Konsep Mutlaq, Muqayyad, Mantuq, dan Mafhum dalam Ushul Fiqh
TATSQIF ONLINE – Dalam ilmu Ushul Fiqh, pemahaman terhadap nash (teks) dalam Al-Qur’an dan hadis merupakan dasar untuk menetapkan hukum-hukum syariat. Salah satu aspek penting dalam menafsirkan teks-teks ini adalah memahami berbagai bentuk lafaz yang digunakan, yang dapat memberi makna yang berbeda-beda.
Konsep mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum adalah beberapa prinsip dasar yang membantu dalam memberikan pemahaman yang tepat terhadap teks-teks hukum Islam. Masing-masing konsep ini memiliki peranan penting dalam menetapkan hukum yang jelas dan aplikatif bagi umat Islam.
Konsep-konsep ini berfungsi untuk menyaring makna yang tersurat maupun tersirat dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis, serta memberikan panduan dalam konteks penerapannya. Melalui pemahaman yang mendalam terhadap lafaz mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum, seorang mujtahid dapat menghasilkan ijtihad yang lebih tepat sesuai dengan kebutuhan zaman dan kondisi tertentu.
1. Mutlaq dan Muqayyad
Mutlaq adalah lafaz yang tidak dibatasi oleh syarat atau kondisi tertentu, sehingga memberikan makna yang luas dan umum. Sebaliknya, muqayyad adalah lafaz yang dibatasi oleh syarat atau kondisi tertentu yang mengarahkan pemahaman yang lebih spesifik.
Mutlaq
Mutlaq adalah lafaz yang menunjukkan makna yang luas tanpa adanya pembatasan terhadap waktu, tempat, atau keadaan tertentu. Dalam konteks hukum Islam, lafaz yang bersifat mutlaq bisa mencakup berbagai keadaan atau kondisi tanpa ada pembatasan yang jelas.
Contoh dari lafaz mutlaq dapat ditemukan dalam surah An-Nisa’ ayat 10:
إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَىٰ ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, mereka hanya memakan api ke dalam perut mereka dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala.”
Ayat ini menggunakan lafaz “memakan” yang bersifat mutlaq, yaitu menunjukkan larangan terhadap segala bentuk pengambilan harta anak yatim secara zalim tanpa adanya pembatasan terhadap bentuk atau jenis pengambilannya.
Muqayyad
Muqayyad adalah lafaz yang dibatasi oleh kondisi atau syarat tertentu yang memberi makna lebih spesifik. Dalam ayat-ayat atau hadis-hadis tertentu, lafaz muqayyad mengarah pada hukum yang lebih terperinci dan terbatas.
Contoh dari lafaz muqayyad dapat ditemukan dalam surah Al-Baqarah ayat 187:
فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَىٰ اللَّيْلِ
Artinya: “Dan makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakan puasa itu hingga malam.” (QS. Al-Baqarah: 187)
Ayat ini mengandung lafaz “hingga malam” yang bersifat muqayyad, yaitu membatasi waktu puasa hanya dari fajar hingga malam hari, sehingga makna puasa menjadi lebih spesifik.
2. Mantuq dan Mafhum
Mantuq dan mafhum adalah dua konsep yang digunakan untuk memahami makna teks dengan melihat pada apa yang secara eksplisit disebutkan (mantuq) dan makna yang tersirat (mafhum). Kedua konsep ini sangat penting dalam ilmu Ushul Fiqh untuk menafsirkan makna nash.
Mantuq (Makna Tersurat)
Mantuq adalah makna yang tersurat atau jelas yang diungkapkan secara langsung oleh teks. Artinya, makna tersebut merupakan pemahaman yang bisa langsung ditangkap dari lafaz yang digunakan tanpa memerlukan penafsiran tambahan.
Contoh mantuq dapat ditemukan dalam hadis yang berikut:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Artinya: “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat,” (HR Bukhari dan Muslim).
Hadis ini adalah contoh dari mantuq, yang berarti bahwa makna yang tersurat adalah perintah untuk meniru cara shalat Nabi Muhammad SAW. Tidak ada penafsiran lain yang perlu dilakukan karena makna yang dimaksud sangat jelas.
Mafhum (Makna Tersirat)
Mafhum adalah makna yang tidak diungkapkan secara eksplisit, tetapi dapat ditangkap dari konteks teks atau dengan cara analogi. Pemahaman ini membutuhkan penafsiran lebih lanjut untuk mengungkap makna yang tersirat di balik teks tersebut.
Contoh mafhum dapat ditemukan dalam surah Al-Isra’ ayat 23:
وَقَضى رَبُّكَ أَلّا تَعبُدوا إِلّا إِيّاهُ وَبِالوالِدَينِ إِحسانًا إِمّا يَبلُغَنَّ عِندَكَ الكِبَرَ أَحَدُهُما أَو كِلاهُما فَلا تَقُل لَهُما أُفٍّ وَلا تَنهَرهُما وَقُل لَهُما قَولًا كَريمًا
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau keduanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia.”
Lafaz “janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah'” adalah mantuq, yang berarti larangan untuk mengucapkan kata kasar atau tidak sopan kepada orang tua. Sedangkan pemahaman lebih lanjut dari ayat ini dapat menghasilkan mafhum bahwa memukul atau menyakiti orang tua dengan cara apapun juga adalah dilarang, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam teks.
Pembagian Mantuq dan Mafhum
Mantuq terbagi menjadi dua kategori utama: Nash dan Zahir. Nash adalah lafaz yang jelas tanpa memerlukan penafsiran, sementara Zahir adalah lafaz yang bisa diartikan secara lebih luas dan membutuhkan penafsiran sesuai konteks.
Mafhum terbagi menjadi dua kategori utama: Mafhum Muwafaqah dan Mafhum Mukhalafah. Mafhum Muwafaqah adalah pemahaman yang sesuai dengan lafaz yang disebutkan, sedangkan Mafhum Mukhalafah adalah pemahaman yang berlawanan dengan lafaz yang disebutkan.
Mafhum Mukhalafah
Mafhum jenis ini merujuk pada pengertian yang berlawanan dengan lafaz yang disebutkan dalam teks. Artinya, jika suatu lafaz menyatakan suatu perintah atau larangan, maka mafhum mukhalafah akan memahami sesuatu yang berlawanan dengan itu.
Contohnya dapat ditemukan dalam surah Al-Jumu’ah ayat 9:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِصَلَاةِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu menuju mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”
Pemahaman kebalikan dari ayat ini adalah bahwa jual beli diperbolehkan sebelum azan Jum’at dan setelah selesai shalat Jum’at. Ini berlawanan dengan apa yang diperintahkan dalam ayat tersebut, yaitu meninggalkan jual beli pada saat seruan shalat Jum’at.
Mafhum Mukhalafah Sebagai Hujjah
Di kalangan ulama Ushul Fiqh, ada perbedaan pendapat mengenai apakah mafhum mukhalafah dapat dijadikan hujjah (dalil yang sah). Sebagian ulama, seperti para ulama Hanafiyah, tidak menerima mafhum mukhalafah
sebagai hujjah yang kuat, sedangkan ulama Syafi’iyah dan Maliki menerima pemahamannya sebagai hujjah yang dapat digunakan dalam menetapkan hukum.
Kesimpulan
Konsep mutlaq, muqayyad, mantuq, dan mafhum adalah bagian integral dalam ilmu Ushul Fiqh yang digunakan untuk menafsirkan teks-teks agama Islam. Pemahaman terhadap konsep-konsep ini sangat penting untuk menetapkan hukum-hukum yang relevan dan aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman yang benar terhadap mutlaq dan muqayyad membantu dalam mengetahui sejauh mana hukum suatu teks berlaku secara umum atau terbatas. Sementara itu, pemahaman mantuq dan mafhum memberi wawasan terhadap makna yang tersurat maupun tersirat, yang diperlukan dalam menetapkan hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman. Wallahua’lam.
May Elisa Sitompul & Putri Sabrina Panggabean (Mahasiswa Prodi PAI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan)
Mengapa para ulama hanfiyah tidak menerima mafhum mukhalafah sebagai hujjah yang kuat dalam menetapkan hukum ?
Bagaimana cara penyelesaian antara hukum yang mutlaq dan muqayyad jika sebab dan hukumnya sama?
Apa contoh hukum Islam yang ditetapkan berdasarkan mafhum?
Apa peran mafhum dan mantuq dalam konteks penafsiran hadis yang memiliki banyak makna?
Dapatkah suatu hukum yang bersifat “Muqayyad” berubah menjadi “Mutlaq”, atau sebaliknya, dalam perkembangan fiqh? Jelaskan.
Apa yang dimaksud dengan “Mantuq” dalam Ushul Fiqh, dan bagaimana cara menganalisis suatu teks berdasarkan Mantuq?
Apa perbedaan antara kata mutlaq dan muqayyad dalam konteks hukum Islam?