Hukum Aborsi: Perspektif Hukum Islam dan Regulasi di Indonesia
TATSQIF ONLINE – Aborsi adalah masalah kontroversial yang melibatkan banyak aspek, baik dari sudut pandang hukum, moral, kesehatan, dan agama. Di Indonesia, hukum aborsi terus berkembang seiring dengan perubahan sosial dan kebijakan kesehatan.
Undang-undang yang mengatur aborsi di Indonesia mengakomodasi beberapa pengecualian, terutama dalam kasus-kasus darurat medis atau korban pemerkosaan. Namun, praktik aborsi tetap menjadi perdebatan yang intens, baik di kalangan masyarakat maupun di kalangan ulama.
Pengertian Aborsi
Aborsi atau pengguguran kandungan merupakan tindakan mengeluarkan hasil konsepsi (sel telur yang dibuahi) sebelum janin memiliki kesempatan untuk hidup atau berkembang. Secara medis, aborsi dapat terjadi secara alami (abortus spontan) atau dilakukan secara sengaja (abortus provocatus). Aborsi yang disengaja sering kali disebabkan oleh faktor medis yang mendesak, seperti ketika kehamilan membahayakan nyawa ibu, atau dalam kasus kekerasan seksual, termasuk pemerkosaan.
Menurut Nagary dalam Tinjauan Yuridis Aborsi Akibat Pemerkosaan Dan Implikasinya Terhadap Hak Asasi Manusia, dalam dunia kedokteran, aborsi dibagi menjadi beberapa jenis: Abourtus Imminens (keguguran yang mengancam), Abourtus Incipiens (keguguran yang sedang berlangsung), Abourtus Incompletus (keguguran yang tidak lengkap), dan lainnya. Aborsi ini memiliki konsekuensi medis yang signifikan, baik bagi ibu maupun janin.
Dalam Islam, aborsi adalah tindakan serius yang erat kaitannya dengan konsep perlindungan nyawa. Dalil yang menjadi landasan utama adalah firman Allah dalam Alquran Surah Al-Isra’ ayat 33:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan alasan yang benar.”
Aborsi dalam Perspektif Hukum Indonesia
Di Indonesia, aborsi diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, baik dalam hukum pidana maupun dalam undang-undang kesehatan. Pasal 53 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa setiap anak sejak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Oleh karena itu, aborsi tanpa alasan yang sah dianggap melanggar hak dasar ini.
Namun, terdapat pengecualian dalam hukum Indonesia terkait aborsi. Pasal 75 Ayat 2 UU Kesehatan memberi izin untuk melakukan aborsi dalam kondisi darurat medis atau jika kehamilan terjadi akibat pemerkosaan. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan untuk melindungi kesehatan ibu atau apabila kehamilan berasal dari pemerkosaan, dengan catatan bahwa tindakan tersebut harus dilakukan sebelum janin berusia 6 minggu.
Namun, ada batasan yang jelas terkait dengan aborsi dalam kasus pemerkosaan. Pasal 194 UU Kesehatan mengatur bahwa meskipun korban pemerkosaan dapat melakukan aborsi, mereka dapat dikenai sanksi pidana jika tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Aborsi yang dilakukan di luar ketentuan ini dapat dikenakan hukuman penjara maksimal sepuluh tahun dan denda yang sangat besar (Pribadi, 2022).
Pandangan Ulama tentang Hukum Aborsi
Sejumlah ulama dari berbagai mazhab memberikan pendapat berbeda terkait dengan hukum aborsi. Ada yang berpendapat bahwa aborsi setelah 40 hari adalah haram, sementara ada juga yang membolehkan aborsi jika janin belum ditiupkan ruh, yaitu sebelum 120 hari. Menurut Susilawati dan Ag (2015), dalam situasi darurat, misalnya ketika kehamilan membahayakan nyawa ibu, ulama dari Mazhab Syafi’i dan Hanafi memberikan kelonggaran untuk melakukan aborsi.
Mayoritas ulama sepakat bahwa aborsi sebelum peniupan ruh (40-120 hari) hukumnya haram kecuali dalam kondisi darurat seperti membahayakan nyawa ibu. Dalilnya adalah hadis Rasulullah SAW:
إِذَا مَرَّ بِالنُّطْفَةِ اثْنَتَانِ وَأَرْبَعُونَ لَيْلَةً، بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْهَا مَلَكًا فَصَوَّرَهَا، وَخَلَقَ سَمْعَهَا وَبَصَرَهَا وَجِلْدَهَا وَعَظْمَهَا وَلَحْمَهَا
Artinya: “Apabila telah berlalu 42 malam dari nutfah, Allah mengutus malaikat yang membentuknya, menciptakan pendengaran, penglihatan, kulit, daging, dan tulangnya,” (HR Muslim).
Setelah 120 hari, janin dianggap telah bernyawa. Aborsi dalam kondisi ini dipandang sebagai pembunuhan, sebagaimana ditegaskan dalam hadis:
كُلُّ ذَنْبٍ عَسَى اللَّهُ أَنْ يَغْفِرَهُ إِلَّا الرَّجُلُ يَمُوتُ كَافِرًا، أَوْ الرَّجُلُ يَقْتُلُ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا
Artinya: “Setiap dosa dapat diampuni oleh Allah kecuali orang yang mati dalam keadaan kafir atau membunuh seorang mukmin dengan sengaja,” (HR Abu Dawud).
Namun, yang perlu diperhatikan bahwa aborsi tidak hanya dipandang dari sisi hukum, tetapi juga dari sisi etika dan moral. Banyak ahli fiqh yang menekankan bahwa aborsi harus dihindari kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak dan dengan alasan yang sah, seperti menyelamatkan nyawa ibu, janin dipastikan tidak akan hidup, atau dalam kasus pemerkosaan.
Hukum Aborsi dalam Konteks Sosial dan Kesehatan
Aborsi yang dilakukan secara tidak sah atau tidak aman memiliki dampak sosial dan kesehatan yang besar. Pada banyak kasus, aborsi yang dilakukan secara ilegal dapat mengakibatkan komplikasi medis serius, termasuk infeksi, perdarahan, atau bahkan kematian. Oleh karena itu, peraturan yang ada bertujuan untuk meminimalkan risiko tersebut dengan memberikan pedoman yang jelas mengenai kondisi-kondisi di mana aborsi dapat dilakukan secara sah.
Berdasarkan laporan Wulandari dan Rachmawati (2020), banyak remaja yang terjebak dalam situasi kehamilan yang tidak diinginkan, baik akibat perkawinan dini maupun pemerkosaan, dan memilih untuk melakukan aborsi sebagai solusi. Ini menunjukkan pentingnya pendidikan kesehatan reproduksi yang baik untuk mengurangi angka kehamilan yang tidak diinginkan dan mengurangi praktik aborsi yang tidak aman.
Kesimpulan
Aborsi adalah tindakan yang sangat kontroversial, baik dalam perspektif agama maupun hukum. Dalam Islam, aborsi dianggap haram, kecuali dalam kondisi darurat seperti menyelamatkan nyawa ibu atau dalam kasus pemerkosaan. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip fiqh yang lebih mengutamakan kemaslahatan manusia dan menjaga kehidupan.
Di Indonesia, hukum juga melarang aborsi, kecuali dalam keadaan darurat medis atau akibat pemerkosaan, dan memberikan sanksi pidana bagi pelaku aborsi yang tidak sah. Dengan adanya peraturan yang mengatur aborsi, diharapkan dapat mengurangi praktik aborsi ilegal dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan reproduksi. Wallahua’lam.
Noni Zahriya Tanjung (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)