnya. Pendekatan ini terlihat dalam pendapatnya tentang penolakan untuk menggunakan qiyas dalam beberapa hukum ibadah. Keberaniannya untuk tetap konsisten dalam pandangannya menjadikan ia dihormati di kalangan ulama, meskipun ajarannya perlahan tergeser oleh mazhab lainnya karena kurangnya dokumentasi tertulis (Hasbi Ash-Shiddieqy, T.M., Pengantar Ilmu Fiqh).
2. Mazhab Ats-Tsauri
Mazhab Ats-Tsauri didirikan oleh Imam Sufyan Ats-Tsauri (716-778 M), yang dikenal sebagai ahli hadis dari Kufah. Meskipun mazhab ini tidak bertahan lama, pemikiran Ats-Tsauri memiliki pengaruh besar dalam perkembangan hukum Islam. Ia mengandalkan ijtihad dengan pendekatan yang sangat berhati-hati, mengutamakan hadis yang otentik sebelum memberikan fatwa. Ats-Tsauri sering kali menggunakan logika dan qiyas, berbeda dengan Al-Auza’i yang menolak metode ini. Sikap kehati-hatian dalam berfatwa ditunjukkan saat ia menunda keputusan hukum hingga memperoleh hadis yang benar-benar sahih.
Beberapa contoh fatwa penting yang dikeluarkan oleh Ats-Tsauri antara lain mengenai sahnya wudhu dengan mengusap sepatu dalam keadaan dingin dan penetapan air tergenang tanpa perubahan sifatnya sebagai air yang suci. Pendekatannya dalam mengutamakan hadis yang benar-benar autentik menunjukkan bahwa ia memiliki prinsip yang kokoh dalam meneliti dan memastikan keabsahan sumber hukum (Adz-Dzahabi, Abu Abdillah, Siyar A’lam An-Nubala’).
3. Mazhab Al-Laits
Mazhab Al-Laits didirikan oleh Imam Al-Laits bin Sa’ad (94-175 H), seorang ulama besar dari Mesir yang dikenal karena kemampuannya menggabungkan metode ahlul hadits dan ahlul ra’yi. Berbeda dengan mazhab lainnya, Al-Laits mengembangkan pendekatan yang lebih kritis terhadap tradisi Madinah yang sangat dihormati oleh Imam Malik. Dalam pandangannya, tidak semua praktik penduduk Madinah dapat dijadikan dasar hukum. Salah satu penyebab kemunduran mazhab ini adalah minimnya dokumentasi tertulis dan sedikitnya murid yang melanjutkan ajarannya (Ustomo Abu Nashr, Tarikh Tasyri’: Corak, Metodologi, dan Produk Ijtihad Mazhab Laits Bin Sa’d).
Salah satu contoh pemikirannya adalah pada hukum zakat, di mana Al-Laits menyatakan bahwa harta yang mencapai nishab zakat tetapi memiliki utang tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini sesuai dengan fatwa Utsman bin Affan yang menunjukkan bahwa pandangan Al-Laits tidak hanya berdasar pada Al-Qur’an dan Hadis, tetapi juga mempertimbangkan fatwa sahabat lain yang lebih relevan dengan situasi tertentu.
4. Mazhab Adh-Zhahiri
Mazhab Adh-Dhahiri, yang juga dikenal sebagai mazhab literal atau tekstual, memiliki pendekatan ketat dalam memahami teks Al-Qur’an dan Hadis secara literal. Mazhab ini berkembang terutama di Andalusia dan Afrika Utara. Tokoh utamanya, Ibn Hazm al-Andalusi (994-1064 M), menolak metode qiyas dan berpegang pada teks langsung. Baginya, segala interpretasi yang spekulatif dapat membawa pada penyimpangan dari hukum yang asli.
Contoh dari metode Adh-Dhahiri adalah penolakannya terhadap penggunaan qiyas dan ijma’ dalam hal yang tidak tercantum secara tegas dalam nash. Sebagai contoh, Adh-Dhahiri tidak setuju dengan pemberlakuan hukuman rajam bagi pezina yang sudah menikah, karena ia berpendapat bahwa Al-Qur’an hanya menyebutkan hukum cambuk. Ibn Hazm, dalam karyanya Al-Muhalla, menegaskan bahwa hukum harus bersandar pada nash yang eksplisit, tanpa ada campur tangan logika manusia.
5. Mazhab Ath-Thahiri
Mirip dengan Adh-Dhahiri, Mazhab Ath-Thahiri juga berfokus pada pemahaman literal terhadap teks-teks Al-Qur’an dan Hadis. Ibn Hazm, sebagai perwakilan utama mazhab ini, menolak qiyas dan lebih memilih hukum yang diambil langsung dari teks tanpa spekulasi. Mazhab ini menghindari penggunaan tafsir yang bersifat metaforis dan menekankan pentingnya konsistensi hukum dengan dasar teks yang sama.
Salah satu contoh penting dalam mazhab ini adalah pendapat Ibn Hazm mengenai larangan nikah mut’ah. Dalam pandangannya, larangan ini diambil dari nash yang menyebutkan bahwa pernikahan mut’ah bertentangan dengan prinsip kesucian dan keberlanjutan dalam pernikahan. Dengan demikian, ia mengedepankan literalitas teks untuk menjaga integritas hukum Islam yang terjaga dari spekulasi.
Sebab-Sebab Runtuhnya Mazhab-Mazhab Ini
Banyak mazhab dalam sejarah Islam yang mengalami penurunan dan akhirnya punah karena beberapa faktor:
1. Perubahan Sosial dan Politik:
Ketika kekuasaan berpindah atau mengalami pergantian, mazhab yang didukung oleh penguasa seringkali mendominasi. Misalnya, Mazhab Hanafi banyak didukung di wilayah Kekhalifahan Abbasiyah, sehingga mazhab lain seperti Ats-Tsauri dan Al-Auza’i mulai berkurang pengaruhnya.
2. Dominasi Mazhab Besar:
Mazhab-mazhab besar seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali mendapatkan lebih banyak dukungan baik dari ulama maupun lembaga pendidikan. Hal ini membuat banyak mazhab kecil sulit untuk bertahan. Pendukung dan lembaga pendidikan lebih terfokus pada empat mazhab besar, membuat mazhab lain kehilangan pengaruh (Junaidi, Ahmad dkk, Al Hakim: Fiqh XII).
3. Kurangnya Dukungan Ulama dan Dokumentasi:
Banyak mazhab yang akhirnya punah karena kurangnya dokumentasi. Mazhab Al-Auza’i, misalnya, tidak banyak meninggalkan karya yang terdokumentasi dengan baik, sehingga sulit bagi pengikutnya untuk mempelajari ajaran secara menyeluruh.
Kesimpulan
Tokoh-tokoh dalam mazhab-mazhab Sunni awal memperkaya khazanah pemikiran hukum Islam dengan pendekatan dan metodologi yang unik. Meskipun banyak dari mazhab ini tidak bertahan, pengaruhnya tetap dirasakan hingga saat ini. Al-Auza’i yang menolak qiyas, Ats-Tsauri yang berhati-hati dalam menggunakan hadis, dan Adh-Dhahiri yang literal semuanya memberikan perspektif yang berharga.
Walau beberapa mazhab ini akhirnya tergantikan oleh mazhab-mazhab besar, kontribusi mereka dalam mendefinisikan dan mengembangkan prinsip-prinsip hukum Islam masih berharga sebagai sumber pembelajaran dan refleksi dalam hukum Islam kontemporer. Wallahua’lam.
Apa saja yang boleh kita amal kan dlam mazhab fiqh sunni
Bagaimana mazhab- Mazhab berpengaruh praktik hukum umat Islam di seluruh dunia?
Apa alasan Al-Auza’i menolak menggunakan metode logika dan qiyas?
Apa saja perbedaan dalam praktik ibadah antar mazhab dalam fiqih Sunni dan bgaimana hal ini dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari Muslim?