Bahasa ArabFiqh & Ushul Fiqh

Klasifikasi Hukum Pembunuhan dalam Syariat Islam, Simak

TATSQIF ONLINE Dalam Hukum Pidana Islam, pembunuhan diklasifikasikan ke dalam lima hukum taklifi yang menggambarkan tingkat kewajiban atau larangan terkait tindakan tersebut. Setiap pembunuhan dinilai berdasarkan konteks, tujuan, dan kondisi pelaku serta korbannya.

Beberapa kasus pembunuhan dihukumi haram, seperti mengambil nyawa tanpa hak, sementara ada yang dihukumi wajib, seperti eksekusi terhadap orang murtad atau pezina muhshan. Selain itu, ada kondisi yang menjadikan pembunuhan makruh, mandub, atau bahkan mubah, tergantung pada situasi dan syarat yang ditetapkan oleh syariat Islam.

Untuk memahami topik ini lebih dalam, kita akan mengkaji karya tulis Dr. Nawal Binti Sa’id Badgis yang berjudul Fiqhul Jinayat wal Hudud. Buku ini digunakan sebagai bahan ajar dalam perkuliahan Qiraatul Kutub pada Program Studi Hukum Pidana Islam (HPI).

أقسام القَتْل

التّعريف: القتل في اللّغة هو فعل يحصل به زهوق الرّوح. يقال: قتله قتلاً، أي أزهق روحه، والرّجل قتيل والمرأة قتيل إذا كان وصفاً، فإذا حذف الموصوف جعل اسماً ودخلت الهاء نحو: رأيت قتيلة بني فلان. وفي لسان العرب نقلاً عن التّهذيب يقال: قتله بضرب أو حجر أو سمّ، أي أماته. ولا يخرج المعنى الاصطلاحيّ عن المعنى اللّغويّ. قال البابرتيّ: إنّ القتل فعل من العباد تزول به الحياة.

الحكم التّكليفيّ: تجري على قتل الآدميّ الأحكام التّكليفيّة الخمسة. فيكون القتل حراماً كقتل النّفس المعصومة بغير حقّ ظلماً. ويكون واجباً كقتل المرتدّ إذا لم يتب بعد الاستتابة، والزّاني المحصن بعد ثبوت الزّنا عليه شرعاً ويكون مكروهاً كقتل الغازي قريبه الكافر إذا لم يسمعه يسبّ اللّه أو رسوله ويكون مندوباً كقتل الغازي قريبه الكافر إذا سبّ اللّه أو رسوله ويكون مباحاً كقتل الإمام الأسير فإنّه مخيّر فيه

أَقْسَامُ القَتْلِ

التَّعْرِيفُ: القَتْلُ فِي اللُّغَةِ: فِعْلٌ يَحْصُلُ بِهِ زُهُوقُ الرُّوحِ. يُقَالُ: قَتَلَهُ قَتْلًا، أَيْ أَزْهَقَ رُوحَهُ، وَالرَّجُلُ قَتِيلٌ وَالمَرْأَةُ قَتِيلَةٌ إِذَا كَانَ وَصْفًا، فَإِذَا حُذِفَ المَوْصُوفُ جُعِلَ اسْمًا، وَدَخَلَتِ الهَاءُ نَحْوَ: رَأَيْتُ قَتِيلَةَ بَنِي فُلَانٍ. وَفِي لِسَانِ العَرَبِ نَقْلًا عَنِ التَّهْذِيبِ يُقَالُ: قَتَلَهُ بِضَرْبٍ أَوْ حَجَرٍ أَوْ سُمٍّ، أَمَاتَهُ. وَلَا يَخْرُجُ المَعْنَى الاِصْطِلَاحِيُّ عَنِ المَعْنَى اللُّغَوِيِّ. قَالَ البَابَرْتِيُّ: إِنَّ القَتْلَ فِعْلٌ مِنَ العِبَادِ تَزُولُ بِهِ الحَيَاةُ.

الحُكْمُ التَّكْلِيفِيُّ: تَجْرِي عَلَى قَتْلِ الآدَمِيِّ الأَحْكَامُ التَّكْلِيفِيَّةُ الخَمْسَةُ. فَيَكُونُ القَتْلُ حَرَامًا، كَقَتْلِ النَّفْسِ المَعْصُومَةِ بِغَيْرِ حَقٍّ ظُلْمًا. وَيَكُونُ وَاجِبًا، كَقَتْلِ المُرْتَدِّ إِذَا لَمْ يَتُبْ بَعْدَ الاِسْتِتَابَةِ، وَالزَّانِي المُحْصَنِ بَعْدَ ثُبُوتِ الزِّنَا عَلَيْهِ شَرْعًا وَيَكُونُ مَكْرُوهًا، كَقَتْلِ الغَازِي قَرِيبَهُ الكَافِرَ إِذَا لَمْ يَسْمَعْهُ يَسُبُّ اللهَ أَوْ رَسُولَهُ وَيَكُونُ مَنْدُوبًا، كَقَتْلِ الغَازِي قَرِيبَهُ الكَافِرَ إِذَا سَبَّ اللهَ أَوْ رَسُولَهُ. وَيَكُونُ مُبَاحًا، كَقَتْلِ الإِمَامِ الأَسِيرِ فَإِنَّهُ مُخَيَّرٌ فِيهِ

Pembagian Pembunuhan

Definisi: Pembunuhan dalam bahasa adalah tindakan yang menyebabkan hilangnya nyawa. Dikatakan: “Dia membunuhnya” berarti dia telah menghilangkan nyawanya. Seorang pria disebut qatil (korban pembunuhan) dan seorang wanita disebut qatilah jika sebagai sifat, namun jika sifat tersebut dihilangkan, maka dijadikan sebagai kata benda dan diberikan tambahan huruf ha’, seperti: “Saya melihat qatilah dari Bani Fulan”. Dalam Lisanul Arab, mengutip dari At-Tahdzib, dikatakan: “Dia membunuhnya dengan pukulan, batu, atau racun”, yang berarti dia membunuhnya. Dan makna istilah syar’i tidak jauh dari makna bahasa. Al-Babarti mengatakan: “Pembunuhan adalah tindakan manusia yang dengannya kehidupan seseorang hilang.”

Hukum Taklifi: Berlaku lima hukum taklifi terhadap pembunuhan manusia:

1. Haram, seperti membunuh jiwa yang dilindungi tanpa hak secara zalim.

2. Wajib, seperti membunuh orang murtad jika tidak bertaubat setelah diingatkan, dan pezina yang sudah menikah setelah terbukti bersalah secara syar’i.

3. Makruh, seperti seorang pejuang membunuh kerabatnya yang kafir jika tidak mendengar mereka mencaci Allah atau Rasul-Nya.

4. Mandub (sunnah), seperti seorang pejuang membunuh kerabatnya yang kafir jika mereka mencaci Allah atau Rasul-Nya.

5. Mubah (boleh), seperti membunuh imam yang menjadi tawanan, karena hal ini terserah kepada kebijakan.

الرّوح – Nyawa l القتيل – Korban pembunuhan l الآدميّ – Manusia l المرتدّ – Murtad (orang yang meninggalkan agama Islam) l الزّاني – Pelaku zina l مندوب – Dianjurkan (dalam syariat) l الظلم – Ketidakadilan l الاستتابة – Permintaan taubat l الشرع – Hukum syariat l المعصوم – Nyawa yang dilindungi l الأسير – Tawanan l الغازي – Pejuang l قريبه – Kerabatnya l السبّ – Mencela

Pembunuhan dalam bahasa Arab, atau قَتْل (qatal), merupakan tindakan yang menyebabkan kematian seseorang. Bisa berupa tindakan fisik seperti memukul, melempar, atau meracuni yang mengakibatkan hilangnya nyawa.

Dalam bahasa Arab, penggunaan kata “قتيل” untuk laki-laki dan “قتيلة” untuk perempuan untuk menunjukkan korban pembunuhan. Definisi ini konsisten dengan makna istilah dalam hukum Islam, yang menilai pembunuhan sebagai tindakan yang menyebabkan kematian seseorang secara langsung.

Dalam hukum Islam, pembunuhan terbagi dalam lima jenis hukum taklifi, yang menentukan status hukum dari tindakan tersebut:

Mubah

Kebolehan membunuh ini hanya dalam situasi tertentu, seperti membunuh imam yang menjadi tawanan perang. Dalam kasus ini, keputusan untuk membunuh tergantung pada kebijakan dan kondisi yang ada.

Setelah perang Badar, umat Islam menawan sekitar tujuh puluh musyrikin Quraisy dan memperlakukan mereka dengan penuh kemanusiaan. Berdasarkan buku Al-Bidayah wa An-Nihayah oleh Ibnu Katsir dan Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam oleh Raghib as-Sirjani, Rasulullah SAW menerapkan empat metode utama terhadap tawanan.

Pertama, eksekusi mati, yang sangat jarang dilakukan, seperti pada Nadhr bin Harits dan Uqbah bin Abu Mu’aith karena kejahatan perang mereka yang serius. Kedua, pembebasan dengan tebusan sesuai dengan kemampuan tawanan, seperti Abu Wada’ah dan al-Abbas bin Abdul Muthalib.

Ketiga, pembebasan dengan syarat mengajarkan baca-tulis. Keempat, pembebasan tanpa syarat, seperti Abul Ash bin Ar-Rabi. Perlakuan manusiawi Rasulullah SAW seringkali membuat tawanan, seperti Tsumamah bin Atsal, akhirnya memeluk Islam.

Haram

Tidak boleh membunuh nyawa yang tidak bersalah tanpa hak yang sah. Tindakan tersebut melanggar prinsip keadilan dan hak hidup dalam syariat Islam. Allah SWT berfirman dalam Alquran Surah Al-Isra’ ayat 33:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

Artinya:“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), kecuali dengan alasan yang benar.”

Ayat ini menegaskan bahwa membunuh jiwa yang telah Allah SWT haramkan hanya boleh jika ada alasan yang sah dan sesuai dengan hukum. Rasulullah SAW juga bersabda:

مَن قَتَلَ نَفْسًا مُعاهَدًا لَمْ يَرِحْ رائِحَةَ الجَنَّةِ، وإنَّ رِيحَها لَيُوجَدُ مِن مَسِيرَةِ أرْبَعِينَ عامًا

Artinya: “Barang siapa yang membunuh jiwa seorang yang mempunyai perjanjian (keamanan) dengan Allah dan Rasul-Nya, maka dia tidak akan mencium bau surga, padahal bau surga bisa tercium sejauh perjalanan empat puluh tahun,” (HR Bukhari).

Hadis di atas memperingatkan bahwa membunuh seseorang dalam keadaan aman (mu’ahad) menghalangi seseorang dari mencium bau surga. Bau surga bisa tercium dari jarak perjalanan hingga empat puluh tahun atau tujuh puluh tahun.

Hadis ini menekankan kewajiban untuk selalu menepati janji. Selain itu, hadis tersebut menunjukkan bahwa surga hanya untuk mereka yang setia dan tidak mengkhianati.

Wajib

Membunuh, wajib hukumnya dalam situasi tertentu, seperti ketika menghadapi orang murtad yang menolak bertaubat setelah mendapat peringatan, atau pezina muhshan yang terbukti bersalah setelah menikah. Tindakan ini perlu untuk menegakkan hukum syariat. Rasulullah SAW bersabda:


قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ إِلَّا بِإِحْدَى ثَلاَثٍ: الثَّيِّبُ الزَّانِي، وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ، وَالتَّارِكُ لِدِينِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَاعَةِ

Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda, ‘Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga sebab: (1) orang yang telah menikah yang berzina, (2) jiwa dengan jiwa (membunuh), (3) orang yang meninggalkan agamanya (murtad), lagi memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin,” (HR Bukhari dan Muslim).

Hanya penguasa atau pihak yang berwenang yang boleh menerapkan hukuman terhadap orang murtad atau mu’ahad yang melanggar perjanjian. Hal ini mencegah terjadinya kerusuhan dan bencana.

Ibnu Muflih dalam kitab Al-Mubdi’, menegaskan bahwa hanya pemimpin negara atau pihak yang berwenang yang dapat menjalankan hukuman ini, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama.

Makruh

Makruh membunuh pada situasi tertentu. Sebagai contoh, membunuh musuh kafir yang tidak mencela Allah atau Rasul-Nya. Meski tidak sepenuhnya haram, hukum syariat tidak menganjurkan tindakan ini karena mereka tidak melakukan penghinaan terhadap ajaran Islam.

Mandub

Pembunuhan yang hukumnya mandub terdapat dalam kasus tertentu, seperti membunuh musuh kafir yang mencela Allah atau Rasul-Nya. Dalam perang, tindakan ini berfungsi sebagai balasan atas penghinaan terhadap Islam. Langkah ini bertujuan melindungi martabat agama dan masyarakat Islam.


عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ يَهُودِيَّةً كَانَتْ تَشْتُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَقَعُ فِيهِ فَخَنَقَهَا رَجُلٌ حَتَّى مَاتَتْ فَأَبْطَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَمَهَا

Artinya: “Dari Ali RA, bahwa seorang wanita Yahudi sering mencela dan menghina Nabi SAW. Kemudian seorang pria mencekiknya hingga mati. Nabi SAW membatalkan hukuman mati terhadapnya,” (HR Abu Dawud).

Hadis tersebut tidak secara langsung menunjukkan kebolehan membunuh orang yang menghina Rasulullah SAW. Wanita Yahudi tersebut secara rutin menghina Nabi, dan pria yang membunuhnya melakukannya sebagai bentuk balasan. Nabi Muhammad SAW kemudian membatalkan hukuman mati untuk pria tersebut, yang menunjukkan pendekatan yang lebih mengutamakan pemaafan dan pengendalian diri.

Berdasarkan buku Tuhfat-us-Saniyati Syarhu Muqaddimat-il-Ajurrumiyyah, ada tujuh jenis isim yang menggunakan i’rab rafa’. Jenis-jenis ini meliputi fa’il, maf’ul yang fa’il-nya tidak disebutkan (na’ib-ul-fa’il), mubtada’, khabar dari mubtada’, isim kana dan sejenisnya, khabar inna dan sejenisnya, serta isim-isim yang mengikuti isim marfu’. Isim ini terbagi dalam empat kategori: na’at (sifat), ‘athaf, taukīd, dan badal.

Tanda-tanda i’rab rafa’ memainkan peran penting dalam menentukan struktur kalimat dalam bahasa Arab. Harakat dhammah, huruf wawu, huruf alif, dan huruf nun berfungsi untuk menunjukkan status marfu’ suatu kata.

Harakat dhammah berlaku pada isim mufrad, jamak taksir, jamak mu’annas salim, dan fi’il mudhari’. Huruf wawu menunjukkan marfu’ pada jamak mudzakar salim dan isim lima. Huruf alif menandakan marfu’ pada isim tatsniyah, sedangkan huruf nun digunakan dalam fi’il mudhari’ untuk menunjukkan marfu’ pada dhamir tatsniyah, jamak, dan muannats mukhatabah.

1. Harakat Dhammah

a. Isim Mufrad

Contoh: قَرَأَ مُحَمَّدٌ القرأنَ Posisi: Muhammad (مُحَمَّدٌ) berfungsi sebagai fa’il (subjek) dari fi’il qara’a (قَرَأَ) yang berarti “Muhammad membaca Al-Qur’an.”

b. Jamak Taksir

Contoh: جاء الطلاب في المدرسةِ Posisi: Tullab (الطلاب) berfungsi sebagai fa’il (subjek) dari fi’il ja’a (جاءَ) yang berarti “Para siswa datang ke sekolah.”

c. Jamak Mu’annats Salim

Contoh: جائتْ المسلماتُ في المسجدِ Posisi: Al-Muslimat (المسلماتُ) berfungsi sebagai fa’il (subjek) dari fi’il ja’a (جاءَتْ) yang berarti “Para wanita Muslimah datang ke masjid.”

d. Fi’il Mudhari’

Contoh: يذهبُ فلانٌ الى السوقِ Posisi: Fulaan (فلانٌ) berfungsi sebagai fa’il (subjek) dari fi’il yadhhab (يذهبُ) yang berarti “Si Fulan pergi ke pasar.”

2. Huruf Wawu

a. Jamak Mudzakar Salim

Contoh: اولئك هم المفلحون Posisi: Muflihun (المفلحون) berfungsi sebagai khabar (predikat) dari hum (هم) yang berarti “Mereka adalah orang-orang yang beruntung.”

b. Asma’ul Khamsah

Contoh: جاء أبوكَ Posisi: Abuuka (أبوكَ) berfungsi sebagai fa’il (subjek) dari fi’il ja’a (جاءَ) yang berarti “Ayahmu datang.”

3. Huruf Alif

a. Isim Tatsniyah

Contoh: احمد وحسنٌ طالبان جديدان Posisi: Ahmad (احمدٌ) dan Hasan (حسنٌ) berfungsi sebagai mubtada’ (subjek) dari kalimat dengan thaalibaani (طَالبَانِ) berfungsi sebagai khabar (predikat) yang berarti “Ahmad dan Hasan adalah dua siswa yang baru.”

4. Huruf Nun

a. Fi’il Mudhari’ dengan Dhamir Tatsniyah

Contoh: يفعلان Posisi: Yaf’alaani (يفعلان) menunjukkan fi’il mudhari’ untuk duo (dua orang), dengan fa’il yang tidak disebutkan eksplisit namun ada dalam konjugasi yang menunjukkan bahwa subjeknya adalah dua orang.

b. Fi’il Mudhari’ dengan Dhamir Jamak

Contoh: يفعلون Posisi: Yaf’aluuna (يفعلون) menunjukkan fi’il mudhari’ untuk jamak (banyak orang), dengan fa’il yang tidak disebutkan eksplisit namun ada dalam konjugasi yang menunjukkan bahwa subjeknya adalah banyak orang.

c. Fi’il Mudhari’ dengan Dhamir Muannas Mukhatabah

Contoh: تفعلين Posisi: Taf’aliina (تفعلين) menunjukkan fi’il mudhari’ untuk muannas mukhatabah (perempuan yang diajak bicara), dengan fa’il yang tidak disebutkan eksplisit namun ada dalam konjugasi yang menunjukkan bahwa subjeknya adalah seorang perempuan yang menjadi lawan bicara.

1. Fa’il

Fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il ma’lum (kata kerja yang subjeknya disebutkan) dan berfungsi menunjukkan pelaku dari suatu tindakan.

Contoh: ضَرَبَ عَلِيٌّ الْكَلْبَ (Ali memukul anjing). Dalam contoh ini, “عَلِيٌّ” berfungsi sebagai fa’il yang marfu’ dengan tanda rafa’ dhammah di akhir kata.

2. Naibul Fa’il

Naibul fa’il adalah isim marfu’ yang terletak setelah fi’il majhul (kata kerja yang subjeknya tidak disebutkan, melainkan objeknya yang menggantikan pelaku). Isim marfu’ ini mengindikasikan orang atau benda yang terkena pekerjaan.

Contoh: ضُرِبَ الْكَلْبُ (Anjing tersebut telah dipukul). Dalam contoh ini, “الْكَلْبُ” yang sebelumnya berfungsi sebagai objek, kini menjadi Naibul Fa’il dan marfu’ dengan tanda dhammah, menggantikan peran fa’il yang tidak disebutkan.

3. Mubtada’ dan Khabar

Mubtada’ adalah isim marfu’ yang muncul di awal kalimat (subjek), sedangkan khabar adalah informasi yang melengkapi arti mubtada’ (predikat).

Contoh: مُحَمَّدٌ طَبِيْبٌ (Muhammad adalah seorang dokter). “مُحَمَّدٌ” berfungsi sebagai Mubtada’ dan “طَبِيْبٌ” berfungsi sebagai Khabar, keduanya marfu’ dengan tanda dhammah.

4. Isim Kaana

Kaana dan saudari-saudarinya adalah fi’il yang mempengaruhi mubtada’ dan khabar, dengan kaana merafa’kan mubtada’ dan menashobkan khabar.

Contoh: اللهُ عَلِيْمٌ : كَانَ اللهُ عَلِيْمًا (Allah Maha Mengetahui). “اللهُ” berubah dari Mubtada’ menjadi Isim Kaana setelah kalimat kaana, sementara “عَلِيْمًا” menjadi Khabar Kaana dan menempati posisi manshub setelah kaana.

5. Khabar Inna

Inna dan saudari-saudarinya adalah huruf yang mempengaruhi mubtada’ dan khabar, dengan inna menashobkan mubtada’ dan merafa’kan khabar.

Contoh: إِنَّ اللهَ حَكِيْمٌ (Sesungguhnya Allah Maha Bijaksana). “اللهَ” berfungsi sebagai Isim Inna dan “حَكِيْمٌ” sebagai Khabar Inna, keduanya marfu’ dengan tanda dhammah.

6. Tabi’ Lil Marfu’

Tabi’ adalah kata yang mengikuti hukum i’rab dari kata sebelumnya. Terdapat empat jenis tabi’:

a. Na’at (نعت): Menyifati isim sebelumnya.

Contoh: جَاءَ إِمَامٌ عَادِلٌ (Seorang imam yang adil datang). “عَادِلٌ” adalah Na’at yang marfu’ bersama Man’ut “إِمَامٌ”.

b. ’Athaf (عطف): Menghubungkan dua kata yang harus memiliki i’rab yang sama.

Contoh: جَاءَ عُمَرُ وَ عُثْمَانُ (Umar dan Utsman datang). “عُثْمَانُ” adalah Ma’tuf yang marfu’ mengikuti “عُمَرُ” dengan huruf athaf “وَ”.

c. Taukid (توكيد): Menguatkan makna kata sebelumnya.

Contoh: جَاءَ الأُسْتَاذُ نَفْسُهُ (Ustadz tersebut datang sendiri). “نَفْسُهُ” adalah Taukid yang marfu’ untuk menguatkan “الأُسْتَاذُ”.

d. Badal (بدل): Mengganti kata sebelumnya, baik secara keseluruhan atau sebagian.

Contoh: يَجْلِسُ الأُسْتَاذُ مُحَمَّدٌ (Ustadz (Muhammad) sedang duduk). “مُحَمَّدٌ” adalah Badal dari “الأُسْتَاذُ”, keduanya marfu’ dengan tanda dhammah.

1. الرَّجُلُ قَتِيلٌ : Kalimat ini berarti “Laki-laki itu adalah seorang yang terbunuh.” Dalam struktur kalimat ini, “الرَّجُلُ” adalah Mubtada’ dan setelahnya adalah Khabar “قَتِيلٌ”. Keduanya menggunakan tanda rafa’ berupa dhammah karena keduanya adalah isim mufrad yang berada dalam posisi marfu’.

2. وَالمَرْأَةُ قَتِيلَةٌ : Kalimat ini berarti “Dan wanita itu adalah seorang yang terbunuh.” Dalam struktur kalimat ini, huruf athaf ‘wawu’ (وَ) menghubungkan kalimat “وَالْمَرْأَةُ قَتِيلَةٌ” dengan kalimat sebelumnya “الرَّجُلُ قَتِيلٌ”. Karena huruf athaf ini menghubungkan dua kalimat yang memiliki struktur serupa, i’rab dari “وَالْمَرْأَةُ” dan “قَتِيلَةٌ” mengikuti pola i’rab dari kalimat sebelumnya. Dengan kata lain, “وَالْمَرْأَةُ” sebagai Mubtada’ dan “قَتِيلَةٌ” sebagai Khabar mengikuti i’rab marfu’ yang sama seperti pada kalimat sebelumnya, dengan tanda i’rab rafa’ berupa dhammah karena isim mufrad.

3. حُذِفَ المَوْصُوفُ : (Huzifa) حُذِفَ adalah fi’il majhul, menunjukkan tindakan yang telah berlaku pada subjek tanpa menyebutkan pelaku. (Al-Mawsufu) المَوْصُوفُ adalah isim marfu’, yang menjadi objek dari tindakan dalam kalimat pasif (na’ibul fa’il). Tanda rafa’ المَوْصُوفُ adalah dhammah karena isim mufrad.

4. يَكُونُ القَتْلُ حَرَامًا : Kalimat ini memiliki struktur i’rab dan fungsi masing-masing. يَكُونُ adalah fi’il mudhari’ yang berfungsi sebagai amil nawasikh; merafakkan mubtada’ dan menasabkan khabar. القَتْلُ adalah isim marfu’ yang berfungsi sebagai isim “yakunu”. القَتْلُ mendapatkan i’rab marfu’ dengan dhammah (ضمة) karena merupakan isim mufrad (kata benda tunggal). حَرَامًا adalah khabar dari يَكُونُ dengan i’rab manshub dengan fathah.

Riska Cahyani Rambe (Mahasiwa Prodi HPI UIN Syekh Ali Hasan Ahmad Addary Padangsidimpuan) dan Sylvia Kurnia Ritonga (Dosen Pengampu Mata Kuliah Qira’atul Kutub HPI)

Tatsqif Media Dakwah & Kajian Islam

Tatsqif hadir sebagai platform edukasi digital yang dirintis oleh Team Tatsqif sejak 5 Januari 2024. Kami mengajak Anda untuk menjelajahi dunia dakwah, ilmu pengetahuan, dan wawasan keislaman melalui website kami. Bergabunglah bersama kami dan jadilah bagian dari kontributor syi'ar Islam.

11 komentar pada “Klasifikasi Hukum Pembunuhan dalam Syariat Islam, Simak

  • Astria astuti

    Coba pemakalah jelaskan secara singkat tentang isim yang d rofakkan (marfu’) dan fiil (marfu’) menurut pemahaman pemakalah sendiri !

    Balas
  • Chitra Adelina

    Coba pemakalah berikan contoh
    Fi’il mudhori’ dengan dhamir tatsniyah
    Fi’il mudhori’ dengan dhamir jamak.

    Balas
  • Chitra Adelina Simanungkalit

    Coba pemakalah berikan contoh
    Fi’il mudhori’ dengan dhamir tatsniyah
    Fi’il mudhori’ dengan dhamir jamak.

    Balas
  • Efa Merianti Lubis

    Bagaimana cara mengenali asma’ul marfu’at dalam sebuah kalimat?

    Balas
  • Maya harahap

    Apakah semua isim yg datang setelah fi’il majhul selalu menjadi naibul fa’il ! Jelaskan

    Balas
  • Sri ummi Handayani

    Kenapa fi’il mudhari di anggap dalam keadaan marfuk,dan berikan contoh nya?

    Balas
  • Sri ummi Handayani

    Kenapa fi’il mudhari di anggap dalam keadaan marfuk,dan berikan contoh nya

    Balas
  • Sarmaito Pohan

    coba jelaskan secara jelas tentang Taukid (توكيد), dan Badal (بدل) pada pembagian Tabi’ Lil Marfu’!

    Balas
  • Fitri Yani

    Huruf alif menandakan marfu’ pada isim tatsniyah
    Coba saudari jelaskan kembali pada bagian kalian tersebut

    Balas
  • Hendra wibowo

    Bagaimana cara membedakan isim marfuk dari isim mansub dan majrūr?

    Balas
  • Arridho Ramadhan

    Bagaimana cara mengenali isim mar’fu dan fi’il mar’fu coba saudari paparkan mengenai tersebut

    Balas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

× Chat Kami Yuk