Euthanasia: Hukum Islam, Dalil, dan Pandangan Medis Modern
TATSQIF ONLINE – Kematian adalah takdir yang pasti akan dialami oleh setiap makhluk hidup. Namun, di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, muncul berbagai metode yang mempengaruhi cara manusia menghadapi kematian, salah satunya adalah euthanasia.
Euthanasia, yang sering disebut sebagai “kematian yang baik”, memunculkan berbagai perdebatan dalam bidang moral, etika, hukum, dan agama. Dalam Islam, nyawa manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga segala tindakan yang berpotensi merusak atau menghilangkannya memerlukan perhatian khusus.
Definisi Euthanasia
Istilah “euthanasia” secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti “baik” dan thanatos yang berarti “kematian.” Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal sebagai qatlu ar-rahmah (قتل الرحمة) atau taysīr al-maut (تيسير الموت), yang mengacu pada tindakan mengakhiri hidup seseorang untuk menghindari penderitaan.
Dalam pandangan Zahra dan Maharani, sebagaimana dijelaskan dalam karya mereka Hukum Etik Kedokteran dan Perspektif Agama Islam terhadap Tindakan Medis Euthanasia, euthanasia adalah upaya mempercepat kematian pasien yang menderita penyakit kronis atau yang tidak memiliki harapan sembuh. Pemahaman ini menggambarkan esensi euthanasia sebagai bentuk keputusan medis untuk mengakhiri penderitaan yang berkepanjangan.
Macam-Macam Euthanasia
Alvian dan Pransisto dalam artikle yang berjudul Kesalahpahaman Euthanasia Dalam Perspektif Human Rights dan Hukum Islam, membagi Euthanasia ke dalam dua jenis utama:
1. Euthanasia Aktif: Tindakan ini melibatkan upaya langsung untuk mengakhiri hidup pasien, seperti memberikan suntikan mematikan.
2. Euthanasia Pasif: Euthanasia ini terjadi ketika perawatan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien dihentikan, misalnya tidak memberikan alat bantu pernapasan kepada pasien koma.
Pandangan Islam terhadap Euthanasia
Islam mengajarkan penghormatan yang tinggi terhadap nyawa manusia. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-An’am ayat 151:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ ۗ ذَٰلِكُمْ وَصَّىٰكُم بِهِۦ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar. Demikian itu Dia perintahkan kepadamu agar kamu mengerti.”
Ayat ini menunjukkan bahwa nyawa adalah amanah yang hanya boleh diakhiri sesuai dengan ketentuan Allah SWT. Dalam kasus euthanasia, baik aktif maupun pasif, tindakan tersebut termasuk dalam kategori pembunuhan yang dilarang.
Islam juga melarang tindakan bunuh diri, sebagaimana firman Allah SWT dalam Alquran Surah An-Nisa’ ayat 29:
وَلَا تَقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Rasulullah SAW juga bersabda:
مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَهُوَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ يَتَرَدَّى فِيهَا خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Artinya: “Barang siapa yang menjatuhkan dirinya dari gunung hingga membunuh dirinya, maka dia berada di neraka Jahannam dan kekal di dalamnya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Ayat dan hadis tersebut menegaskan bahwa tindakan euthanasia, yang pada dasarnya merupakan bentuk bunuh diri atau pembunuhan, bertentangan dengan ajaran Islam.
Euthanasia dalam Hukum Positif di Indonesia
Dalam hukum Indonesia, euthanasia dianggap sebagai tindakan melawan hukum. Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan:
“Barang siapa yang menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan orang tersebut, yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara paling lama dua belas tahun.”
Sofyan, dkk. dalam jurnal yang berjudul Euthanasia Ditinjau Dari Hukum Pidana Dan Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa pasal ini secara tegas melarang tindakan euthanasia meskipun dilakukan atas permintaan pasien sendiri. Selain itu, Kode Etik Kedokteran Indonesia juga melarang dokter untuk melakukan euthanasia karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan etika profesi medis.
Salah satu kasus euthanasia yang menjadi perhatian publik di Indonesia adalah kasus Berlin Silalahi. Ia mengajukan permohonan suntik mati ke Pengadilan Negeri Banda Aceh karena menderita penyakit kronis yang tidak kunjung sembuh. Namun, pengadilan menolak permohonan tersebut dengan alasan bertentangan dengan hukum positif, norma agama, dan adat yang berlaku di Indonesia.
Analisis Hukum Islam terhadap Kasus Euthanasia
Dalam kasus pasien yang menderita penyakit kronis dan tidak ada harapan sembuh, Islam tetap mendorong kesabaran dan tawakal kepada Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى، شَوْكَةٌ فَمَا فَوْقَهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا سَيِّئَاتِهِ، وَحُطَّتْ عَنْهُ ذُنُوبُهُ كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Artinya: “Tidak ada seorang Muslim yang tertimpa musibah, sekalipun duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya dan menggugurkan kesalahannya seperti pohon yang menggugurkan daunnya,” (HR Bukhari dan Muslim).
Islam menganggap setiap ujian, termasuk penyakit, sebagai sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan mendapatkan ampunan dari Allah SWT. Karena itu, euthanasia tidak dapat dibenarkan meskipun dilakukan untuk mengakhiri penderitaan.
Kesimpulan
Euthanasia adalah tindakan mengakhiri hidup seseorang untuk menghindari penderitaan. Dalam perspektif Islam, euthanasia, baik aktif maupun pasif, merupakan tindakan yang diharamkan karena melibatkan pembunuhan atau bunuh diri yang bertentangan dengan syariat. Al-Qur’an dan hadis secara tegas melarang perbuatan tersebut, menegaskan bahwa nyawa adalah amanah dari Allah SWT yang harus dijaga.
Di Indonesia, euthanasia juga dianggap sebagai pelanggaran hukum sesuai dengan Pasal 344 KUHP. Meskipun perkembangan teknologi dan ilmu kedokteran semakin maju, prinsip-prinsip agama dan hukum tetap menjadi pedoman utama dalam menghadapi dilema moral seperti euthanasia. Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk selalu bersabar, bertawakal, dan tidak menyerah pada penderitaan, karena setiap cobaan memiliki hikmah di sisi Allah SWT. Wallahua’lam.
Nurdiah Lubis (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)