Fiqih Mazhab Non-Sunni: Sejarah dan Pendekatan Hukum Islam
TATSQIF ONLINE – Kajian fiqih dalam Islam mengenal beragam mazhab yang menawarkan perspektif dan metode pengambilan hukum yang beragam. Secara umum, mazhab fiqih dibagi menjadi dua kelompok besar: Sunni dan Syiah. Mazhab-mazhab Sunni, seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, memiliki pengikut yang luas dan mendominasi pemikiran hukum Islam, terutama di wilayah Timur Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
Namun, di samping mazhab-mazhab Sunni, terdapat pula mazhab-mazhab non-Sunni yang memainkan peran penting dalam perkembangan hukum Islam. Mazhab-mazhab ini, yang sering kali diidentifikasi dengan tradisi Syiah, memiliki pendekatan dan metodologi hukum yang berbeda, baik dalam interpretasi Al-Qur’an maupun hadis, serta penggunaan akal dalam proses istinbat hukum.
1. Mazhab Syiah Imamiyah (Ja’fariyah)
a) Sejarah
Mazhab Syiah Imamiyah, atau lebih dikenal dengan Mazhab Ja’fariyah, berakar dari ajaran Imam Ja’far al-Sadiq, yang merupakan Imam keenam dalam tradisi Syiah Imamiyah. Setelah wafatnya Nabi Muhammad, umat Islam mengalami berbagai perpecahan, salah satunya terkait kepemimpinan. Menurut Mazhab Imamiyah, para imam dari keturunan Ali bin Abi Thalib adalah pemimpin yang sah, dengan Imam Ja’far al-Sadiq dianggap sebagai salah satu tokoh utama yang meletakkan dasar-dasar fiqih Syiah. Ja’far al-Sadiq dikenal memiliki murid-murid dari berbagai kalangan, termasuk tokoh-tokoh Sunni seperti Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Pengaruhnya terus berkembang hingga menciptakan koleksi hadis dan ajaran fiqih yang membedakan Syiah Imamiyah dari mazhab Sunni.
b) Pemikiran
Mazhab Ja’fariyah memiliki empat sumber utama dalam pengambilan hukum:
1. Al-Qur’an: Al-Qur’an adalah sumber utama yang dipahami dengan pendekatan tekstual dan esoteris. Imam dianggap sebagai penjelas dan penerus pemahaman Al-Qur’an yang sebenarnya.
2. Hadis: Berbeda dengan Sunni, hadis dalam Ja’fariyah meliputi perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi serta para Imam yang dianggap ma’sum (terjaga dari kesalahan).
3. Ijma: Ijma diakui hanya jika melibatkan para Imam. Konsensus yang terjadi setelah masa mereka tidak dianggap valid.
4. Akal: Penggunaan akal memiliki peran penting, tetapi metode seperti qiyas (analogi) tidak diterima, karena dianggap kurang memberikan kepastian hukum.
c) Metode Istinbat Hukum
Mazhab Ja’fariyah menolak qiyas dan istihsan, lebih menekankan pada penafsiran langsung melalui teks dan akal. Misalnya, pada masalah mu’amalat, Ja’fariyah mengutamakan analisis langsung dari Al-Qur’an dan hadis. Metode ini menekankan pemahaman literal dan kontekstual dengan memperhatikan kondisi sosial.
2. Mazhab Syiah Ismailiyah
a) Sejarah
Mazhab Ismailiyah berkembang setelah perpecahan di kalangan pengikut Imam Ja’far al-Sadiq, antara mereka yang mendukung putra sulungnya, Isma’il, sebagai imam, dan mereka yang mendukung putra lainnya, Musa al-Kazim. Puncak kejayaan Mazhab Ismailiyah terjadi pada masa Dinasti Fatimiyah, yang mendirikan pusat pemerintahan di Mesir. Perpecahan internal menyebabkan munculnya dua kelompok utama, Nizariyah dan Musta’liyah, yang bertahan hingga saat ini dengan pengikut di berbagai negara.
b) Pemikiran
Mazhab Ismailiyah menekankan aspek esoteris dari hukum Islam, menafsirkan teks suci melalui metode ta’wil (interpretasi batin). Ismailiyah melihat imam sebagai sumber pengetahuan spiritual yang memberi makna terdalam dari ajaran Islam. Dalam hal pengambilan hukum, Ismailiyah tidak hanya melihat kepada teks literal tetapi juga mencari makna di balik teks, suatu pendekatan yang mendalam dalam interpretasi agama.
c) Metode Istinbat Hukum
Ismailiyah menggunakan metode ijtihad dan ta’wil untuk menggali makna tersembunyi dari Al-Qur’an dan hadis. Misalnya, dalam masalah puasa, mereka bisa menafsirkan puasa bukan hanya sebagai ibadah fisik tetapi juga latihan spiritual. Dalam praktik fiqih, mereka menolak penggunaan qiyas karena dianggap tidak dapat mengungkap makna batin.
3. Mazhab Syiah Zaidiyah
a) Sejarah
Mazhab Zaidiyah berawal dari Zaid bin Ali, cucu Imam Husain. Zaidiyah memiliki pandangan yang moderat, berbeda dari Syiah Imamiyah. Mereka mengakui kepemimpinan khalifah pertama hingga ketiga, meski tetap memprioritaskan Ali bin Abi Thalib sebagai pemimpin utama. Kelompok ini terutama berkembang di Yaman dan sekitarnya.
b) Pemikiran
Zaidiyah menggunakan pendekatan yang lebih rasional dalam hukum Islam dan menerima qiyas sebagai metode hukum. Dalam pandangan Zaidiyah, seorang imam tidak ditentukan berdasarkan keturunan, melainkan karena kualitas ilmu dan keberaniannya. Mereka juga menerima tradisi Mu’tazilah, yang mengutamakan akal dalam memahami konsep-konsep agama, khususnya mengenai penentuan baik dan buruk.
c) Metode Istinbat Hukum
Zaidiyah menggunakan qiyas dan mengakui empat sumber hukum: Al-Qur’an, Sunnah, ijma, dan akal. Misalnya, dalam kasus jual beli, Zaidiyah dapat menggunakan qiyas untuk menilai jenis akad yang belum ada nashnya dengan cara yang sesuai dengan prinsip fiqih yang ada.
4. Mazhab Ibadiyah
a) Sejarah
Mazhab Ibadiyah merupakan salah satu cabang dari kelompok Khawarij yang tidak ekstrem. Mazhab ini berkembang di Oman dan beberapa wilayah Afrika Utara seperti Aljazair dan Tunisia. Pendiri Ibadiyah adalah Abdullah bin Ibadh, yang berusaha menjaga pendekatan moderat dan toleran di kalangan pengikutnya.
b) Pemikiran
Ibadiyah cenderung bersikap moderat dalam teologi dan hukum Islam. Mereka mengutamakan ijtihad, menerima konsensus komunitas (ijma), dan menggunakan qiyas sebagai metode hukum. Mereka memiliki pandangan yang ketat mengenai prinsip keadilan dan sering menekankan amal ibadah yang konsisten.
c) Metode Istinbat Hukum
Ibadiyah menggunakan ijtihad, qiyas, dan ijma sebagai sumber hukum. Mereka cenderung tidak menerima istihsan, tetapi mempertimbangkan adat setempat (‘urf) selama tidak bertentangan dengan prinsip agama. Sebagai contoh, dalam kasus zakat, Ibadiyah dapat menyesuaikan ketentuan jumlah zakat berdasarkan perubahan ekonomi komunitas lokal, asalkan sesuai dengan prinsip dasar zakat yang diajarkan.
Kesimpulan
Mazhab-mazhab non-Sunni, seperti Syiah Imamiyah, Ismailiyah, Zaidiyah, dan Ibadiyah, menambah keragaman dalam khazanah fiqih Islam. Setiap mazhab memiliki sejarah yang khas, metode hukum yang unik, dan cara pandang yang memperkaya tradisi keilmuan Islam. Meskipun mereka berbeda dalam metode istinbat hukum dan pemahaman akidah, kontribusi mereka tetap memainkan peran penting dalam pemahaman dan praktik hukum Islam yang dinamis. Wallahua’lam.
Apa faktor- faktor Mazhab non Sunni memainkan peran penting dalam perkembangan hukum Islam?
apakah masih ada pengikut mahzab non sunni saat ini, dan bagaimana mahzab non sunni dapat mempengaruhi perkembangan hukum islam?
Bangaimana peran kita terhadap mazhab non sunni ini?
Apakah kita boleh mengamalkan fiqih mazhab non sunni ini?
Apa saja yang membedakan fiqh Syiah dan fiqh Sunni dalam hal sumber hukum dan metodologi penarikan hukum?
Apakah ada perkembangan terbaru dalam pemikiran non sunni ,dan bagaimanaina pengaruhnha terhadap masyarakat islam global saat ini?
Apa prinsip dasar yang membentuk pendekatan hukum Islam dalam mazhab Zaidiyah dan bagaimana hal itu berhubungan dengan nilai-nilai Islam yang lebih luas?