Mashood Baderin: Harmoni Hukum Islam dan Hak Asasi Manusia
TATSQIF ONLINE – Mashood A. Baderin adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka yang dikenal atas kontribusinya dalam menjembatani hukum Islam dan prinsip hak asasi manusia (HAM) internasional. Ia lahir di Nigeria dalam keluarga yang menanamkan nilai-nilai Islam dan pentingnya pendidikan. Sejak usia dini, Baderin mempelajari dasar-dasar syariah di madrasah lokal, membangun fondasi pemahamannya tentang Al-Qur’an dan hukum Islam.
Kesuksesannya dalam pendidikan di Nigeria mengantarkannya memperoleh gelar LL.B dengan predikat cum laude dari University of Lagos. Ketertarikannya pada studi perbandingan hukum membawanya ke Inggris untuk menempuh LL.M dan Ph.D. di University of Nottingham. Penelitiannya di bidang hubungan hukum Islam dan HAM internasional menjadi dasar penerbitan bukunya yang berpengaruh, International Human Rights and Islamic Law (2003).
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam
Dalam pandangan Baderin, Islam mengakui hak asasi manusia berdasarkan prinsip karamah (martabat manusia), yang dinyatakan dalam Al-Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 70:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Artinya: “Dan sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam.“
Prinsip ini, menurut Baderin, mencakup hak dasar seperti:
1. Hak atas Kehidupan: Perlindungan jiwa sebagaimana diamanatkan dalam ayat Al-Qur’an Surah Al-Isra’ ayat 33:
وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali dengan alasan yang benar.”
2. Kebebasan Beragama: Ditunjukkan melalui Alquran Surah Al-Baqarah ayat 256:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Artinya: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama.“
3. Kesetaraan di Hadapan Hukum: Menurut Baderin, Islam menekankan prinsip keadilan universal tanpa memandang status sosial atau jenis kelamin. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:
إِنَّمَا النِّسَاءُ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya: “Sesungguhnya perempuan adalah saudara kandung laki-laki.” (HR. Abu Dawud)
Hadis ini menunjukkan kesetaraan gender dalam Islam, yang relevan dengan perjuangan HAM modern untuk kesetaraan. Namun, ia juga mencatat bahwa perbedaan antara HAM dalam Islam dan konsep modern terletak pada kerangka filosofisnya. Islam menempatkan HAM dalam tanggung jawab kepada Allah, sementara HAM modern sering bersandar pada sekularisme.
Pendekatan Maqasid al-Shariah
Baderin mengusulkan maqasid al-shariah (tujuan hukum Islam) sebagai kerangka utama untuk menyelaraskan syariah dengan standar HAM internasional. Lima tujuan utama maqasid meliputi:
1. Perlindungan Agama (Hifz al-Din): Menjamin kebebasan beragama dalam batas syariah.
2. Perlindungan Jiwa (Hifz al-Nafs): Sejalan dengan hak hidup dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM).
3. Perlindungan Akal (Hifz al-Aql): Mendukung pendidikan dan kebebasan berpikir.
4. Perlindungan Keturunan (Hifz al-Nasl): Mencegah eksploitasi terhadap keluarga dan anak-anak.
5. Perlindungan Harta (Hifz al-Mal): Memberikan hak kepemilikan dan keamanan ekonomi.
Melalui pendekatan ini, Baderin menunjukkan bahwa syariah memiliki fleksibilitas untuk menjawab tantangan zaman modern, asalkan menggunakan ijtihad (penalaran hukum independen). Ia menekankan bahwa ijtihad adalah mekanisme syariah untuk menjaga relevansinya dengan konteks sosial yang terus berubah, tanpa mengabaikan nilai-nilai fundamentalnya.
Hadis Nabi mendukung fleksibilitas hukum Islam dalam proses ijtihad:
إِذَا اجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka ia mendapat dua pahala. Jika ia berijtihad dan salah, maka ia mendapat satu pahala,” (HR Bukhari dan Muslim).
Tantangan Implementasi HAM di Dunia Muslim
Baderin mencatat beberapa hambatan utama dalam penerapan HAM di negara-negara Muslim, yaitu:
1. Interpretasi Tradisionalis: Beberapa interpretasi hukum Islam yang kaku menghambat adaptasi terhadap isu-isu kontemporer.
2. Pengaruh Budaya Lokal: Praktik seperti pernikahan anak atau diskriminasi gender sering disalahartikan sebagai bagian dari syariah, padahal lebih merupakan tradisi budaya.
3. Kurangnya Kesadaran Maqasid: Fokus pada teks literal sering mengabaikan tujuan utama hukum Islam, yaitu keadilan.
Untuk mengatasi tantangan ini, Baderin mendorong reinterpretasi hukum Islam berdasarkan maqasid al-shariah dengan tetap mempertimbangkan konteks sosial dan nilai-nilai universal.
Kontribusi terhadap Wacana HAM Internasional
Baderin juga mengapresiasi upaya komunitas Muslim dalam menyusun deklarasi HAM berbasis Islam, seperti Cairo Declaration on Human Rights in Islam (1990). Namun, ia mengkritik beberapa poin yang kurang mencerminkan maqasid al-shariah, terutama dalam isu kesetaraan gender dan kebebasan beragama.
Dalam artikelnya, “Religion and International Law: Friends or Foes?” (2009), Baderin menyatakan bahwa dialog antara Islam dan sistem hukum internasional dapat memperkaya pemahaman tentang keadilan global. Ia percaya bahwa Islam dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan HAM yang lebih inklusif dan berakar pada nilai-nilai moral.
Pengaruh dan Relevansi Pemikiran Baderin
Karya-karya Baderin, termasuk buku International Human Rights and Islamic Law (2003), telah menjadi referensi penting dalam kajian hukum Islam dan HAM. Pemikirannya menginspirasi generasi baru sarjana Muslim untuk mengeksplorasi hubungan antara syariah dan hukum internasional.
Melalui pendekatan maqasid al-shariah dan ijtihad, Baderin menunjukkan bahwa hukum Islam bukanlah sistem yang statis, melainkan dinamis dan adaptif. Pendekatannya memberikan solusi praktis bagi dunia Muslim untuk menjawab tantangan modern tanpa mengabaikan nilai-nilai fundamental agama.
Kesimpulan
Mashood A. Baderin menyampaikan bahwa Islam dan HAM bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan dapat saling melengkapi. Dengan pendekatan maqasid al-shariah dan ijtihad, ia menawarkan jalan untuk menyelaraskan hukum Islam dengan tuntutan zaman modern.
Pemikirannya menjadi inspirasi bagi banyak akademisi Muslim dan aktivis HAM di berbagai negara. Melalui gagasannya, ia memberikan kontribusi penting dalam upaya menciptakan dunia yang lebih adil dan berimbang. Wallahua’lam.
Abdurrahman & Radja Ibad Diwara (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Apa saja tantangan yang dihadapi dalam upaya menciptakan harmoni antara Hukum Islam dan standar hak asasi manusia yang diakui secara internasional?
Apakah ada konflik antara penerapan Hukum Islam dengan prinsip-prinsip HAM modern? Berikan contoh.
Bagaimana hukum Islam menyikapi kebebasan seseorang untuk berpindah agama, mengingat beberapa pandangan menyatakan bahwa hukum Islam memiliki hukuman tertentu bagi murtad? Apakah ini bertentangan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menjamin kebebasan beragama?
Bagaimana cara kita untuk mengatasi hal hal yang berkaitan dengan pelanggaran HAM yang pada saat ini ham tersebut banyak dilanggar oleh masyarakat itu sendiri maupun pemerintahan jelaskan menurut pandangan Islam?
Apakah hak atas perlindungan terhadap perempuan dalam hukum Islam sejalan dengan prinsip kesetaraan gender dalam HAM?
Dalam situasi tertentu, apakah Hukum Islam dapat berkembang atau menyesuaikan diri dengan perubahan global dalam bidang hak asasi manusia?
Bagaimana konsep maqasid al-shariah dapat mendukung penerapan hak asasi manusia dalam hukum Islam?
Coba pemakalah sebutkan hambatan apa saja yang terjadi dalam upaya penegakkan hal asasi manusia selama ini?
Apa tantangan utama yang dihadapi negara-negara Muslim dalam mengadaptasi hukum Islam dengan kerangka kerja HAM internasional tanpa mengabaikan nilai-nilai agama?
Apakah konsep kebebas beragama dalam Islam mengakui hak individu untuk memilih agama atau kepercayaan yang berbeda terutama dalam masyarakat yang plural
Bagaimana baderin melihat perbedaan antara praktik keagamaan dan produk budaya lokal dalam konteks ham?