Mengurai Munāsakhāt: Dinamika Waris Bertingkat dalam Islam
TATSQIF ONLINE – Dalam hukum waris Islam (faraidh), munāsakhāt merupakan salah satu permasalahan yang memerlukan perhatian serius karena sifatnya yang kompleks dan berlapis. Istilah ini merujuk pada perpindahan hak waris dari seorang ahli waris yang meninggal sebelum sempat menerima bagian warisan. Akibatnya, hak waris yang seharusnya diterima berpindah ke ahli waris dari si pewaris kedua tersebut. Fenomena ini dapat terjadi secara berulang dan menimbulkan kesulitan dalam perhitungan serta berpotensi menyebabkan konflik dalam keluarga.
A. Definisi Munāsakhāt dan Landasan Hukum
Secara etimologis, munāsakhāt berasal dari kata nasakha (نسخ) yang berarti menghapus, menggantikan, atau memindahkan. Dalam konteks ilmu faraidh, istilah ini digunakan untuk menyebut kasus perpindahan hak waris karena kematian ahli waris sebelum warisan dibagikan.
Al-Qur’an secara umum menyebutkan kewajiban pembagian warisan dalam Alquran Surah an-Nisāʾ ayat 11:
يُوصِيكُمُ ٱللَّهُ فِيٓ أَوْلَـٰدِكُمْ ۖ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ ٱلْأُنثَيَيْنِ…
Artinya: “Allah mewasiatkan kepada kalian tentang (pembagian warisan untuk) anak-anak kalian: bagian seorang anak laki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan…”
Dalam kasus munāsakhāt, prinsip-prinsip tersebut tetap berlaku, namun implementasinya memerlukan perhitungan yang lebih rumit karena hak yang diwariskan bukan lagi langsung dari pewaris utama, melainkan telah berpindah ke satu atau lebih jenjang ahli waris berikutnya.
B. Komponen Penting dalam Pemecahan Munāsakhāt
1. Penentuan Urutan Kematian (Tartīb al-Mawtā)
Langkah pertama dan paling krusial adalah memastikan siapa yang meninggal lebih dahulu. Ini karena seseorang hanya bisa menerima warisan jika ia masih hidup saat pewaris meninggal. Jika ia telah wafat sebelumnya, ia tidak berhak atas warisan.
Menurut Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, jika tidak diketahui secara pasti urutan kematian, maka hukum asalnya adalah tidak saling mewarisi.
2. Identifikasi Seluruh Ahli Waris
Setiap pewaris memiliki ahli waris masing-masing. Oleh karena itu, dalam kasus munāsakhāt, semua ahli waris dari pewaris pertama, kedua, dan seterusnya harus didata dengan jelas, lengkap dengan jenis kelamin, status hubungan, dan kemungkinan adanya ahli waris penghalang (hājib).
3. Menentukan Asal Masalah (Aṣl al-Mas’alah)
Proses ini mencakup:
🔹Pembagian warisan dari pewaris pertama kepada ahli waris yang masih hidup.
🔹Jika ahli waris tersebut wafat, maka bagian warisannya dibagikan kembali kepada ahli warisnya.
Menurut Abdurrahman al-Jaziri dalam Al-Fiqh ‘ala al-Madhāhib al-Arba‘ah, pembagian seperti ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan:
🔹Metode bertahap (diselesaikan satu per satu).
🔹Metode penyatuan permasalahan (Tawḥīd al-Mas’alah), menggunakan least common multiple (KPK) untuk mempermudah pembagian.
4. Penggunaan Metode Perhitungan Matematika
Matematika waris sangat penting. Pecahan, KPK, dan FPB digunakan untuk menyederhanakan perhitungan warisan yang berpindah. Saat ini telah banyak software yang memudahkan penghitungan faraidh, seperti Shariah Inheritance Calculator, namun tetap harus dikawal oleh pemahaman fikih.
C. Contoh Kasus Munāsakhāt
Ilustrasi
Seorang lelaki (A) meninggal dunia dan meninggalkan:
🔹Istri (I)
🔹Anak laki-laki (L)
🔹Anak perempuan (P)
Sebelum harta sempat dibagikan, anak laki-laki (L) juga meninggal dunia dan memiliki:
🔹Istri (IS)
🔹Anak laki-laki (LL)
🔹Anak perempuan (PL)
Langkah 1: Pembagian Warisan dari A
🔹Istri (I): 1/8 (karena A punya anak) → 3 dari 24 bagian
🔹Sisanya: 21 bagian dibagikan ke L dan P
- L: 14 bagian
- P: 7 bagian
Langkah 2: Pembagian Bagian Warisan L kepada Ahli Warisnya
🔹Istri L (IS): 1/8 dari 14 = 1.75
🔹Sisanya 12.25 dibagi ke LL dan PL (2:1)
- LL: 8.17
- PL: 4.08
Keseluruhan harta waris tetap 24 bagian, tetapi prosesnya memerlukan dua kali distribusi karena adanya munāsakhāt.
D. Analisis Hukum Munāsakhāt dari Perspektif Mazhab
Mazhab Syafi’i
Mazhab Syafi’i memandang penting untuk memastikan hayāt (keberadaan hidup) pada saat kematian pewaris agar seseorang berhak mewarisi. Dalam kasus munāsakhāt, ini menjadi dasar dalam penetapan hak waris yang berpindah. Lihat penjelasan Asy-Syirbini dalam Mughni al-Muhtāj.
Mazhab Hanafi
Mazhab Hanafi lebih fleksibel dalam memperhitungkan kasus kematian berurutan. Namun, tetap disyaratkan adanya hidup pada waktu warisan terbuka. Lihat keterangan dari al-Kāsāni dalam Badā’i‘ al-Ṣanā’i.
Penutup
Munāsakhāt merupakan bagian penting dalam fiqh mawaris yang mencerminkan dinamika kehidupan. Kompleksitasnya tidak hanya menuntut kecermatan dalam perhitungan, tetapi juga pemahaman mendalam terhadap prinsip-prinsip syariah.
Pembahasan munāsakhāt perlu menjadi perhatian dalam pendidikan Islam agar masyarakat tidak salah dalam membagi warisan. Dengan pendekatan yang sistematis dan mengedepankan keadilan, distribusi waris yang melibatkan munāsakhāt tetap bisa diselesaikan secara syar’i dan damai. Wallahua’lam.
Melisa Sari (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
bagaimana penyelesaian pembagian warisan jika terjadi munasakhat antara ahli waris laki-laki dan perempuan?
Bagaimana hukum Islam mengatur pembagian waris jika terjadi kematian beruntun dalam keluarga dalam waktu yang berdekatan?